Menuju konten utama
Al-Ilmu Nuurun

Munawir Sjadzali: Menteri Agama yang Konsisten Menolak Negara Islam

Sebagai pemikir Islam, Munawir Sjadzali tergolong kritis atas gagasan negara Islam di Indonesia sejak muda. Waktu jadi Menteri Agama, ia mendorong kelompok Islam menerima Pancasila sebagai asas tunggal.

Munawir Sjadzali: Menteri Agama yang Konsisten Menolak Negara Islam
Munawir Sjadzali (1925-2004). tirto.id/Quita

tirto.id - Munawir Sjadzali muda adalah pejuang laskar Hizbullah dan termasuk dalam kategori Angkatan 1945. Gara-gara Revolusi meletus, dia harus rehat dari posisinya sebagai guru di sekolah rendah Gunungpati, Ungaran, dekat Semarang, yang dilakoni sejak zaman Jepang.

“Munawir Sjadzali yang dipercaya menjadi komandan Markas Perang Hizbullah-Sabilillah (MPHS) juga diberi tempat sebuah rumah untuk ditempatinya,” tulis buku Sejarah Perjuangan Hizbullah Sabilillah, Divisi Sunan Bonang (1997:107).

Setelah Revolusi beres, Munawir pun hijrah ke Jakarta. Kerjanya keluar masuk perpustakaan dan menulis buku berjudul Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam? (1950). Buku setebal 72 halaman itu diterbitkan Usaha Taruna, Semarang. Namun, dalam buku itu dia tak terang-terangan memakai nama Munawir Sjadzali, melainkan nama samaran M. Sj. Ibnu Amatillah.

Puluhan tahun kemudian, Bernard Johan Boland dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971: 81), yang diterjemahkan sebagai Pergumulan Islam di Indonesia, 1945-1970 (1985: 85), menyinggung karya yang mengkritisi pentingnya negara Islam di Indonesia tersebut. Di awal era 1950-an itu, seperti ditulis Boland, Munawir muda sudah melihat fenomena “masih banyak orang Islam yang ingin memindahkan begitu saja Mekkah ke Indonesia” (hlm. 8).

Nama Munawir kala itu belum dikenal sebagai pemikir seperti pada dekade-dekade berikutnya. Namun, Wakil Presiden Mohammad Hatta tertarik pada tulisan itu. “Menurut beliau, secara kualitas buku saya perlu dikembangkan,” aku Munawir dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia(1986: 834).

Kebetulan di Jawa Barat wacana negara Islam sedang berusaha diwujudkan pengikut Kartosoerwirjo dalam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Setelah itu, Hatta memberi jalan pada Munawir untuk belajar di luar negeri. Dia ditempatkan di Seksi Arab/Timur Tengah Departemen Luar Negeri. Sejak remaja, Munawir bercita-cita kuliah di Mesir. Tapi kesempatan belajar di negara non-Islam pun dia lakoni. Dia pernah studi ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas Exeter, Inggris pada 1953. Waktu jadi Sekretaris III KBRI Washington DC, Munawir sambil belajar juga di Universitas Georgetown. Di kampus itu, ia meraih gelar Master of Art bidang filsafat politik dengan tesis berjudul "Indonesia's Moslem Parties and Their Political Concepts" (1959).

Mencegah Beruang Membunuh Petani

Karir Munawir di Departemen Luar Negeri terbilang bagus. Dia pernah jadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Emirat Kuwait, merangkap Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab (1976-1980) dan Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri (1980-1983). Setelahnya, Munawir Sjadzali—yang kena cap sekuler itu—menjadi Menteri Agama selama dua periode, dari 1983 hingga 1993.

"Saya tak membawa misi baru. Juga tak akan membuat kejutan, saya kan bukan jenderal," katanya setelah diangkat menjadi Menteri Agama.

Sedari muda dia berharap jadi kiai, orang berilmu yang berbagi kebaikan bagi orang di sekitarnya. Seperti dicatat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia, suatu kali Munawir pernah bercerita di bulan September 1985.

Bersahabatlah antara beruang dan petani. Suatu kali, beruang itu marah lantaran seekor lalat mengganggu tidur petani. Dia ambil batu besar dan dihunjamkannya ke dahi petani yang dihinggapi lalat itu. "Siapa pun tidak meragukan kesetiaan beruang, tapi ketololannya membuat petani mati," kata Munawir.

Di masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, Munawir melihat banyak orang mengaku pembela agama, tapi mereka mementingkan diri sendiri.

Munawir sadar dirinya hidup di Indonesia yang agamanya tidak hanya satu. Indonesia di zaman Munawir jadi menteri mengakui lima agama besar yang sudah cukup lama berkembang. Agar terhindar dari konflik antar agama, Munawir selaku Menteri Agama mengimbau pada masyarakat tentang pentingnya kerukunan dan pengendalian diri masing-masing individu.

Dalam acara perayaan Hari Raya Waisak pada 21 Mei 1989 di Candi Borobudur, Munawir Sjadzali—seperti dicatat Antara (6/6/1989) dan buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita: Buku XI 1989 (2008: 561-562), pernah bilang, “Lebih mudah kita menaklukkan lawan yang gagah perkasa, tetapi kita sukar sekali menaklukkan ego kita sendiri.”

Tak lupa dia berharap kepada semua para pemeluk agama di Indonesia untuk bisa “mengekang dan menaklukkan egonya sendiri seperti apa yang diperintahkan oleh para Nabi dan Rasul kita masing-masing.”

Banyak yang mengakui, suka atau tidak suka, kehidupan antarumat beragama dianggap rukun, atau lebih baik, di masa Orde Baru.

Infografik Al Ilmu Munawir sjadzali

Mempromosikan Asas Tunggal

Di luar posisinya sebagai Menteri Agama, Munawir Sjadzali adalah penulis buku yang lumayan produktif. Salah satu buku karyanya adalah Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (1990). Dalam buku itu, dia memetakan negara-negara berdasarkan Islam di dunia. Menurutnya, sejarah negara Islam memang kerap dikaitkan dengan Piagam Madinah.

“Banyak di antara pemimpin dan pakar ilmu politik Islam beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama,” tulis Munawir (hlm. 10).

Di era Munawir jadi menteri, Pancasila sebagai asas tunggal dipromosikan secara besar-besaran oleh penguasa. Konsepsi ini mendapat banyak penolakan dari kelompok-kelompok Islam. “Pancasila adalah asas hidup bersama dengan saudara-saudara kita yang beragama lain,” kata Munawir seperti ditulisnya dalam Partisipasi Umat Beragama Dalam Pembangunan Nasional (1983: 143).

Menurut Fikrul Hanif Sufyan dalam Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan 1982-1985 (2014: 54), Munawir adalah orang yang gigih mendorong diakuinya Pancasila sebagai asas tunggal. Dalam Rapat Majelis Ulama Indonesia (MUI), pemerintah berusaha meyakinkan bahwa asas tunggal tidak bertentangan dengan agama.

“Munawir berjanji, apabila Pancasila diterima sebagai azas tunggal, setiap organisasi keagamaan diberi kebebasan untuk merumuskan tujuan-tujuan dan menyusun program kerja sesuai dengan aspirasinya masing-masing. Tidak hanya itu, pemerintah juga akan membantu setiap ormas untuk mewujudkan cita-citanya,” tulis Hanif Sufyan (2014: 55).

Bisa jadi Munawir adalah orang yang menjauhkan para pendamba negara Islam di Indonesia dari cita-cita mereka. Dalam Islam: Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa (1993), Munawir menulis bahwa selama partai-partai Islam menyatakan Islam sebagai asas dan selama mereka masih mendambakan bentuk negara Islam untuk Indonesia, Pancasila harus ditegakkan (hlm. 65).

Pancasila, di mata penggemar biduanita Mesir Ummi Kalsum ini, tak jauh beda dengan Piagam Madinah yang menjadi asas hidup bersama. Bagaimanapun, Islam bukan satu-satunya agama, meski dominan. Tapi Pancasila tetap tidak bisa disejajarkan dengan Islam sebagai agama.

====================

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan