tirto.id - Kasus pemaksaan siswi memakai jilbab di SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta menjadi fenomena gunung es di sekolah negeri. Praktik ini tidak hanya terjadi di DIY, tapi juga terjadi di sejumlah daerah lain. Salah satunya di DKI Jakarta, yaitu di SDN di daerah Tambora dan SMPN di Kebon Jeruk.
“Laporan tentang ada sekolah negeri yang mewajibkan pemakaian hijab harus ditangkap serius oleh Disdik. Segera diinvestigasi apakah aduan itu benar. Sekolah, apalagi sekolah negeri harus bebas dari diskriminasi,” kata Ketua Fraksi PSI DPRD DKI, Anggara Wicitra Sastroamidjojo melalui keterangan tertulis, Selasa (2/8/2022).
Ia pun berharap Disdik DKI dapat berperan aktif memberantas tindak diskriminasi di lingkungan pendidikan. “Harus ada pengawasan terhadap indikasi-indikasi diskriminasi dan intoleransi di sekolah karena jika dibiarkan berkembang akan berbahaya bagi generasi masa depan kita,” ucapnya.
Jika ditarik ke belakang, kasus serupa juga terjadi pernah terjadi di Sumatera Barat pada Januari 2021. Bahkan puluhan siswi non-muslim dipaksa memakai jilbab. Aturan diskriminatif ini mencuat, setelah seorang siswi berinisial JCH, melalui akun Facebook miliknya, mengunggah surat pernyataan tidak bersedia mengikuti aturan memakai jilbab.
Kembali ke contoh yang terjadi di DI Yogyakarta. Kasus ini bahkan menyebabkan siswi tersebut mengalami depresi. Kasus ini kemudian ramai hingga akhirnya Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DI Yogyakarta memberhentikan sementara kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam kasus itu.
Sekolah Negeri Semestinya jadi Etalase Kebhinekaan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyatakan, peristiwa tersebut jelas merupakan tindakan diskriminatif. Apalagi sekolah negeri dibiayai oleh negara yang seharusnya mejadi institusi yang inklusif dan semua memiliki kesempatan yang sama.
“Sekolah tempat belajar bagaimana menjadi generasi yang menjaga kebhinekaan Indonesia, bukan malah mengajarkan kebenaran sepihak dan fanatisme buta,” kata Ubaid kepada Tirto, Jumat (5/8/2022).
Hal senada diungkapkan Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan. Ia juga mengecam keras kasus pemaksaan jilbab di sekolah negeri.
“Padahal sekolah negeri harusnya menjadi etalase kebhinekaan dan tidak boleh penyeragaman simbol dan atribut keagamaan. Beda sama sekolah keagamaan," kata Halili kepada reporter Tirto, Jumat (5/8/2022).
Menurut Halili, pemaksaan penggunaan simbol keagamaan merupakan pelanggaran atas hak konstitusional warga negara untuk berekspresi dan berkeyakinan sesuai dengan hati nurani.
Pemaksaan pemakaian jilbab yang dilakukan oleh guru, kata dia, merupakan pelanggaran dan penyelewengan kewenangan yang dimiliki oleh para aparatur di sekolah-sekolah milik negara tersebut.
Karena itu, kata Halili, SETARA Institute mendesak Mendikbudristek, Nadiem Makarim untuk melakukan evaluasi komprehensif serta mengembangkan dan menerapkan protokol standar kebinekaan di sekolah-sekolah negeri untuk mencegah dan menangani kasus-kasus serupa.
“Dengan mengoptimalkan peran dan fungsi Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP), otoritas pendidikan di daerah, dan pengawas sekolah, serta dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil," ucapnya.
SETARA Institute juga ingin menyampaikan catatan kepada Mahkamah Agung. Menurut Halili, Putusan MA yang membatalkan SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada SD DAN SMP pada Mei tahun lalu, “Nyata-nyata memberikan efek buruk bagi agenda-agenda penguatan kebinekaan di sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.”
Kasus yang Selalu Berulang
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim juga mengkritik kasus tersebut. Ia menjelaskan kasus seperti ini bukan hanya baru-baru ini, melainkan sudah sering terjadi dan hampir tiap tahun terjadi.
Misalnya adanya dugaan seorang siswi non-muslim dipaksa memakai jilbab oleh pihak sekolah SMA Negeri 2 Rambah Hilir, Rokan Hulu (Rohul) Riau pada 2018. Kemudian juga terjadi di SMK Negri 2 Padang, Sumatera Barat pada 2021.
Tak hanya itu, larangan bagi pelajar perempuan mengenakan hijab juga terjadi di sejumlah daerah. Seperti SDN Nomor 070991 di Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara pada Juli 2022. Kemudian juga di SD Inpres 22 Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
“Ini menjadi catatan buram pendidikan nasional karena terus terjadi. Ini penyakit yang terjadi setiap tahunnya," kata Satriawan kepada Tirto.
Melihat kejadian yang terus berulang itu, kata Satriwan, tidak bisa hanya guru yang disalahkan. Tetapi pemerintah daerah juga harus disoroti.
Seperti dalam beberapa kasus yang terkadi, kata dia, pemaksaan penggunaan hijab bagi seorang pelajar perempuan dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat melalui surat edaran dan juga imbauan dengan dasar kearifan lokal.
Sementara itu, kepala sekolah dan guru hanya melaksanakan saja perintah dari para kepala daerah yang mengeluarkan surat tersebut. “Jadi surat kebijakan dari pemerintah daerah itu justru yang menjadi faktor utama intoleransi dan diskriminasi di sekolah dengan alasan local wisdom. Jadi bukan spesifik di guru," tuturnya.
Namun, jika terbukti kesalahan tersebut dari kepala sekolah ataupun gurunya, maka pemerintah bisa menindak dengan peraturan yang berlaku, baik bagi guru honorer maupun Aparatur Sipil Negara (ASN).
Implementasikan Permendikbud 45/2014
Satriwan menjelaskan seharusnya pemerintah maupun sekolah mengikuti ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah.
Misal, Pasal 1 Permendikbud 45/2014 menyebutkan “Pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta didik muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis, model, dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan proses belajar mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah.”
Kemudian penyelenggaraan pendidikan juga telah diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), di mana pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif.
Satriwan menyatakan jika terdapat kasus siswi dipaksa menggunakan hijab, artinya pengawasan Kemendikbud lemah.
“Menurut saya Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 itu sebenarnya sudah mengakomodir sekolah di Indonesia. Jadi agar tidak ada lagi pemerintah daerah maupun sekolah yang melakukan kasus seperti ini lagi," tuturnya.
Satriwan menuturkan tidak seharusnya seragam sekolah negeri dikembalikan seperti dahulu karena rentan didiskriminasi. Ia menjelaskan sejarah seragam sekolah mulai dari kepemimpinan Presiden Sukarno atau orde lama. Para siswa masih menggunakan baju dan celana pendek di atas lutut. Sementara perempuan baju dan rok di bawah lutut.
Kemudian memasuki era kepemimpinan Soeharto atau orde baru, masih serupa. Akan tetapi, memasuki tahun 1970-an, pemerintah melakukan kebijakan yang diskriminatif dengan melarang seorang siswa muslimah mengenakan hijab.
Namun pada era 1990-an, kata dia, dengan adanya kedekatan Soeharto dengan kelompok Islam, akhirnya pemerintah mengakomodir aspirasi politik dengan mengizinkan siswa sekolah mengenakan hijab.
Memasuki era reformasi, semua kelompok mulai terakomodir sampai lahirnya Permendikbud 45/2014. Oleh karena itu, dia mendorong agar pemerintah daerah dan sekolah menerapkan Permendikbud 45/2014 seperti mencantumkan contoh pakaian apa saja yang diperbolehkan di sekolah.
“Soal ini acuannya Permendikbud [45/2014], ini tidak bisa memaksa, harus ada opsi yang mengakomodir. Kami mengimbau jika ada indikasi pemaksaan atau pelarangan, siswa dan orang tua harus speak up,” kata dia.
Respons Kemendikbud, Disdikpora DIY, dan Disdik DKI
Terkait kasus ini, Kemendikbudristek menegaskan pemaksaan seorang perempuan mengenakan hijab di sekolah negeri bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Plt Karo Humas Kemendikbudristek, Anang Ristant menjelaskan, berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU 20/2003, di mana pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif.
“Pemaksaan dalam bentuk dan dilandasi oleh dasar apa pun semestinya tidak terjadi di lingkungan satuan pendidikan," kata Anang saat dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (5/8/2022).
Anang mengaku menyayangkan terjadinya pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah negeri. Kata dia, saat ini Kemendikbudristek tengah menjalankan proses investigasi dengan pendekatan yang mengedepankan hak-hak korban.
“Dalam hal ini, dukungan seluruh lapisan masyarakat juga sangat menentukan terwujudnya lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman untuk seluruh warga sekolah, terutama para peserta didik,” kata dia.
Lebih lanjut, Anang menegaskan, Kemendikbudristek berkomitmen untuk mewujudkan satuan pendidikan yang aman dan nyaman bagi seluruh warga sekolah.
Terkait kasus ini, Disdikpora DIY saat ini telah memberhentikan sementara kepala sekolah dan guru SMAN 1 Banguntapan, Bantul yang memaksa muridnya untuk menggunakan kerudung mulai Kamis (4/8/2022).
Hal tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah 94/2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 82/ 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
“Maka dilakukan Pembebasan Sementara dari tugas dan jabatannya kepada kepala sekolah dan guru yang diduga terlibat dalam pemaksaan penggunaan kerudung," kata Kepala Disdikpora DIY, Didik Wardaya melalui keterangan tertulis.
Sementara itu, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI membantah adanya kasus pemaksaan seorang siswi memakai kerudung di sekolah. Agar peristiwa tak terulang kembali, Disdik DKI lantas mengeluarkan imbauan yang ditujukan bagi para kepala sekolah se-ibu kota atas kejadian ini.
“Sudah [menyampaikan imbauan]. Setelah itu, langsung semua secara serentak baik SD, SMP, SMA, ada imbauan kepada semua kepala sekolah agar tidak ada pemaksaan [pakai hijab]," kata Kepala Sub Bagian Humas Disdik DKI Jakarta, Taga Radjagah kepada wartawan, Rabu (3/8/2022).
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz