Menuju konten utama
14 November 1924

Kiai Sadrach, Perjalanan Santri yang Jadi Penginjil di Tanah Jawa

Kiai Sadrach adalah salah satu penyebar ajaran Kristen di Jawa yang paling berpengaruh.

Kiai Sadrach, Perjalanan Santri yang Jadi Penginjil di Tanah Jawa
Ilustrasi Mozaik Kiai Sadrach. tirto.id/Sabit

tirto.id - Kiai Sadrach wafat pada 14 November 1924, tepat hari 96 tahun silam. Meskipun bergelar kiai, Sadrach merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam misi menyebarkan ajaran Kristen alias penginjil di tanah Jawa.

Sadrach memang bukan penganut Nasrani sejak lahir. Ia dilahirkan dari keluarga petani sederhana di Jepara dengan nama Radin pada 1835. Sejak kecil, Radin sudah berkelana, mencari pengalaman hidup sekaligus mengurangi beban keluarganya yang miskin.

Dari hasil penelitian Silas Sariman yang bertajuk “Strategi Misi Sadrach: Suatu Kajian yang Bersifat Sosio Historis” yang terhimpun dalam Jurnal Abdie (Vol. 3, No. 1 April 2019) terungkap bahwa Radin kemudian diadopsi oleh keluarga Islam-Jawa yang cukup berada.

Radin disekolahkan ke sebuah lembaga pendidikan umum yang juga mengajarkan pendalaman agama Islam. Selain itu, tulis Sariman dalam risetnya, Radin juga sempat mempelajari ilmu kebudayaan Jawa kepada Sis Kanoman atau Pak Kurmen di Semarang.

Saat berusia 17 tahun, tulis I. Sumanto dalam buku Kyai Sadrach: Seorang Pencari Kebenaran (1974), Radin belajar di salah satu pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Ia semakin memperdalam ajaran agama Islam dan mendapat tambahan nama menjadi Radin Abas.

Tak hanya di Jombang, Radin juga memperdalam ilmu dan ajaran Islam di beberapa pondok pesantren lainnya di Jawa Timur, termasuk di Ponorogo.

Kelana Batin “Kiai” Kristen

Suatu hari, Radin pergi ke sebuah desa bernama Mojowarno. Di desa ini, ia bertemu dengan Jellesma, seorang misionaris Belanda. Inilah untuk pertamakalinya Radin bersinggungan dengan ajaran Kristen, tulis Sumanto dalam bukunya.

Jellesma pernah mengkristenkan seorang petani asal Jepara--daerah yang sama dengan tempat lahir Radin--bernama Ngabdullah. Kelak, Ngabdullah dikenal dengan nama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, penyebar ajaran Kristen yang bermukim di lereng Gunung Kelud, Kediri.

Fragmen perjalanan hidup Ngabdullah alias Kiai Ibrahim Tunggul Wulung ini dikisahkan kembali oleh C. Guillot dalam hasil penelitiannya yang sudah dibukukan dengan judul Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa (1985).

Setelah cukup lama berkelana mencari jati diri, termasuk dengan nyantri di berbagai pesantren dan mengalami banyak pengalaman batin, Radin kembali ke Semarang. Ia tinggal di Kauman yang lekat sebagai daerah komunitas muslim.

Radin kemudian bertemu seorang misionaris bernama W. Hoezoo di Semarang. Soetarman Soediman Partonadi dalam Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya (2001) menjelaskan, Hoezoo dikirim ke Jawa pada 1849 oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) atau Serikat Misionaris Negeri Belanda.

Selanjutnya, seperti yang tercatat dalam penelitian Silas Sariman, Radin belajar dan berguru kepada Hoezoo. Ia juga mengunjungi Sis Kanoman atau Pak Kurmen yang dulu pernah membimbing Radin.

Infografik Mozaik Kiai Sadrach

Infografik Mozaik Kiai Sadrach. tirto.id/Sabit

Dari Pak Kurmen inilah Radin diperkenalkan dengan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan akhirnya masuk agama Kristen pada 14 April 1867 serta berganti nama menjadi Sadrach. Lantaran ia pernah mondok dan punya pengikut, maka Radin pun kemudian dikenal sebagai Kiai Sadrach.

Sejak saat itu, Kiai Sadrach melakukan tugasnya sebagai penyebar misi Kristen berkeliling Jawa. Dari Batavia, Jawa bagian tengah, kemudian ke Jawa bagian timur, sampai kemudian ia diangkat anak oleh seorang pendeta di Purworejo pada 1869.

Kiai Sadrach pernah ditangkap aparat kolonial Hindia Belanda dan dipenjara selama 3 bulan. Ia dianggap sebagai ancaman karena memiliki pengaruh kuat di kalangan rakyat. Beruntung, Sadrach kemudian dibebaskan lantaran tidak ada cukup bukti yang bisa menjeratnya.

Di Purworejo, Kiai Sadrach membangun gereja dengan arsitektur unik. Tidak ada tanda salib di bagian atas gereja, melainkan lambang cakra. Selain itu, tata letak bangunan bagian dalam gereja ini hampir mirip dengan masjid.

Kiai Sadrach mengabdikan sisa hidupnya di Purworejo hingga wafat pada dalam usia yang sudah sangat lanjut, 89 tahun.

Sejak akhir abad ke-19, catat M.T. Arifin dalam Muhammadiyah Potret yang Berubah (1990), Purworejo telah menjadi pusat Kelompok Sadrach yang menyebarkan ajaran Kristen di berbagai daerah pedalaman di Jawa Tengah, melanjutkan misi sang “kiai”.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 14 November 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait KIAI SADRACH atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Agung DH & Irfan Teguh