Menuju konten utama

Menyoal Guru di Lamongan Gunduli Belasan Siswi Tak Pakai Ciput

Menko PMK Muhadjir sebut jangankan hanya tidak memakai ciput, bahkan tak berhijab pun tidak dilarang di sekolah negeri.

Menyoal Guru di Lamongan Gunduli Belasan Siswi Tak Pakai Ciput
Ilustrasi potong rambut. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Seorang guru bernama Endang melakukan aksi brutal dengan menggunduli 19 siswi SMPN 1 Sukodadi Lamongan, Jawa Timur karena menggunakan kerudung, tapi tak memakai ciput. Peristiwa ini terjadi pada 23 Agustus terhadap siswi kelas IX.

Para siswi dicukur menggunakan mesin pemangkas rambut. Atas kejadian tersebut, para orang tua murid tak terima dan memprotes. Permasalahan pun diselesaikan dengan cara mediasi. Alhasil, atas perbuatannya Endang dipecat sebagai guru.

Kasus tersebut ramai di media sosial hingga Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy ikut bersuara. Ia menilai perilaku guru yang menggunduli siswi tersebut merupakan tindakan yang setengah gila.

“Itu [guru gunduli siswi karena tak pakai ciput] tindakan setengah gila," kata Muhadjir kepada Tirto, Rabu (30/8/2023).

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu juga menyarankan agar guru tersebut diperiksa. “Coba guru yang melakukan tindakan itu dites kesehatan mentalnya," ucapnya.

Seharusnya, kata Muhadjir, semua guru tahu dan paham mengenai peraturan dan ketentuan berpakaian di sekolah. Jangankan hanya tidak memakai ciput hijab, bahkan tak berhijab pun tidak dilarang.

“Jadi kalau masih ada oknum guru yang melakukan tindakan melampaui batas, bisa jadi itu berasal dari pandangan sempit dan sikap intolerannya,” kata dia.

Atas kondisi tersebut, Muhadjir menyarankan agar pihak sekolah melakukan pendampingan secara psikologis. “Sekolah hendaknya mengkonsultasikan dengan psikolog, mengenai perlu tidaknya trauma healing untuk yang bersangkutan,” kata dia.

Tindakan Melampaui Kewenangan

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan, tindakan guru tersebut telah melampaui kewenangan. “Jika orang dewasa seperti guru memberikan sanksi padahal aturannya tidak ada, maka tindakannya melampaui kewenangan, itu pelanggaran HAM," kata Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti melalui keterangan tertulisnya pada Rabu (30/8/2023).

Retno menyatakan, tindakan guru sebagai pelaku juga bisa dikenakan pasal perbuatan tidak menyenangkan, karena hal tersebut berpotensi kuat mempermalukan, merendahkan, sewenang-wenang, menyerang psikis belasan anak yang menjadi korban, bahkan dapat menimbulkan trauma.

“Apalagi korbannya sangat banyak dan masih usia di bawah umur yang dilindungi oleh UU Perlindungan Anak. Artinya tindakan guru pelaku dapat dipidana dengan UUPA [Undang-undang Perlindungan Anak],” ucapnya.

Sekjen FSGI, Heru Purnomo juga mengecam perbuatan guru yang mengedepankan hukuman dan kekerasan dalam mendisiplinkan. Padahal seharusnya menerapkan disiplin positif ketika ada pelanggaran di satuan pendidikan.

“Miris kasus ini terjadi justru ketika Kemendikbudristek sedang giat-giatnya menghapus tiga dosa besar di pendidikan sebagaimana ketentuan dalam Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan,” kata Heru.

Sedangkan Komnas Perempuan menyatakan penting dipahami bahwa tindakan itu berkait langsung dengan kebijakan daerah yang diskriminatif mengenai kewajiban busana dengan simbol agama berdasarkan pemahaman tertentu, yang kemudian diterjemahkan ke dalam lembaga pendidikan.

“Perempuan menjadi target dan menyebabkan kerugian yang tidak proporsional berbasis gender," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani melalui keterangan tertulisnya, Kamis (31/8/2023).

Sekurangnya masih ada 73 dari 114 kebijakan daerah sejak 1999 tentang kewajiban busana yang masih berlaku hingga kini, kata Andy.

Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah?

Atas kondisi tersebut, FSGI mendorong Inspektorat Kabupaten Lamongan untuk memeriksa pelaku dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan dalam menangani kasus ini.

Karena penyelesaiannya sama sekali tidak menggunakan hukum positif atau peraturan perundangan terkait perlindungan anak dan Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan pendidikan.

Padahal tindakan si guru jelas masuk kategori tindak kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik dengan membuat pitak dan kekerasan psikis karena anak korban pasti merasa direndahkan, dipermalukan dan ketakutan. Kekerasan fisik, psikis dan perundungan diatur dengan tegas dalam Permendikbud 46/2023 tentang PPKSP.

FSGI juga mendorong Kompolnas untuk memeriksa pihak kepolisian Lamongan yang telah menangani kasus ini dengan restoratif justice dalam UU Perlindungan Anak. Padahal prinsip restoratif justice tidak bisa diterapkan ketika pelaku adalah orang dewasa dan korbannya adalah anak di bawah umur.

Restoratif Justice adalah ketentuan penyelesaian kasus anak yang berkonflik dengan hukum dalam UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), di mana posisi anak adalah pelaku dan korbannya bisa sesama anak dan atau orang dewasa.

“Kasus ini justru sebaliknya, pelaku orang dewasa dan belasan korban usia anak,” ujarnya.

Selanjutnya, FSGI mendorong Itjen Kemendikbudristek dengan Pokja Penanganan Kekerasan di satuan pendidikan segera turun tangan, datang ke lokasi, dengarkan suara para korban, wawancara secara acak dengan sejumlah siswa dan perwakilan orang tua.

Dalam penanganan kasus ini, kata FSGI, Kemendikbudristek jangan hanya mendengarkan pihak sekolah, dinas pendidikan dan guru pelaku saja. Semua pihak yang terlibat termasuk kepolisian dimintai keterangan agar penyelesaian kasus ini adil bagi korban dan ada penegakan Permendikbudristek 46 dan UU Perlindungan Anak.

FSGI juga mendorong seluruh organisasi profesi guru untuk mencantumkan bahwa tindak kekerasan dalam bentuk apa pun adalah pelanggaran kode etik guru. Jadi kode perilakunya, dalam mendisiplinkan anak harus menggunakan disiplin positif tanpa kekerasan.

Terkahir, FSGI mendorong Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kabupaten Lamongan untuk melakukan asesmen psikologi dan juga pendampingan psikologi bagi belasan korban sampai pulih.

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) juga meminta agar sekolah segera membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sesuai Permendikbudristek 46/2023. Dalam Pasal 25, disebutkan TPPK menyebut bahwa tim tersebut harus memberikan rekomendasi hukuman bagi pelaku kekerasan.

Seperti dalam Pasal 62 ayat 3, sanksi administrasi berat karena berdampak fisik dan korbannya lebih dari satu orang. Kemudian Pasal 60 ayat 5, menyebut juga agar dinas memfasilitasi pemindahan guru pelaku kekerasan untuk dipindahkan sesuai rekomendasi TPPK.

“Oleh karena itu jika tidak segera dibentuk, maka sulit memberikan rekomendasi sanksi,” kata Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri kepada Tirto, Kamis (31/8/2023).

Bahkan dalam Pasal 42 ayat 4, lanjut Iman, kementerian bisa merekomendasikan sanksi kepada kepala dinas dan kepala daerah karena tidak melaksanakan penanganan kekerasan di satuan pendidikan.

“Jangan dilupakan pada para korban, saksi, dan pelapor tetap mendapatkan layanan pendidikan termasuk ketika berhadapan dengan hukum. Jangan sampai hak mereka hilang,” kata Iman.

Sedangkan Komnas perempuan mendorong agar pemerintah, pemerintah daerah, dan dinas pendidikan setempat untuk segera mencabut kebijakan yang diskriminatif, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban pengenaan jilbab.

Langkah ini sangat penting untuk memastikan lembaga pendidikan menjadi ruang yang ramah dalam menghargai keberagaman dan bebas kekerasan.

“Serta melakukan kegiatan-kegiatan pembinaan untuk mencegah tindakan kekerasan dan diskriminatif atas nama agama terjadi kembali di lingkungan pendidikan,” ucap Andy.

Baca juga artikel terkait SERAGAM SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz