tirto.id - Sekolah Dasar Negeri (SDN) Karangtengah III Kecamatan Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta, mengeluarkan surat edaran berisi kewajiban mengenakan busana muslim bagi siswanya. Surat edaran itu disahkan dan ditandatangani Kepala SDN Karangtengah III Pujiastuti pada 18 Juni 2018 dan ditujukan kepada seluruh orangtua murid. Belakangan, surat itu direvisi pihak sekolah.
Dalam surat itu disebutkan "Tahun pelajaran 2019/2020 siswa baru kelas I wajib memakai seragam muslim." Kewajiban serupa nyatanya tak berlaku buat kelas II-VI. Namun pada poin berikutnya disebutkan “Tahun ajaran 2020/2021, semua siswa wajib berpakaian muslim.”
Surat itu juga menyertakan contoh gambar pakaian muslim untuk laki-laki dan perempuan sebagaimana yang dimaksud. Ada dua contoh pakaian yakni seragam merah putih dan pramuka.
Untuk seragam murid perempuan dicontohkan baju lengan panjang, rok panjang, lengkap dengan jilbab. Untuk busana murid laki-laki menggunakan baju lengan pendek dan celana panjang.
Menurut Pujiastuti, surat itu dimaksudkan untuk memudahkan siswa dalam menjalankan salat dan berkegiatan ibadah di sekolah. Ini dikarenakan, kata dia, selama lima tahun bertugas di sekolah tersebut, seluruh siswanya beragama Islam.
Merujuk data sekolah tahun ajaran (TA) 2018/2019, ada 127 siswa dari kelas I hingga VI. Dari jumlah tersebut, seluruhnya beragama Islam. Sementara untuk TA 2019/2020, baru ada 9 calon siswa yang mendaftar dan semuanya beragama Islam.
"Dalam forum pertemuan wali murid, kami menyampaikan kalau pas kegiatan salat, anak yang laki-laki itu pakai sarung. Kemudian yang kecil-kecil belum bisa pakai [sarung] itu ribet. [Jadi] Tujuan saya biar anak enggak ribet," katanya saat ditemui reporter Tirto di SDN Karangtengah III, Wonosari, Yogyakarta, Selasa (25/6/2019).
Pujiastuti mengklaim, usulan itu telah disepakati wali murid saat rapat yang digelar 27 Mei 2019. Orangtua murid, kata dia, tak mengajukan keberatan sehingga usulan itu disepakati dan dituangkan dalam bentuk surat edaran.
Belakangan, surat edaran ini menyebar di media sosial dan menuai pro-kontra. Pujiastuti pun mengakui ada kesalahan dalam surat tersebut.
"Saya baru sadar kalau surat saya itu ada yang salah dalam penyusunan kata atau kalimat. [Tapi] Kami tidak ada tendensi untuk mendiskriminasikan siswa non-muslim, [meski] siswa kami itu semuanya muslim," kata dia.
Diklarifikasi Dinas Pendidikan dan Ombudsman
Viralnya surat tersebut membuat Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Gunungkidul memanggil Pujiastuti. Kadisdikpora Gunungkidul Bahron Rasyid, kata Pujiastuti, sudah meminta klarifikasi darinya dan meminta ia membikin revisi.
"Terus kami buat ralat," ujarnya.
Revisi yang dimaksud adalah penggantian kata "wajib memakai seragam muslim" dengan "dianjurkan mengenakan seragam dengan pakaian muslim." Revisi surat itu ditandatangani dan mulai diedarkan kepada orangtua siswa, Senin, 24 Juni, kemarin.
"Karena dianjurkan, kami tidak menekan. Ditaati boleh, tidak pun, kami tidak memaksa," katanya.
Namun, klarifikasi ini tak hanya dilakukan Disdikpora Gunungkidul. Pujiastuti juga diminta klarifikasi oleh Ombudsman RI (ORI) Perwakilan Yogyakarta. Menurut Koordinator Bidang Pemeriksaan Verifikasi Laporan ORI Yogyakarta Jaka Susila Wahyuana, klarifikasi dilakukan buat memastikan dasar hukum yang digunakan Pujiastuti dalam menyusun kebijakannya.
Berdasarkan hasil klarifikasi, kata Jaka, dasar hukum yang digunakan adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah (PDF). Dalam aturan itu, sekolah memang diberi kewenangan mengatur seragam, tapi sekolah harusnya menurunkan kembali aturan tersebut dalam tata tertib sekolah.
"Untuk ditentukan terkait dengan seragam sekolah," kata Jaka kepada reporter Tirto.
Sementara itu terkait revisi surat yang sudah dilakukan sekolah, Jaka menyebut, masih terdapat kata yang tidak sesuai sehingga dapat menimbulkan bias. Jaka menilai penggunaan kata “wajib” dengan “dianjurkan”, belumlah tepat.
"Dari sisi terminologi, itu definisinya masih sama dengan diwajibkan kalau dianjurkan," kata dia.
Oleh karena itu, Jaka meminta Pujiastuti kembali membuat revisi surat dengan mengganti kata “dianjurkan” dengan kata “dapat”. Penggunaan kata “dapat”, sebut Jaka, lebih tepat karena berarti menjadi pilihan untuk siswa.
"Kalau kata dapat itu kata pilihan. Bagi siswa yang mau menggunakan dan bagi yang tidak menggunakan, ya, tidak menggunakan. Jadi lebih tepat kata dapat," ujar Jaka.
Kepala Disdikpora Gunungkidul Bahron Rasyid berbeda pendapat dengan Jaka. Menurutnya kata "dianjurkan" sudah tepat untuk dipakai dalam surat edaran tersebut.
"Orang dewasa itu wajib menganjurkan kebaikan kepada anak-anaknya," ucap Rasyid kepada reporter Tirto.
Menurutnya “anjuran” berbeda dengan “mewajibkan.” Anjuran menurutnya tidak mengandung arti paksaan, sehingga jika dianjurkan tak mau, maka itu jadi urusan masing-masing. Ia pun mengaku tak akan mempersoalkan anjuran tersebut.
Dianggap Membenarkan Bulliying
Jika Ombudsman hanya mempersoalkan diksi dalam surat, dan Disdikpora Gunungkidul menganggapnya sebagai anjuran, pendapat berbeda disampaikan Andreas Harsono, peneliti dari Human Rights Watch.
Andreas menilai surat edaran berbusana muslim di SDN Karangtengah III yang mewajibkan siswanya memakai busana muslim merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Andreas berpandangan revisi kata “wajib” menjadi “anjuran” bermakna sama. Seharusnya, kata dia, jika hanya anjuran tak perlu ada aturan. Ia bahkan menyebut aturan ini secara tak langsung merupakan bentuk dari perundungan.
“Menganjurkan, kok, diatur. Itu berarti pressure, atau dalam bahasa psikologi adalah bullying. Bagaimana sekolah-sekolah ini membenarkan, mengatur bullying dalam sekolah mereka," kata Andreas kepada reporter Tirto.
Menurut Andreas, perundungan secara psikologis menciptakan tekanan mental kepada murid-murid, apalagi bagi murid kelas I. Sehingga aturan itu menurutnya keliru terlebih jika tujuan aturan itu hanya untuk memudahkan murid menjalankan ibadah di sekolah.
Hal lain yang disoroti Andreas adalah dasar aturan yang dipakai Kepsek SDN Karangtengah III Pujiastuti yakni Permendikbud 45/2014. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, kata Andreas, aturan ini justru menjadi landasan aturan yang menciptakan tekanan sosial untuk siswa.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Mufti Sholih