Menuju konten utama

Sebelum Jilbab Tren di Tanah Air

Penggunaan jilbab baru populer dua dekade terakhir di Indonesia. Jika pada masa lalu dibatasi, kini tak ada lagi halangan bagi mereka yang ingin memakainya.

Sebelum Jilbab Tren di Tanah Air
Header Diajeng Jilbab. foto/Istockphoto

tirto.id - Beberapa tahun lalu, perdebatan jilbab terkait foto Pahlawan Nasional Tjut Meutia dalam uang baru pecahan Rp1.000 sempat mencuat. Dalam uang pecahan baru itu, terpampang foto Tjut Meutia tanpa mengenakan jilbab.

Meski pihak keluarga Tjut Meutia tak keberatan dengan gambar leluhur mereka tanpa jilbab, beberapa pihak mengajukan protes, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh dari fraksi Partai Amanat Nasional, Asrizal H Asnawi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jilbab adalah kerudung lebar yang dipakai perempuan muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada. Istilah ini memang baru populer di zaman modern. Di awal abad XX, istilah jilbab belum banyak dipakai. Penggunanya di Indonesia juga kala itu sulit ditemukan.

Header Diajeng Jilbab

Header Diajeng Jilbab. foto/IStockphoto

Foto-foto pahlawan wanita di masa lalu menunjukkan hanya segelintir yang mengenakan jilbab. Selain Tjut Meutia, Tjut Njak Dien juga tak berjilbab. Setidaknya berdasar foto koleksi Tropen museum yang dipotret setelah penangkapannya di 1905. Intinya, tak semua pahlawan nasional perempuan beragama Islam berjilbab di masa awal abad XX.

“Jilbab, blus, dan celana masa kini tidak ada dalam foto-foto dari tahun 1880-an dan 1890-an,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (2008). Kesimpulan itu didapat setelah dia mengamati foto-foto lawas era 1880-1890-an.

Berdasarkan foto-foto lawas, hanya Siti Walidah alias Nyi Ahmad Dahlan dan Rangkayo Rasuna Said yang terlihat memakai jilbab. Dua perempuan ini tak berjuang di medan perang, tetapi merupakan intelektual pergerakan nasional di zaman kolonial.

Di zaman kolonial, jilbab bukan penutup kepala populer yang dipakai oleh kaum hawa. Pada masa itu, lebih mudah ditemukan perempuan-perempuan berkerudung.

Header Diajeng Jilbab

Header Diajeng Jilbab. foto/ISotckphoto

Menurut Abdul Munir Mulkhan dalam Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (2010), Ahmad Dahlan “yang mentradisikan pemakaian kerudung bagi kaum perempuan yang belakangan merebak dalam tradisi atau model jilbab.”

Tentu saja tidak langsung semua perempuan beragama Islam mulai banyak yang berkerudung, apalagi berjilbab.

Di era pergerakan nasional 1930-an, jumlah perempuan berkerudung atau berjilbab juga masih belum banyak.

Rangkayo Rasuna Said berjilbab seperti gurunya ketika di Diniyah Putri, Rahmah El Yunusiyah. Mengenai jilbab yang dipakai Rasuna, dalam memoarnya, Hadely Hasibuan: Memoar Mantan Menteri Penurunan Harga (1995), Hadely Hasibuan menuliskan kekagumannya pada Rasuna Said.

“Rangkayo yang cantik ini, konon sehari-harian, dari pagi sampai malam selalu mengenakan baju kurung dan jilbab.”

Menurut AA Navis dalam Surat dan Kenangan Haji (1994), jilbab yang dipakai Rasuna Said digolongkan sebagai jilbab jenis mudawarah. Pada dekade yang sama, Siti Raham, istri Buya Hamka, juga memakai jilbab yang hampir sama dengan Rasuna.

Setelah era pergerakan nasional, yang berlanjut di masa revolusi bahkan hingga film-film dakwah ala Rhoma Irama bertaburan di era 1970-1980, jilbab dan kerudung masih belum populer di Indonesia.

Dalam beberapa film yang dibintangi Rhoma Irama, perempuan yang jadi pasangan Raja Dangdut itu hanya digambarkan mengenakan pakaian sopan, tanpa jilbab ataupun kerudung. Dalam film Perjuangan dan Doa yang dirilis 1980, tokoh sosok pelajar madrasah bernama Laila yang diperankan Rika Rachim hanya memakai kerudung saja.

Memasuki periode 1980-an, penggunaan jilbab mulai semarak. Makin banyak siswi sekolah yang mengenakan jilbab, dan muncul wacana untuk memisahkan siswi berjilbab dan tidak berjilbab.

Pada 1979, siswi-siswi berjilbab di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung menolak dipisahkan dengan kawan-kawan perempuan mereka yang tak berjilbab. Ketua MUI Bandung kala itu EZ Muttaqien berhasil menggagalkan pemisahan itu.

Pemerintah Orde Baru memang dikenal sebagai pemerintah yang gandrung pada keseragaman, termasuk dalam berpakaian. Pada 17 Maret 1982, Dirjen Pendidikan dan Menengah (Dikdasmen), Prof. Darji Darmodiharjo, SH., mengeluarkan Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan jilbab di sekolah negeri sekuler.

Menurut Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), gerakan-gerakan Islam yang berseberangan dengan Orde Baru merasa, “pemerintah Orde Baru selalu menghalang-halangi umat Islam untuk menerapkan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari, misalnya melarang para perempuan memakai jilbab untuk menutupi auratnya.”

Tentu saja Soeharto tak bisa berlama-lama menghalang-halangi jilbab. Dia tak mau terus menerus ditentang diam-diam oleh orang Islam seperti sosok Abdurrahman Wahid yang pimpinan NU itu.

Soeharto pun akhirnya merangkul orang-orang Islam lainnya. Pada kala itu, Soeharto menyetujui didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Desember 1990. Lalu memperbolehkan jilbab dipakai dan berkembang, bahkan belakangan ini ada istilah Gen-M untuk menggambarkan sebuah generasi.

“Usaha Soeharto mendapatkan dukungan Islam menghasilkan sejumlah konsesi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Perempuan diperbolehkan memakai jilbab,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).

Berdasar Surat Keputusan nomor 100/C/Kep/D/ tahun 1991, Dirjen Pendidikan dan Menengah memperbolehkan lagi siswi-siswi di sekolah-sekolah negeri sekuler memakai jilbab. Seperti ditulis Eko Prasetyo dalam Astaghfirullah! Islam Jangan Dijual (2007), “jilbab kemudian trend mode.”

Dari tahun ke tahun, setelah diperbolehkan, perlahan-lahan pemakainya semakin banyak. Kian banyak pula perempuan yang semakin kreatif dalam memodifikasi jilbab.

Artikel ini pernah tayang di tirto.id dan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.

Baca juga artikel terkait JILBAB atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra & Yemima Lintang