tirto.id - Pekuburan wali melahirkan kedekatan dan keakraban antar manusia tanpa mengenal nama. Begitulah kesimpulan seorang antropolog ketika menjelaskan praktik ziarah orang Islam dan Hindu di India. Selama lebih dari lima tahun, sang antropolog mengkaji sebuah situs ziarah Islam—lazimnya disebut mazar—di Delhi. Setiap kamis sore dia luangkan waktu untuk berbincang dengan para peziarah rutin lain di padang rumput yang terhampar disekeliling mazar.
Di Delhi, ziarah tidak hanya berkutat pada ritual di dalam mazar. Setiap peziarah rutin sepertinya telah mengenal beberapa peziarah lainnya. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dan menghabiskan waktu bercakap santai selepas berziarah. Selang beberapa bulan setelah memulai risetnya, sang antropolo pun menemukan sekelompok orang yang kemudian menjadi karibnya. Saat kamis sore tiba, ia menghabiskan waktunya untuk kongkow dan bersenda gurau dengan kawan-kawan barunya.
Selang beberapa tahun berkawan dengan para peziarah itu, sang antropolog baru sadar bahwa ia belum pernah mengetahui nama mereka. Ia lebih terkejut lagi ketika menyadari bahwa sekelompok orang yang berkawan dan kongkow setiap minggu di luar mazar ternyata tidak mengetahui nama satu sama lain. Mereka saling mengenal tanpa pernah berkenalan seperti yang lazim terjadi dalam pergaulan sehari-hari. Setiap orang memiliki julukannya masing-masing: “si janggut merah”, “tante sang pembagi permen”, “si tukang siul,” dsb. Setiap julukan itu merujuk pada rupa atau adat sang manusia ketimbang pada nama.
Di negara seperti India, nama mengungkapkan banyak hal. Identitas agama, kasta, dan kelas ekonomi seseorang menjadi jelas ketika seseorang menyatakan namanya. Dalam kehidupan keseharian, seorang manusia harus memperkenalkan namanya dalam beragam interaksi sosial. Ironisnya, jika menyatakan nama seharusnya menjadi awal dari perkenalan yang berpotensi membangun keakraban, di India, menyatakan nama justru menjadi awal mula pembentukan sekat-sekat sosial dan agama. Keadaan ini semakin memburuk seiring menguatnya politik keagamaan dan nasionalisme Hindu yang kerap melahirkan bentrokan dan intimidasi kepada kaum minoritas.
Berbeda dari realitas sosial-politik tersebut, mazar memfasilitasi terbentuknya hubungan sosial penuh keakraban tanpa memetakan manusia ke dalam sekat-sekat identitas. Mereka yang berziarah datang untuk memasuki kawasan yang dianggap suci dan sakral. Mazar adalah medan cahaya dan kasih sayang. Para wali yang diziarahi diyakini sebagai penyalur rahmat ilahi tanpa pandang bulu. Berbeda dari imam masjid yang kerap bertanya pada orang asing yang datang, “apa agamamu?,” para wali dipercaya sebagai baba, ayah yang penuh kasih sayang pada anak-anaknya. Mazar selalu terbuka dan siapa yang datang tidak pulang kecuali setelah merasa tercukupi kebutuhan spiritual dan psikologisnya.
Tak heran sampai hari ini, mazar-mazar Islam di India masih dipenuhi oleh para peziarah dari beragam agama, suku, dan kelas. Di medan kasih sayang sang wali, rentetan identitas duniawi—termasuk identitas agama—tak lagi penting. Yang lebih penting adalah hati yang menghadap pada saluran rahmat dan kasih sayang Ilahi.
Kepercayaan inilah yang kemudian memungkinkan terbentuknya relasi sosial yang jauh lebih manusiawi dan mendasar ketimbang relasi penuh sekat yang terbentuk melalui narasi teologis yang dibangun di masjid dan kuil, apalagi di partai dan gerakan politik berbasis agama. Di mazar, para peziarah menempatkan diri mereka sebagai anak dan cucu spiritual sang wali, terlepas dari latar belakang mereka. Mereka pun memandang sesama peziarah dengan kaca mata yang sama.
Seakan ada kesepakatan bersama bahwa identitas partikular tak lagi penting. Yang jauh lebih penting adalah relasi keakraban dan persaudaraan yang dibina setiap minggu tanpa perlu mengetahui nama, agama, kasta, dan kelas. Memang mereka berkawan tanpa saling mengetahui nama. Namun manusia sepertinya memang mampu saling mengenal tanpa mengetahui nama. Di India, sengaja berkawan tanpa menanyakan dan menyebut nama justru menjadi sebuah aksi etis dan bentuk perlawanan terhadap ragam ideologi yang kerap mengotak-kotakkan manusia.
Etika (ethics) memang tidak selalu membutuhkan ajaran moral (morality) yang terkadang pelik dan cenderung membosankan. Berbeda dari moralitas, yang bagi filsuf Emmanuel Lévinas adalah ajaran dan konvensi budi pekerti yang telah tersusun dan disetujui oleh sekelompok manusia, etika terbangun melalui pengalaman fenomenologis yang tercipta ketika dua anak manusia saling bertatap muka. Wajah, bagi Lévinas, menyingkap diri manusia. Dua wajah yang saling bertatap melahirkan tuntutan untuk saling mengenal sebagai sesama manusia apa adanya. Penyingkapan wajah menolak usaha penyerapan diri manusia ke berbagai konstruk identitas. Dua wajah yang saling menatap seakan saling memohon untuk dikenali dan dihargai sebagai manusia. Wajah seakan berbisik lirih pada wajah lain yang menyaksikan: lupakan agama, kasta, etnisitas, dan kelasku, pandangi aku apa adan, aku hanya seorang manusia sepertimu!
Keterbukaan mazar yang terbangun di atas prinsip keramah-tamahan (hospitality) sang wali pada para peziarah sepertinya memfasilitasi pengalaman etis seperti yang dijelaskan Lévinas. Seperti halnya para peziarah menghadapkan diri mereka pada kubur sang wali dalam praktik yang biasa disebut kaum Sufi sebagai tawajjuh (menghadapkan wajah/diri), keberadaan mereka di area mazar memungkinkan perjumpaan wajah. Dari sana, perkenalan antar wajah manusia dapat menciptakan keakraban jika terus diasuh.
Contoh kecil dari skenario ideal Lévinas inilah yang saya temukan ketika berziarah ke mazar Sunan Gunung Jati, Cirebon, selepas lebaran tahun lalu.
Ketika itu, saya pergi ke Cirebon dengan dosen pembimbing saya saat studi doktoral di University of Michigan, Prof. Webb Keane. Selepas berziarah, kami bertolak menuju salah satu kedai yang menjual nasi jamblang, makanan khas Cirebon. Prof. Keane memilih untuk mencicipi empal gentong di kedai sebelah karena sehari sebelumnya kami sudah menyantap nasi Jamblang. Saat masuk ke dalam kedai nasi Jamblang, pandangan saya tertuju pada sepasang laki-laki dan perempuan keturunan tionghoa paruh baya yang sedang lahap bersantap. Tidak tahu bagaimana, kami saling bertatap. Mungkin pakaiaan saya yang serba putih dan kain surban yang mengalungi leher saya menarik perhatian mereka. Mereka melepas senyuman hangat pada saya dan saya pun membalas dengan senyuman. Saya dapat melihat ada keinginan berkenalan dan berbincang dari tatapan muka mereka.
Setelah selesai menyantap nasi jamblang, saya menghampiri Prof. Keane di kedai sebelah. Di luar dugaan, laki-laki dan perempuan keturunan Tionghoa itu ternyata mengejar dan mendatangi kami. Tanpa memperkenalkan nama, mereka meminta izin untuk duduk bersama kami. Mereka kemudian bercerita bahwa mereka berasal dari Riau, dan setiap tahun mereka menyempatkan datang ke Cirebon untuk berziarah ke mazar Sunan Gunung Jati.
“Kami bukan Muslim, tetapi kami diwasiatkan oleh orangtua kami untuk selalu berziarah ke Cirebon,” begitu kira-kira penjelasan mereka. Keduanya memberi saya kartu nama, dan meminta saya menghubungi mereka jika kelak saya mengunjungi Riau. Dari obrolan perkenalan itu, saya merasakan dinamika keakraban yang begitu mudah terbangun. Saat itu, identitas partikular dan keberbedaan kami tidak lagi menjadi penting. Kami duduk bersama dan mencoba saling mengenal sebagai sesama manusia, terlepas dari perbedaan agama dan etnisitas. Saat itu, kami hanyalah para peziarah yang dipertemukan dan berkenalan di medan kasih sayang dan keramah-tamahan Sunan Gunung Jati.
Mungkin mazar di Indonesia tidak sebanding dengan mazar di India yang setiap harinya dipenuhi oleh para peziarah dari pelbagai agama. Mungkin juga, jumlah peziarah non-muslim yang mengunjungi mazar para wali di Indonesia sudah jauh berkurang akibat narasi-narasi keagamaan yang memperkuat politik identitas keagamaan dan keberbedaan. Tetapi, seperti pengalaman saya di Cirebon, ternyata praktik ziarah lintas agama masih ada, walaupun mungkin jumlahnya sedikit dan sepertinya akan semakin menurun. Jika demikian adanya, tentu patut disayangkan.
Kita patut bertanya, apakah narasi keagamaan yang selama ini dibangun justru menyempitkan dan menjauhkan kita dari medan rahmat dan kasih sayang ilahi yang disalurkan para wali?
Pertanyaan ini menjadi penting untuk diingat khususnya saat kita menyongsong Idul Fitri. Kaum muslim mengenal budaya open house, atau praktik membuka rumah saat Idul Fitri. Membuka rumah berarti menawarkan keramah-tamahan, menyiapkan aneka saji agar para tamu tak pergi kecuali dalam keadaan kenyang dan puas.
Mungkin ini saatnya kita berkaca pada mazar para wali yang memberi tanpa pengecualian, memeluk tanpa memilah, mengenal dan melayani tanpa mengidentifikasi. Jika selama ini kita disibukkan dengan narasi-narasi keagamaan yang memperkuat sekat dan perbedaan antar manusia, mungkin momen Idul Fitri mengingatkan kita untuk mencoba mencontoh para wali dan menjadi penyalur rahmat dan kasih sayang ilahi kepada siapapun yang datang tanpa melihat identitas agama, kelas, dan etnisitas.
Dengan demikian, rumah kita dapat menjadi mazar-mazar baru di mana persaudaraan dan keakraban berbasis rahmat dan kasih sayang antar manusia dapat selalu terbangun.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.