tirto.id - Pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945), aktivis politik Indonesia yang bersikap kooperatif ditempatkan dalam organisasi dan laskar yang dibentuk Jepang. Jepang mengambil langkah ini sebagai upaya menarik simpati rakyat Indonesia agar sudi membantu kepentingan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Kelompok nasionalis Indonesia diberi kewenangan untuk menggerakan berbagai organisasi, seperti Gerakan 3A, Jawa Hokokai, Barisan Pelopor, hingga PETA. Selain kelompok nasionalis, Jepang juga mendekati kelompok Islam. Cara pendekatannya pun mirip, yakni dengan memberi para tokoh Islam tempat di dalam berbagai organisasi dan laskar Islam.
Menyadari bahwa Islam merupakan agama yang paling banyak dianut masyarakat Indonesia, Jepang jelas sangat butuh akan simpati dan dukungan dari kelompok ini. Untuk itulah, Otoritas Jepang membentuk Shumubu atau Kantor Urusan Agama pada awal masa Pendudukan.
Pada 1944, Jepang memperlebar jangkauannya dengan membentuk Shumuka (seksi agama di setiap keresidenan). Langkah ini sekaligus sebagai upaya lebih lanjut dalam mengontrol para ulama di daerah dan memuluskan mobilisasi massa.
Seturut sejarawan Aiko Kurasawa dalam Kuasa Jepang di Jawa (2015), Jepang juga mengadakan program Kyai Koshukai atau Latihan Alim Ulama guna memperbesar dukungan dan bantuan bagi kepentingan Perang Asia Timur Raya.
Sebelumnya, ada pula organisasi Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang dibentuk untuk menggalang mobilisasi umat Islam. Namun, MIAI dibubarkan pada 1943. Alasan pembubarannya amat politis, Jepang sadar bahwa para pengurus dan anggota MIAI mulai membangun kesadaran politik dan mengarahkan organ ini untuk kepentingan umat Islam.
Sebagai gantinya, Jepang mendirikan badan federasi Islam baru yang bernama Masyumi. Menurut Harry J. Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit (1980), Masyumi didirikan atas persetujuan Jepang pada November 1943. Tujuannya adalah menyatukan kekuatan-kekuatan Islam yang sebelumnya terpecah dan tidak terkontrol dengan baik oleh Jepang.
Selain itu, Masyumi dimaksudkan Jepang untuk mengimbangi kekuatan politik kelompok nasionalis yang dalam perkembangannya dianggap tidak berjalan sesuai dengan kepentingan Jepang.
Masyumi dipimpin K.H. Hasyim Asyari yang kharismatik. Anggota Masyumi memiliki anggota yang tersebar luas di Pulau Jawa. Struktur organisasi ini banyak diisi oleh tokoh-tokoh dari dua organisasi muslim besar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Selain itu, sejak pembentukannya, Masyumi berada di bawah perlindungan Pemerintah Militer Jepang.
Setahun setelah pendirian Masyumi, Saiko Shikikan (Panglima Tertinggi) mengumumkan bahwa Masyumi bakal memiliki laskar pemuda sendiri. Lantas, berdirilah Hizbullah pada 4 Desember 1944.
Indonesianis Harry J. Benda menjelaskan bahwa pembentukan Hizbullah itu merupakan realisasi atas permintaan kedua dari kelompok Islam untuk mendirikan pasukan sukarelawan militer. Sebelumnya, kelompok Islam telah melayangkan permintaan serupa pada 1943, tapi diabaikan Jepang.
Miftahuddin dkk. dalam “Dinamika Perjuangan Badan Federasi Umat Islam Menuju Kemerdekaan Indonesia, 1937-1945” (terbit dalam jurnal Istoria, Volume 17, No. 02, September 2021, PDF) menyebut bahwa pendirian Hizbullah juga tak bisa dilepaskan dari posisi Jepang yang makin terdesak dalam Perang Asia Timur Raya. Bagi Jepang, inilah solusi pragmatis untuk kebutuhannya akan pasukan cadangan.
Kampanye dibalik pendirian Hizbullah pun tak jauh-jauh dari klise Jepang selama menduduki Indonesia: untuk menyadarkan segenap umat Islam agar bersedia berjuang dengan Jepang di jalan Allah, serta menciptakan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, membela agama dan mencapai kemerdekaan tanah air.
Selanjutnya, pada pertengahan Desember 1944, perwakilan-perwakilan Masyumi melakukan inspeksi ke setiap keresidenan di pulau Jawa. Dalam inspeksi tersebut, didapati 500 orang yang bersedia menjadi calon anggota pertama laskar Hizbullah. Selain itu, beberapa kyai juga turut mengisi jajaran perwira yang bertugas melatih laskar Hizbullah.
Pada Januari 1945, Masyumi menetapkan pengurus pusat Hizbullah. K.H. Zainal Arifin diputuskan menjadi ketua, sedangkan wakil ketua diemban oleh Mr. Moehammad Roem. Selain itu, Jakarta ditetapkan sebagai markas utama Hizbullah dan Cibarusa, Jawa Barat, menjadi pusat pelatihan dan pendidikan militer Hizbullah.
Menurut Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018), latihan pertama Hizbullah mulai dilaksanakan pada Februari 1945 di bawah pimpinan Kapten Yanagawa.
Mengutip kembali Miftahuddin dkk., Gunseikan berserta perwira militer Jepang, pimpinan pusat Masyumi, dan para pangreh praja turut hadir dalam acara pembukaan pelatihan pertama Hizbullah. Seragam biru dan kopiah hitam putih berlambang bulan sabit dan bintang menjadi ciri dari peserta pelatihan tersebut.
Menurut Abdul Gafur dalam Perlawanan Akar Rumput: Partisipasi Masyarakat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949 (2022), pelatihan pertama di Cibarusa ini usai pada 20 Mei 1945. Setelah itu, para peserta pelatihan didapuk menjadi pelatih bagi kader laskar Hizbullah di daerah masing-masing.
Menurut Anthony Reid dalam Revolusi Nasional Indonesia (1996), hingga memasuki masa akhir Pendudukan Jepang, laskar Hizbullah tercatat memiliki 50.000 anggota.
Reorganisasi Masyumi Melahirkan Laskar Sabilillah
Saat kekuatan militernya mengalami kemerosotan dan dibayangi kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya, Jepang berupaya menyatukan kelompok-kelompok pemuda di Jawa, termasuk Masyumi dan Jawa Hokokai ke dalam Gerakan Rakyat Baru pada Juli 1945.
Namun, menurut M.C. Ricklef dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2011), Gerakan Rakyat Baru ini layu sebelum berkembang lantaran tuntutan para perwakilan pemuda yang cenderung sulit diterima Jepang.
Pasca Kemerdekaan, sebuah pertemuan akbar bertajuk Muktamar Umat Islam dilaksanakan di Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Acara ini dihelat sebagai respons atas terbitnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 3 November 1945. Dalam Muktamar tersebut, Masyumi yang sebelumnya berbentuk badan federasi Islam, diputuskan menjadi partai politik.
Menurut Najib Jauhari dalam “Resolusi Jihad dan Laskar Sabilillah Malang dalam Pertempuran Surabaya 10 Nopember 1945” (terbit di Jurnal Studi Sosial, Th. 5, No.2, Nopember 2013, PDF), muktamar tersebut juga memutuskan pendirian barisan laskar Sabilillah yang dipimpin K.H. Masjkur dan berpusat di Malang.
Di Pulau Jawa, laskar ini terbentuk hingga tingkat desa dan turut serta dalam berbagai pertempuran pasca kemerdekaan.
Dengan terbentuknya laskar Sabilillah, Masyumi kini mempunyai dua laskar paramiliter. Meski begitu, John R.W. Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946 (2011), kedua laskar ini punya karakter yang berbeda. Hizbullah menjadi representasi dari kekuatan politik Islam perkotaan, sementara Sabilillah merepresentasikan kekuatan Islam pedesaan.
Bergabung dalam Tentara Islam Indonesia
Dinamika internal lalu menghangat di tubuh kedua laskar ini saat Revolusi mulai berkobar. Mengutip Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim (2018), berdasarkan Garis Van Mook, seluruh kekuatan militer Indonesia diharuskan pergi meninggalkan wilayah yang berada di bawah kekuasaan NICA.
Keputusan tersebut menimbulkan kekecewaan, salah satunya dari Kartosoewirjo di Jawa Barat yang merasa ditinggalkan oleh Pemerintah Indonesia.
Menanggapi situasi tersebut, dengan tekad mempertahankan Jawa Barat, Kartosoewirjo mengumpulkan pemimpin Islam di Jawa Barat pada 10 Februari 1948 di Desa Pangwedusan, Cisayong, Tasikmalaya. Hasilnya adalah pernyataan sikap bersama menentang Perjanjian Renville, membekukan Partai Masyumi, serta mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII).
John R.W. Smail menjabarkan bahwa di saat bersamaan, laskar Hizbullah mengalami perpecahan perpecahan internal dalam menanggapi seruan untuk mengosongkan Jawa Barat. Sebagian mengikuti jejak TNI hijrah ke Jawa Tengah, sedangkan sebagian lainnya memilih menggabungkan diri ke dalam TII. Sementera itu, laskar Sabilillah di Jawa Barat seluruhnya menjadi kekuatan inti TII.
Mengutip buku Siliwangi dari Masa ke Masa edisi-2 (1979), tercatat sekitar 4000 pasukan Hizbullah-Sabilillah dalam tubuh TII. Saat masa kekosongan kekuasaan di Jawa Barat, pasukan TII terlibat pertempuran dengan pasukan Belanda pada 17 Februari 1948 di Gunung Cupu.
Mengutip kembali Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim (2018), Percikan konflik pertama antara TII dan TNI terjadi pada 25 Januari 1949. Keduanya terlibat baku tembak di Desa Antralina, Ciawi, Tasikmalaya. Dalam pertempuran tersebut, masing-masing pihak menyatakan sebagai korban.
Selanjutnya, Kartosoewirjo menilai kekosongan kekuasan di Jawa Barat adalah peluang untuk mendirikan negara Islam. Puncaknya, pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (NII) atau yang juga dikenal dengan gerakan DI/TII, di Desa Cisampah, Cisayong, Tasikmalaya.
Pada 4 Juni 1962, dalam Operasi Pagar Betis, Pasukan Batalyon 328 Kujang berhasil menangkap Kartosoewirjo di lereng Gunung Rakutak, Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dieksekusi regu tembak di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta. Mengikuti “Sang Imam”, gerakan DI/TII di Jawa Barat pun ikut mati sejak itu.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Fadrik Aziz Firdausi