Menuju konten utama

Pemaksaan Memakai Jilbab Saat Ini dan Pelarangan pada Era Orde Baru

Pembatasan pemerintah Orde Baru terhadap agama sangat ketat, tecermin dari upaya pemerintah menghalangi siswi sekolah negeri mengenakan jilbab.

Ilustrasi siswi SMA. FOTO/Istimewa

tirto.id - SMK Negeri 2 Padang, Sumatra Barat, menjadi sorotan sejak 21 Januari 2021 lalu. Musababnya bermula dari sebuah unggahan Facebook salah seorang siswi yang mengaku dipaksa memakai jilbab saat berada di sekolah, kendati dirinya adalah non-muslim. Siswi berinisial JCH itu menyatakan tidak bersedia mengikuti aturan memakai jilbab.

Di Indonesia, aturan seragam sekolah yang diskriminatif ini bukan yang pertama kali. Dua tahun lalu, isu serupa terjadi di SMA Negeri 2 Rambah Hilir di Rokan Hulu, Riau. Di Yogyakarta malah terdapat tiga sekolah menengah yang terlibat kontroversi imbauan berjilbab.

Ribut-ribut soal peraturan wajib berjilbab bagi siswi non-muslim di sekolah negeri, juga sempat mewarnai Jakarta di masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada 2016. Ahok meminta kepada para kepala sekolah negeri di Jakarta agar tidak memaksa siswinya yang non-muslim memakai jilbab demi menjunjung toleransi beragama.

40 tahun lalu, kondisinya justru terbalik. Rezim Orde Baru malah berusaha menghalangi siswi-siswi sekolah negeri mengenakan jilbab saat pergi ke sekolah. Kebijakan menyeragamkan busana sekolah yang pertama kali, disosialisasikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef pada awal dekade 1980-an. Hal ini lantas memicu reaksi negatif dari kalangan umat Islam.

Ketika Jilbab Dilarang

Konflik antara pemerintah dengan umat Islam di bidang pendidikan sudah mulai meruncing pada pengujung tahun 1970-an. Begitu dilantik sebagai Mendikbud, Daoed Joesoef langsung mengevaluasi hari libur sekolah. Selama bulan suci Ramadan, anak-anak sekolah tidak lagi libur satu bulan penuh seperti sebelumnya.

Melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978, hari libur bagi siswa SD, SMP, dan SMA ditetapkan hanya 10 hari (tiga hari pada awal puasa dan tujuh hari setelah Idul Fitri). Keputusan ini tidak disambut baik oleh sejumlah organisasi Islam dan cendekiawan muslim. Buya Hamka yang kala itu Ketua MUI, menentang keras dan menyerukan kepada sekolah-sekolah Islam agar tetap meliburkan siswanya sepanjang bulan puasa.

Tokoh-tokoh Islam yang merasa keputusan tersebut diambil tanpa perundingan merasa sangat terusik. Mantan Menteri Pendidikan H.M. Rasjidi termasuk yang mengkritik keras kebijakan pendidikan sekuler ala Daoed Joesoef. Menurutnya, sebagaimana terurai dalam buku Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia (2004: 149), kebijakan tersebut “akan mengasingkan jutaan anak Muslim dari suasana keagamaan selama bulan Ramadan.”

Keadaan semakin runyam tatkala Mendikbud kembali membuat kelompok Islam berang melalui kebijakan pelarangan pemakaian jilbab bagi siswi sekolah negeri. Berdasarkan peraturan seragam sekolah yang terbit tidak lama setelah kebijakan penghapusan libur Ramadan, semua siswa SMA negeri pada masa itu diwajibkan memakai seragam tanpa penutup kepala.

Sebagian besar kepala sekolah negeri di Jakarta, Bandung, dan Surabaya dengan segera tunduk pada aturan baru tersebut. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa pemakaian jilbab merupakan bentuk pelanggaran terhadap disiplin sekolah yang disahkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Menengah, dan Atas, melalui Surat Keputusan No.52 tahun 1982.

Diskriminasi terhadap siswi yang mencoba berjilbab pun mulai terjadi. Para guru tidak jarang menolak mengajar jika masih ada siswi berjilbab di kelasnya. Dalam penelitian tentang kebijakan pelarangan memakai jilbab di Surabaya tahun 1982-1991, Salsabila Ramadhani (2018, PDF) mencatat terdapat instruksi dari Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kepada setiap guru agar melakukan tekanan terhadap siswi yang masih nekat berjilbab.

“Hal itu harus dilakukan oleh guru-guru di SMA 4 Negeri Surabaya, karena adanya instruksi langsung dari Kepala Sekolah, sedangkan Kepala Sekolah hanya tunduk kepada Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,” tulisnya mengutip pengakuan salah seorang guru senior.

Tidak butuh waktu lama, penolakan umat Islam terhadap kebijakan larangan berjilbab menyebar ke berbagai daerah. Meskipun terjadi serangkaian demonstrasi menentang pelarangan pemakaian jilbab bagi siswi sekolah negeri, Daoed Joesoef tidak gentar dan tetap mempertahankan keputusan tersebut sampai masa jabatannya usai satu tahun setelah SK No.52 disahkan.

Pemerintah bukannya tidak menyadari keberatan kelompok Islam. Penerus Daoed Joesoef, Nugroho Notosusanto, malah bertindak lebih jauh dengan merilis siaran pers. Sejarawan militer yang dilantik menjadi Mendikbud pada 1983 ini menegaskan, bahwa kebijakan tentang disiplin seragam sekolah negeri tidak akan dievaluasi karena sudah menjadi ketentuan sekolah pemerintah.

“Pada dasarnya, setiap sekolah pemerintah harus mempunyai pakaian seragam dan bagi siswa yang karena alasan apapun, harus memakai jilbab, akan dibantu pindah ke sekolah agama,” ungkapnya.

Infografik Larangan Jilbab di Sekolah Orde Baru

Infografik Larangan Jilbab di Sekolah Orde Baru. tirto.id/Fuad

Pendidikan Sekuler Daoed Joesoef

Orde Baru memang rezim yang sentralistis. Kurikulum pendidikan Orde Baru yang pertama kali diperkenalkan pada 1968, tidak bisa dipisahkan dari pengaruh politik Soeharto yang semakin tinggi. Tidak heran jika kemudian para pelaksana pendidikan tidak memiliki pilihan kecuali mengikuti peraturan pusat.

Di tingkat pendidikan agama, pembatasan jauh lebih ketat karena agama dinilai bisa mengancam ketertiban politik. Dialog soal kerukunan umat beragama sudah pernah dilakukan pada tahun 1967, namun baru pada 1978--saat Alamsjah Ratoe Perwiranegara menjadi Menteri Agama--isu toleransi beragama mulai mendapat sorotan tetapi juga diikuti oleh kebangkitan kelompok Islam garis keras.

Daoed Joesoef yang dilantik pada tahun yang sama menandai hal tersebut sebagai ancaman bagi dunia pendidikan. Dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 125), Salim Said menyebut Daoed Joesoef sebagai salah seorang yang tidak mendukung kebijakan Soeharto bersahabat dengan Islam Syariah.

Dia disebut menjunjung nilai sekularisme Prancis yang tidak mengagungkan agama tertentu. Maka tidak heran jika dalam setiap kebijakannya, Daoed Joesoef cenderung menolak kebijakan pendidikan berbasis agama. Melarang pemakaian jilbab di sekolah negeri hanya salah satu caranya memisahkan dunia pendidikan dengan politik dan agama.

Dalam memoar Emak: Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne (2010: 261), Daoed Joesoef mengaku menganut nilai-nilai keislaman yang berbeda dibandingkan orang kebanyakan. Menurutnya, doktrin agama yang dicampur ke dalam pendidikan seperti yang diterapkan di pesantren berpotensi menebar kebencian dan menjelekan citra Islam.

“Pendidikan [agama] itu cenderung provokatif, manipulatif, menebar benih-benih kebencian, fanatisme, dan kemunafikan. Sebagai muslim sejati aku berusaha membuat Islam menjadi a religion of reason dan bukan a religion of hate and fear,” tulisnya.

Di buku yang sama, ia juga menyinggung soal pemisahan agama dan politik dengan pendidikan. Barangkali karena alasan itu dia menolak memberikan izin pendirian Lembaga Bahasa Arab yang malah membuat Menteri Agama marah besar. Padahal sebelumnya, seperti dikisahkan dalam Biografi Sosial-Politik Menteri-Menteri Agama RI (1998: 344), Daoed Joesoef sempat menyetujui kursus bahasa asing yang diadakan di beberapa kedutaan besar di Jakarta.

Di pengujung dasawarsa 1980-an, Soeharto mulai mengakomodasi tuntutan umat Islam terhadap isu pelarangan jilbab dan pendidikan agama di sekolah. Dan pada 1991, pemerintah merilis kebijakan baru tentang seragam sekolah. Jilbab ditetapkan sebagai seragam sekolah alternatif bagi muslimah.

Baca juga artikel terkait ATURAN JILBAB SEKOLAH atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh
-->