tirto.id - Pemerintah tengah mengajukan perubahan kebijakan perpajakan melalui revisi undang-undang. Selain mengerek tarif pajak, objek pajak yang bakal dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) akan diperluas. Rencana ini tertuang dalam perubahan kelima atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Ada dua pasal yang menjadi sorotan, yaitu pasal 7 ayat (1) yang tertulis: "Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 12% (12 persen)."
Dalam aturan yang berlaku saat ini merujuk UU Nomor 42 tahun 2009, PPN adalah 10 persen. Artinya, dalam RUU KUP yang diusulkan ini, bakal ada kenaikan PPN dari semula 10 persen menjadi 12 persen.
Ketentuan lain yang mendapat sorotan adalah Pasal 4A ayat (2b) yang bertuliskan ‘dihapus’. Beleid ini tak lagi menyebutkan sembako atau kebutuhan pokok termasuk dalam objek yang PPN-nya dikecualikan.
Semula, barang-barang itu dikecualikan sebagai kelompok barang yang kena PPN. Hal ini diperkuat dengan aturan turunan, yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017. Sedangkan dalam draf RUU pasal 4A ayat (2b) yang diusulkan saat ini, kebutuhan pokok dikeluarkan dari kelompok barang yang tak dikenai PPN. Dalam aturan baru, pemerintah mengusulkan soal konsep multitarif untuk sembako.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudistira mengkritik rencana penerapan multitarif PPN yang menyasar barang-barang kebutuhan pokok. Adapun kebutuhan pokok yang dimaksud seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017 adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Menurut Bhima, skema multitarif yang akan diterapkan oleh pemerintah bukan perkara mudah. Masalahnya data pangan Indonesia masih amburadul. Padahal, akurasi data pangan ini sangat penting dalam menetapkan jenis barang yang akan dijadikan objek pajak.
“Data pangan masih bermasalah terlihat dari sengkarut impor berbagai jenis pangan mulai dari beras, jagung sampai daging sapi. Padahal pemajakan objek pangan butuh data yang valid. Ini artinya nafsu besar pemerintah mendorong penerimaan pajak tidak rasional karena didasari data yang buruk,” jelas dia kepada reporter Tirto, Kamis (10/9/2021).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, dengan akurasi data pangan yang masih amburadul, pengawasan PPN dengan skema multitarif pada bahan makanan relatif sulit dibanding barang retail lain dan biaya administrasi pemungutannya menjadi mahal karena sembako termasuk barang yang memiliki rantai pasok yang panjang. Ia juga menyebut penerapan ini juga akan sulit karena berkaitan dengan sektor informal di pertanian.
“Nah kalau pertanian gimana?” kata dia.
Belum lagi ada risiko barang ilegal, tanpa tarif PPN yang sesuai. Sebagai perbandingan kasus kenaikan cukai rokok tahun 2020 yang mengakibatkan peredaran rokok ilegal naik. “Apalagi sembako, sulit mengendalikan pengawasan pajaknya,” kata dia.
Merujuk catatan-catatan di atas, Bhima mengingatkan pemerintah agar berhati-hati. Jika salah langkah, maka kenaikan harga pada barang kebutuhan pokok yang timbul dari penerapan kebijakan pajak ini bisa mendorong inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Imbasnya bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa kembali menurun, tapi juga naiknya angka kemiskinan, kata Bhima. Apalagi sebanyak 73% kontributor garis kemiskinan berasal dari bahan makanan.
“Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah,” jelas dia.
Pernyataan Bhima ini menjawab paparan yang disampaikan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo. Ia sebut, usulan penerapan kebijakan multitarif PPN produk sembako bukan tanpa alasan.
Kesimpulan penerapan multitarif PPN ini, kata Prastowo, diperoleh setelah pemerintah melakukan kajian dan benchmarking atau mencari contoh terbaik penerapan pajak di negara lain. Tujuannya, kata dia, adalah untuk menciptakan keadilan dalam hal pengenaan pajak.
“Banyak juga negara yang menerapkan kebijakan multitarif PPN, tidak tunggal. Rentang tarifnya beragam. Ini selaras dengan semakin kompleks sistem pajak, maka semakin adil, dan sebaliknya. Kalau mau simpel ya bisa, tapi nggak adil,” kata Prastowo.
Perombakan aturan perpajakan yang mengarah pada penerapan multitarif PPN, kata dia, diperlukan karena kebijakan pajak yang berlaku saat ini dianggap tidak adil karena belum mempertimbangkan jenis kelompok barang yang dikonsumsi dan siapa yang mengkonsumsi.
“Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10%. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu mensubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong,” jelas dia.
Dengan perombakan kebijakan sektor perpajakan ini, kata dia, diharapkan bisa memperbaiki sistem perpajakan Indonesia yang saat ini masih jauh tertinggal dari negara lain. Ia menyebut dibanding negara-negara ASEAN, kinerja perpajakan Indonesia masih di bawah Thailand dan Singapura. Juga di bawah Afrika Selatan dan Argentina.
Prastowo pun menjelaskan penyebab kinerja perpajakan masih rendah yaitu karena banyak pengecualian dalam pengenaan pajak. Ada pula alasan lain yaitu pengecualian itu sering tak tepat sasaran.
“Intermezzo: saking baiknya, bahkan banyak barang dan jasa dikecualikan atau mendapat fasilitas tanpa dipertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi. Baik beras, minyak goreng, atau jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya. Apa pun jenis dan harganya, semua bebas!” kata Prastowo mencontohkan.
Perihal masalah pemilihan waktu, Prastowo justru berpandangan saat ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan perombakan kebijakan pajak. Tujuannya adalah untuk memaksimalkan pendanaan beragam kebijakan pemerintah dari penerimaan pajak, ketimbang menambah utang.
Pembahasan dilakukan saat ini, lanjut dia, agar saat pandemi berlalu, Indonesia sudah siap dengan aturan baru untuk menggenjot penerimaan pajak.
“Jika saat pandemi kita bertumpu pada pembiayaan utang karena penerimaan pajak turun, bagaimana dengan pasca-pandemi? Tentu saja kembali ke optimalisasi penerimaan pajak,” tegasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz