tirto.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis Moch Subchi Azal Tsani alias Mas Bechi bin Much Muchtar Mu’thi, terdakwa pemerkosaan terhadap santri, dengan hukuman 7 tahun penjara. Vonis ini lebih rendah 9 tahun ketimbang tuntutan jaksa, yaitu 16 tahun. Hakim menyatakan Bechi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan.
Dalam putusannya, hakim menilai Bechi tidak terbukti melakukan tindak pidana utama sebagaimana dalam dakwaan jaksa yakni Pasal 285 KUHP juncto Pasal 65 KUHP tentang pemerkosaan. Hakim pun menilai Bechi melanggar Pasal 289 KUHP yaitu pencabulan.
Meski divonis ringan, tapi Istri Bechi, Erlian Rinda alias Durrotun Mahsunnah meneriaki hakim usai mendengar putusan tersebut. Dia bilang hakim berbuat zalim. Bahkan simpatisan putra dari KH Muchtar Mu'thi, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Majma'al Bahrain Shiddiqiyah Jombang itu meminta agar Bechi dibebaskan.
I Gede Pasek Suardika, kuasa hukum Mas Bechi, mengatakan akan mengajukan banding terkait vonis tersebut. “Banding. Karena (kami) meyakini berdasarkan fakta dan bukti-bukti selama di persidangan, semua tidak terbukti alias fiktif,” ucap dia kepada Tirto, Senin, 21 November 2022.
“Putusan hakim hanya berdasarkan keterangan tunggal MNK yang kemudian diulang-ulang oleh saksi Testimonium da Auditu (keterangan tidak langsung atau mengetahui dari orang lain). Sementara saksi fakta yang melihat langsung justru diabaikan,” kata Pasek menambahkan.
MNK adalah pelapor perkara dengan persangkaan Pasal 293 KUHP tentang Bechi mencabuli anak; 23 Juli 2019, ia mengadukan Bechi ke Polres Jombang. Pada 31 Oktober, penyidik Polres Jombang menghentikan penyidikan. Namun, pada 29 Oktober, MNK kembali mengadukan Bechi dengan persangkaan Pasal 285 KUHP dan Pasal 294 ayat (2) ke-2 KUHP tentang pemerkosaan dan pencabulan.
Selain itu, kata Pasek, kesaksian MNK juga diabaikan padahal sudah terkonfirmasi oleh MNK seperti soal chat mesra beberapa kali kepada Bechi, membuat kronologis tulis tangan yang berisi pengakuan pacaran yang melewati batas dengan orang lain, serta tulisan tangan yang menyatakan kesanggupan dan harapannya dikawini oleh Bechi.
Pasek melanjutkan, mana ada kasus pencabulan dengan kekerasan melahirkan fakta itu? Juga soal alibi kejadian kedua yang tidak jelas. Sebab di berita acara pemeriksaan dan kesimpulan kronologis polisi, disebutkan 18 Mei 2017. Lalu, majelis hakim berdasarkan kesaksian Testiminium da Auditu, malah menyebutkan 20 Mei 2017.
“Sementara pada 20 Mei, terdakwa dengan bukti Facebook anggota OPSHID, sedang sibuk menyiapkan program ‘Jelajah Desa’ dan tidak berada di lokasi tersebut. Masih banyak lagi kejanggalan yang ada,” jelas Pasek.
Apa pun itu, Gede bilang, pihaknya mengapresiasi majelis hakim yang tidak mau menelan mentah-mentah tuntutan jaksa yang menyebutkan kasus itu terkait pemerkosaan.
Disebut Berkat Campur Tangan Jin Tomang
Ibunda Bechi, Nyai Shofwatul Ummah, merasa perbuatan anaknya berkat campur tangan jin tomang. “Di balik semua ini adalah ulahnya jin tomang,” ucap dia.
Merespons perihal jin tomang, Pasek mengatakan “itu hanya istilah untuk dalang di balik rekayasa kasus ini. Kalau warga Shiddiqiyyah dan masyarakat sekitarnya sudah mengerti siapa yang dimaksudkan dengan istilah itu. Jadi bukan jin mahluk gaib yang diramaikan di medsos oleh warganet.”
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyatakan, pihaknya menghormati proses hukum perkara ini. Namun ada beberapa hal yang menjadi catatan. Seperti penggunaan Pasal 289 KUHP tentang pencabulan dan bukan Pasal 285 KUHP ihwal perkosaan.
“Padahal dalam kasus ini korban telah disetubuhi atau terjadi penetrasi,” ujar Siti Aminah kepada reporter Tirto.
Pasal 289 KUHP berbunyi: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
“Sehingga pidana 7 tahun yang dijatuhkan bukan ancaman maksimal dari Pasal 289 KUHP,” imbuh Siti Aminah.
Kemudian, kata dia, hakim tidak mempertimbangkan perjalanan kasus ini yang membutuhkan waktu 3 tahun (2019-2022) untuk sampai dalam persidangan. Selama waktu itu, pelaku menunjukkan tidak kooperatifnya dan tidak menghormati kerja-kerja penegak hukum, serta terjadi penghalangan penyidikan yang dilakukan para pengikut Bechi.
Siti Aminah juga menilai hakim tidak mempertimbangkan dampak kekerasan seksual kepada korban. Komnas Perempuan merekomendasikan agar jaksa mengajukan banding dengan harapan putusan dan dasar hukum yang digunakan dapat dikoreksi oleh hakim banding.
Komnas Perempuan juga menyampaikan dukungan dan hormat kepada korban dan pendamping yang gigih untuk memperjuangkan keadilan, kata Siti Aminah.
Terkait dukungan keluarga dan simpatisan Bechi, kata dia, ini menunjukkan kuasa yang dimiliki oleh Bechi. Bechi memanipulasi massa, keluarga dan publik yang melakukan kekerasan seksual awalnya dengan alasan menetralkan jiwa korban dan memindahkan ilmu.
“Padahal, ini adalah caranya untuk mengambil keuntungan seksual dari kerentanan korban sebagai santriwati yang dikontruksikan harus menurut pada kiai,” terang Siti Aminah.
Pembelaan pada Pelaku Justru Menormalisasi Kekerasan Seksual
Impunitas pelaku kekerasan seksual ditunjukkan oleh orang-orang terdekat pelaku tanpa melihat dampak trauma bagi korban dan saksi. “Dukungan seperti ini miris banget dan menunjukkan bahwa lingkungan sekitar pelaku tidak memiliki empati,” ujar Siti Mazuma, Direktur Eksekutif LBH APIK, kepada reporter Tirto.
“Pelaku kekerasan seksual tidak akan merasakan efek jera jika lingkungan terdekat dia justru memberikan dukungan dan menormalisasi kekerasan seksual yang terjadi dan sudah terbukti di pengadilan tingkat pertama,” kata Mazuma.
Karena itu, kata dia, penegak hukum wajib menegakkan hukum sesuai dengan mandat undang-undang dan memenuhi hak korban agar tercipta keadilan dan nihil impunitas.
Vonis 7 tahun di balik sel pun memamerkan bahwa masih ada PR besar bagi hakim-hakim di Indonesia karena beberapa putusan yang tidak berpihak pada korban, kata dia.
Terbitnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) seharusnya menjadi pengetahuan baru bagi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
“Bahkan mengingat pentingnya perspektif pada korban kekerasan seksual, dimandatkan untuk melakukan pendidikan dan pelatihan guna meningkatkan pemahaman dalam penanganan kasus dan pencegahan kekerasan seksual,” tutur Mazuma.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz