Menuju konten utama
Masalah Perpajakan

PR Usai MK Pindahkan Pengadilan Pajak dari Kemenkeu ke MA

Ekonom Indef Tauhid sebut, pengadilan pajak mungkin akan lebih independen, tapi proses hukum akan lebih birokratis.

PR Usai MK Pindahkan Pengadilan Pajak dari Kemenkeu ke MA
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin jalannya sidang pleno khusus penyampian laporan tahunan 2022 di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (24/5/2023). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.

tirto.id - Pengadilan Pajak kembali menjadi perhatian publik. Hal ini tidak lepas setelah Mahkamah Konstitusi mengumumkan putusan perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang dibacakan Ketua MK, Anwar Usman di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis (25/5/2023) dan ditayangkan di Youtube MKRI.

“Menyatakan sepanjang frasa “Departemen Keuangan” dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4189) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “Mahkamah Agung yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026,” sehingga Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 selengkapnya berbunyi, “Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2026”," kata Anwar.

Putusan tersebut membuat Pengadilan Pajak menjadi wewenang penuh MA. Sebagai catatan, Pasal 5 menyatakan pembinaan teknis peradilan Pengadilan Pajak adalah wewenang MA. Sementara pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan sesuai Pasal 5 ayat 2.

Pemohon, yakni advokat Nurhidayat dkk mempersoalkan frasa Departemen Keuangan di Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang 14 tahun 2002 yang tidak dimaknai sebagai Mahkamah Agung telah bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3, Pasal 24 ayat 1 dan 2 serta Pasal 28D ayat 1 UUD sehingga memicu ketidakadilan.

Meskipun Pasal 3 menyatakan bahwa 'dualisme' pengelolaan pengadilan pajak menuntut hakim harus tetap bebas dalam memutus sengketa pajak, Mahkamah akhirnya membuat Pengadilan Pajak menjadi wewenang penuh Mahkamah Agung. Mereka mengacu pada putusan MK dengan nomor 6/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa Pengadilan Pajak sebagai bagian dari lingkungan peradilan tata usaha negara.

Selain itu, putusan MK tersebut juga mendorong agar Pengadilan Pajak memiliki sistem peradilan mandiri atau One Roof System atau peradilan satu atap. Sistem ini memberi ruang bahwa pembinaan teknis yudisial maupun organisasi, administrasi dan finansial menjadi wewenang penuh MA.

Pegiat hukum dari Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai, keputusan ini akan menjawab masalah independensi dalam pemeriksaan pajak. Hal ini tidak lepas dari penyidik adalah Kementerian Keuangan, sementara pengadilan pajak juga masih bagian Kemenkeu.

“Ini, kan, ada 1 independensi dan objektivitas yang kemudian dipertanyakan. Kenapa? Karena tentu tidak akan ada netralitas di dalam melakukan pemeriksaan dan juga gugatan atau penuntutan di pengadilan pajak gitu. Perspektif dari Kemenkeu dan Pengadilan Pajak untuk mendapatkan penerimaan pajak sebesar-besarnya dan bukan soal sebenar-benarnya, tapi sebesar-besarnya. Ini, kan, tentu dua hal yang berbeda,” kata Julius kepada reporter Tirto.

Selain itu, kata Julius, putusan pengadilan pajak kadangkala bukan soal perhitungan tepat, melainkan cara penerimaan pajak sebesar-besarnya. Pengadilan pajak bisa saja menggunakan kewenangan mereka di luar undang-undang.

“Ini ada satu kewenangan di luar undang-undang untuk memutuskan suatu kondisi hukum tertentu, kondisi hukum yang baru di atas undang-undang. ini seharusnya kewenangan yudikatif, kewenangan ajudikatif ini semua harusnya berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung. Dia nggak boleh di luar lingkungan Mahkamah Agung," kata Julius.

Julius menilai, posisi tersebut perlu diperbaiki. Ia beralasan, permasalahan reformasi peradilan yang masih belum selesai adalah masalah pengadilan pajak dan pengadilan militer. Pengadilan pajak, kata Julius, bermasalah karena pengadilan pajak berada di wilayah Kemenkeu.

Namu dalam kacamata Julius, pemindahan belum tentu baik karena Mahkamah Agung juga masih ada masalah, apalagi MA masih ada potensi korupsi.

“Jadi kalau dampak baiknya secara ketatanegaraan, dia menjadi lebih tertib sesuai dengan mandat reformasi satu atap atau one roof system, tapi secara praktiknya itu harus ditindaklanjuti seperti apa,” kata dia.

Ia juga menilai masalah perpindahan kewenangan pengadilan pajak dari Kemenkeu ke Mahkamah Agung perlu perhatian dalam pengelolaan sumber daya. Kementerian Keuangan perlu mendampingi masalah SDM agar penanganan perpajakan semakin baik.

“Jadi bagi publik ya untungnya dia akan menjadi lebih tertib lah secara ketatanegaraan. Paling nggak akan lebih aksesibel dan bisa dimonitor secara luas," kata Julius.

Sementara itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad mengakui, perpindahan wewenang pengadilan pajak dari Kemenkeu ke MA karena soal independensi. Akan tetapi, perpajakan berbeda karena menyangkut masalah spesifik seperti kerahasiaan data.

“Problemnya adalah pengadilan perpajakan ini punya sesuatu yang berbeda karena dia menyangkut soal data, menyangkut soal apa yang sifatnya rahasia dan sebagainya. Bukan tidak mungkin terbuka secara umum,” kata Tauhid.

Tauhid mengatakan, pengadilan pajak mungkin akan lebih independen, tetapi proses hukum akan lebih birokratis. Ia menilai, pengusaha akan mengeluarkan biaya lebih karena harus berurusan dengan Kementerian Keuangan dan Mahkamah Agung.

Ia juga mengakui bahwa ada ketidakpuasan publik dalam perpajakan setelah isu temuan ratusan triliun beberapa waktu lalu. Di sisi lain, proses penanganan perpajakan juga lebih cenderung mengayomi daripada pendekatan hukum. Kadangkala ada mekanisme di mana permasalahan pajak bisa diselesaikan berdasarkan negosiasi pembayaran pajak.

Penanganan di Mahkamah Agung kemungkinan akan lebih adil, tetapi MA harus meningkatkan kapasitas kelembagaan karena jumlah perkara perpajakan tidak sedikit. Pemerintah, kata Tauhid, harus menguatkan kemampuan dalam masalah perpajakan dan menangani masalah tersebut.

“Nantinya kalau secara substansi masuk ke MA, MA konsekuensi harus melebarkan organisasinya dan ini wajib pajak kita banyak banget yang masuk pengadilan. Itu banyak sekali. Inefisiensi birokrasi pasti akan terjadi," kata Tauhid.

Respons Kemenkeu dan MA

Kementerian Keuangan menyatakan menghormati putusan MK. Mereka akan mendukung sebagai bentuk penguatan reformasi perpajakan.

“Kami hormati keputusan MK sebagai lembaga peradilan yang independen. Kami akan terus mendukung penguatan pengadilan pajak yang sejalan dengan reformasi perpajakan yang telah dan sedang kami jalankan,” kata Yustinus Prastowo, Stafsus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis kepada Tirto, Jumat (26/5/2023).

Selanjutnya, sebagai tindak lanjut keputusan MK dimaksud, kata dia, Kemenkeu akan melakukan kajian secara lebih komprehensif yang meliputi berbagai aspek terkait sehingga proses transisi berjalan lancar.

“Terutama dari sisi struktur kelembagaan dan kepegawaian Sekretariat Pengadilan Pajak di Kemenkeu yang akan beralih ke MA akan kami siapkan alternatif-alternatif kebijakannya dan kami komunikasikan dengan MA,” tutur Prastowo.

Sementara pihak Mahkamah Agung mengaku tidak akan berkomentar banyak. Jubir MA, Suharto mengaku masih ada waktu karena pelaksanaan putusan MK paling lambat 2026.

“Belum ada tanggapan dan itu masih ada waktu sampai 2026. Tentu persiapannya akan di bahas oleh para pimpinan dalam rapim. Agenda dan rencana dari pimpinan belum ada,” kata Suharto saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz