tirto.id - Berkat gencarnya iklan pariwisata oleh pemerintah setempat, kiwari masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai The Spirit of Java. Jarang Surakarta atau Solo dikaitkan dengan kaum santri, meski di masa lalu kota tersebut gegap gempita oleh aktivisme mereka.
Sewaktu muda KH. Saifuddin Zuhri dan Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, masing-masing pernah menjabat sebagai Menteri Agama, tinggal di Surakarta. Keduanya bahkan pernah mengenyam pendidikan di madrasah yang sama.
Denyut Islam di Surakarta
Sebagaimana Yogyakarta, sejak dulu Surakarta sudah dikenal sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Ini terlihat dari banyaknya pujangga dan menjamurnya institusi pendidikan, khususnya madrasah atau pesantren.
Lahirnya para pujangga dan institusi pendidikan di Surakarta tidak terlepas dari kebijakan para sunan atau raja yang bertakhta. Sejumlah sunan bahkan memiliki riwayat sebagai pujangga yang menghasilkan karya-karya penting.
Seturut Syamsul Bakri dalam “Pergerakan di Jantung Vorstenlanden” (2021: 8), salah satu pujangga kenamaan asal Surakarta adalah Yasadipura I yang menulis Serat Cebolek, Serat Bratayudha, Serat Rama, dan Babad Giyanti. Yang tak kalah tenar tentu saja R. Ng. Ranggawarsita, penulis Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha, dan Babad Itih.
Susuhunan Pakubuwana IV juga seorang pujangga. Salah satu karyanya berjudul Serat Wulangreh. Demikian pula Sri Mangkunagara IV (Serat Wedhatama), Yasadipura II (Babad Pakepung), dan R. Ng. Ranggasasmita (Suluk Martabat Sanga).
Serat Centini atau Suluk Tambangraras yang disebut-sebut karya terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru digubah oleh Mangkunagara III, yang setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Susuhunan Pakubuwana V.
Sebagaimana karya-karya pujangga yang ditulis pada abad ke-18 sampai 19, sejumlah institusi pendidikan juga bermunculan pada masa yang sama. Salah satu yang paling penting adalah Pesantren Jamsaren yang didirikan pada 1750 berkat dukungan Pakubuwana III.
Pesantren legendaris ini mula-mula dipimpin Kiai Jamsari, seorang ulama asal Banyumas. Penerusnya yakni Kiai Jamsari II meninggalkan pesantren dan membiarkannya terbengkalai setelah mendengar tertangkapnya Pangeran Dipanegara.
Sebagai pendukung setia sang pangeran, Kiai Jamsari II patut khawatir. Pasalnya, tentara Belanda merasa leluasa menciduk satu demi satu pendukung Pangeran Dipanegara setelah Perang Jawa (1825-1830) berhasil dipadamkan.
Seturut M. Bagus Sekar Alam dalam “The Formed of Ulama Pesantren Intellectual Genealogy Networks in Surakarta Region at The Early 20 th Century until New Order Era” (2018: 41), pada kurun 1900-1950 terdapat sejumlah ulama besar di Surakarta.
Mereka adalah Tafsir Anom V, seorang penghulu atau kadi pada masa Pakubuwana IX, KH. Idris bin Zaid (penerus Pesantren Jamsaren setelah lama tidak beroperasi), KH. Abdul Mannan (pendiri Pesantren Al-Muayyad), KH. Ma'ruf (pendiri Pesantren Jenengan), dan KH. M. Adnan (putra Tafsir Anom V dan rektor pertama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Tafsir Anom V adalah ulama keraton yang pada 1905 mendirikan Madrasah Mambaul Ulum. Madrasah ini merupakan sekolah Islam modern pertama di Jawa yang pada masa keemasannya memiliki ribuan murid.
Madrasah yang didirikan atas dukungan Pakubuwana X ini selain untuk mempersiapkan regenerasi ulama khususnya di wilayah Kasunanan Surakarta, juga dilatari oleh pesatnya pembangunan sekolah Kristen di tangan misionaris Barat.
KH. Saifuddin Zuhri dalam memoarnya yang berjudul Berangkat dari Pesantren (2013: 152) menulis bahwa Mambaul Ulum merupakan madrasah dengan jenjang pendidikan dasar (5 tahun), menengah (3 tahun), dan atas (3 tahun). Kegiatan belajar-mengajar diadakan dua kali, yaitu pagi pukul 7.00 sampai 12.00 dan siang pukul 14.00 sampai 16.30.
Menteri Agama era Orde Lama itu memang pernah mengenyam pendidikan di Mambaul Ulum sebelum pindah ke Al-Islam di bawah asuhan KH. Imam Ghozali. Nama terakhir ini, selain alumni Pesantren Jamsaren dan Madrasah Mambaul Ulum, pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Di samping KH. Imam Ghozali, murid-murid Mambaul Ulum yang lain juga mendirikan pesantren setelah lulus dari madrasah tersebut. Mereka adalah KH. M. Mansyur (Pesantren Popongan), KH. Umar Abdul Mannan (Pesantren Mangkuyudan), KH. M. Adnan (Madrasah Takmirul Islam), dan KH. Siroj (Pesantren Panularan).
Figur yang tidak kalah terkenal sekaligus kontroversial adalah Prof. Dr. Munawir Sjadzali. Munawir adalah Menteri Agama dua periode (1983-1993) pada masa Orde Baru. Selama menjabat, ia gencar mempromosikan Pancasila sebagai asas tunggal.
Santri Surakartan Bergerak
Surakarta pada awal abad ke-20 juga diramaikan dengan pergerakan Islam. Salah satu motornya adalah Rekso Rumekso. Perkumpulan ronda yang didirikan H. Samanhoedi ini selanjutnya bermetamorfosis menjadi Sarekat Dagang Islam (SDI) sebelum berubah menjadi Sarekat Islam (SI).
Organisasi yang lahir pada masa yang sama adalah Sarekat Ngrukti Sawa (1914), Muhammadiyah Surakarta (1923), dan Nahdhatul Muslimat (1931). Organisasi lain yang tidak bisa dikecilkan perannya adalah Sidik Amanah Tableg Vatonah (SATV).
SATV adalah perkumpulan para ulama yang diketuai Haji Misbach, punggawa SI berjuluk “Haji Merah”. lantaran berupaya memadukan Islam dan Komunisme. Haji Misbach juga merupakan pendiri surat kabar Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917).
Selain beranggotakan kaum santri, perkumpulan ini juga didukung para saudagar batik. SATV disambut positif oleh penguasa karena misinya yakni amar ma’ruf nahi munkar yang beririsan dengan kepentingan mereka, yaitu memberantas kriminalitas.
Pada 1919 sebagai rekomendasi dalam Kongres al-Islam yang difasilitasi SATV, lahir organisasi baru yang bernama Raad Oelama (Dewan Olema). SI dan Muhammadiyah memiliki andil besar dalam pembentukan organisasi ini.
Tokoh agama dari kalangan priyayi tidak mau ketinggalan. Pengoeloe Bond didirikan di Sragen oleh para penghulu keraton pada 1919. Dalam perkembangannya organisasi ini berganti nama menjadi Oelomo Bond.
Selain Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, media massa lain yang turut menyuarakan kepentingan umat Islam adalah Tjermin Islam. Dalam setiap edisinya ketiga surat kabar tersebut mengangkat isu-isu keagamaan, mulai tauhid, fikih, akhlak, juga wacana Islam modern.
Islamisasi Ala Keraton
Islamisasi di Surakarta semakin marak sejak abad ke-18. Ini terlihat dalam Serat Cabolek karya Yasadipura I yang menceritakan perdebatan antara ulama keraton yang ortodoks dengan Kiai Mutamakkin yang mengusung pemikiran sufistik.
Sejak awal Kasunanan Surakarta memang melibatkan para ulama dalam menjalankan pemerintahannya, termasuk saat menentukan lokasi keraton. Pesantren Jamsaren yang vakum selama 70 tahun pasca Perang Jawa, dibuka kembali oleh KH. Idris bin Zaid atas dukungan Pakubuwana X.
Masjid Agung Surakarta yang merupakan episentrum kegiatan keislaman dibangun pada 1757, juga atas prakarsa Pakubuwana III. Pakubuwana IV yang naik takhta pada 1788 tetap melibatkan ulama dalam pemerintahan, yaitu dengan mengangkat Kiai Makali sebagai penasihat spiritual.
Selain menghidupkan kembali Pesantren Jamsaren dan menggagas pendirian Madrasah Mambaul Ulum, Pakubuwana X juga menginstruksikan agar masyarakat menjalankan syariat dengan baik dan mendirikan masjid di kabupaten, distrik, dan onder distrik.
Proses islamisasi di Kasunanan Surakarta bergerak semakin masif. Adipati Sastraningrat, Patih Dalem Kraton Surakarta, dan Raden Tumenggung Wreksadiningrat bahkan memerintahkan agar lagu-lagu keagamaan dimainkan di keraton.
Lagu-lagu yang disebut dengan Santiswaran itu, yang berisi syair-syair selawat untuk Nabi Muhammad, dinyanyikan dengan iringan trebang, kendang, dan kemanak. Santiswaran digelar setiap hari Ahad mulai bakda Isya hingga tengah malam.
Para penghulu keraton juga mengambil peran dalam islamisasi di Surakarta. Sebagai pejabat di bidang keagamaan, mereka menitikberatkan pada pengembangan cabang ilmu fikih, yaitu at-Tasyri’ wa al-Qadha’ (Perundang-undangan dan Peradilan).
Kelompok lain yang turut mendorong islamisasi di Surakarta adalah para ulama perdikan, yaitu ulama pesantren yang berada di luar sistem kekuasaan. Umumnya mereka fokus pada pengembangan akidah dan akhlak.
Penulis: Firdaus Agung
Editor: Irfan Teguh Pribadi