Menuju konten utama
Pemberantasan Korupsi

Memburu Harun Masiku: antara Kasus Hukum & Tawar-menawar Politik

Harun Masiku menjadi buronan KPK sejak awal 2020. Nama tersangka kasus suap itu muncul tenggelam di tahun politik.

Memburu Harun Masiku: antara Kasus Hukum & Tawar-menawar Politik
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

tirto.id - Nama buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Harun Masiku muncul tenggelam menjadi perbincangan publik. Harun Masiku yang sudah buron sejak 2020 itu kembali menjadi pembahasan usai Kepala Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri, Irjen Pol Krishna Murti bercerita soal kabar tersangka kasus suap itu berada di Kamboja dan dirumorkan sudah berganti kewarganegaraan.

“Kami akan tindak lanjuti, kerja sama dengan KPK dan interpol serta otoritas Kamboja,” kata Krishna di Jakarta sebagaimana dikutip Antara pada 26 Juli 2023.

Komisi antirasuah pun buka suara terkait kabar tersebut. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan, KPK sudah menindaklanjuti informasi tersebut. Ia juga menyinggung soal upaya penerbitan red notice ke interpol sebagai upaya mengejar Harun Masiku.

“Kan koordinasi sudah dari dulu, kami minta supaya diterbitkan red notice ke Interpol, sudah,” kata Alexander Marwata dalam keterangannya pada 27 Juli 2023, sehari setelah pernyataan Krishna.

Pria yang akrab disapa Alex itu mengatakan, sebelumnya KPK juga sempat mengirim tim ke Malaysia untuk melakukan pencarian, tapi Harun Masiku belum juga ditemukan.

“Kemarin ada informasi katanya ke Malaysia, kami sudah kirim tim, bahkan kami sudah kirim tim untuk menindaklanjuti informasi itu, sudah. Penyidik kita kirim, ternyata kosong,” kata Alex.

Teranyar, pihak KPK sudah melakukan komunikasi dengan Divhubinter Polri untuk menangkap Masiku.

“Itu informasi penting yang akan kita dalami. Jadi pertemuan ini tidak berhenti. Ke depan, secara teknis akan kita tindak lanjuti melalui Kedeputian Penindakan dan Kedeputian Informasi dan Data untuk menindaklanjuti apa yang disampaikan oleh Polri melalui Divisi Hubungan Internasional,” kata Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangannya, Senin (7/8/2023).

Mengingat Kembali Kasus Harun Masiku

Harun Masiku merupakan buronan KPK sejak 2020. Ia adalah tersangka perkara dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait penetapan anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Harun Masiku diproses hukum karena diduga menyuap Wahyu Setiawan –saat itu menjabat sebagai komisioner KPU RI--. Tujuan Harun Masiku menyuap Wahyu agar ia bisa ditetapkan sebagai pengganti Nazarudin Kiemas, caleg PDIP yang lolos ke parlemen, tapi meninggal dunia.

Harun Masiku diduga menyiapkan uang sekitar Rp850 juta untuk menyuap Wahyu Setiawan. Dalam proses penanganan kasus ini, KPK telah mengirim surat permohonan penerbitan red notice untuk memburu Harun Masiku.

Ia menjadi buronan KPK sejak 17 Januari 2020. Pada Maret 2023, Harun Masiku juga pernah dikabarkan menjadi marbot masjid di Malaysia. Sejak buron, nama Harun Masiku muncul tenggelam, lebih-lebih di tahun politik menjelang Pemilu 2024.

Ilustrasi Harun Masiku

Ilustrasi Harun Masiku. tirto.id/Sabit

Kasus Harun Masiku Menjadi Alat Politik?

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, pernyataan Polri terkait keberadaan Harun Masiku sebagai tanda bobroknya kinerja pencarian yang dilakukan KPK. Ia mengatakan, hal tersebut sebagai cermin kelemahan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

“Seperti diketahui, kinerja KPK di bawah komando Firli [Bahuri] dalam menangani suatu perkara yang kental irisannya dengan wilayah politik amat buruk. ICW meyakini, faktor terbesar keengganan KPK dalam memproses hukum Harun karena ada indikasi kuat jika mantan caleg PDIP itu diringkus, maka akan ada elite partai politik yang bisa terseret. Dugaan kami, KPK ingin melindungi elite partai tersebut,” kata Kurnia, Rabu (9/8/2023).

Kurnia menilai, perkara Harun Masiku terlalu berlarut-larut ditangani oleh KPK. Jika dihitung mundur, maka Harun Masiku sudah lebih dari tiga tahun menjadi buronan yang keberadaannya sangat misterius. KPK, kata dia, bahkan terkesan mendiamkan begitu saja.

“Kejanggalan penanganannya juga terlalu banyak dan amat terlihat upaya sistematis dari KPK untuk melindungi Harun,” kata Kurnia.

Kurnia yakin Harun Masiku akan tetap bebas di era Firli. “ICW meyakini, sampai nanti masa kepemimpinan Firli habis, Harun akan tetap bebas berkeliaran, tanpa khawatir diproses hukum oleh KPK,” kata Kurnia.

Kritik yang sama dilontarkan eks Wamenkumham, Denny Indrayana. Ia menyebut Harun Masiku sebagai buronan of the years dan kasus Harun Masiku dinilainya sudah mengarah ke politik.

“Sebenarnya, buronan of the years ini sudah diketahui keberadaannya. Masalahnya, penegakan hukum kita di tanah air tidak lagi murni. Sudah berpilin kusut, campur aduk dengan politik,” kata Denny dalam keterangan tertulis. Tirto sudah izin mengutipnya pada Rabu (9/8/2023).

Denny juga menilai, kasus Harun Masiku berpotensi akan mengubah arah politik. Sebab, kata dia, kasus Harun Masiku akan membawa dampak ke partai.

“Maka, saat ini sedang terjadi pembicaraan, lebih tepatnya ‘kasak-kusuk’ politik, yang mengatur skenario ke arah mana kasus Harun Masiku akan berujung. Karena akan melibatkan beberapa politisi besar, termasuk dari partai yang sedang berkuasa. Sudah menjadi rahasia umum, politisi mana yang akan tersangkut kasus korupsi jika Harun Masiku ditangkap,” kata Denny.

Pegiat antikorupsi dari PUKAT UGM Yogyakarta, Zaenur Rohman menilai, persepsi politik bisa masuk dalam penegakan hukum, termasuk dalam kasus Harun Masiku.

Menurut Zaenur, penegakan hukum yang terkesan tebang pilih akan membuka ruang persepsi muatan politis dalam kasus seperti kasus Harun Masiku yang tidak kunjung selesai. Ia juga menilai, narasi politik dalam kasus Harun Masiku wajar terjadi karena KPK gagal menangkap eks caleg Pemilu 2019 itu.

“KPK bisa menjadi alat politik kalau penegakan hukum pandang bulu. Kalau ada pihak-pihak yang menjadikan kasus Harun Masiku sebagai bahan kampanye, ya menurut saya enggak bisa dihalangi. Yang bisa dilakukan adalah melakukan penegakan hukum, melakukan pengejaran Harun Masiku, menangkap, mengadilinya, dan menuntaskan perkaranya yang diduga masih melibatkan aktor lain, aktor politik,” kata Zaenur.

Zaenur mengingatkan, publik sudah menaruh kecurigaan dalam kasus Harun Masiku. Hal itu terlihat dari adanya upaya penghalangan penangkapan Harun Masiku di kawasan PTIK hingga isu resistensi internal KPK, terutama dari pimpinan KPK saat ini.

Di sisi lain, Zaenur beranggapan aparat penegak hukum punya kapasitas untuk menangkap Harun Masiku. Ia menilai, KPK juga bisa melibatkan Polri yang notabene mampu menangkap jaringan teroris. Oleh karena itu, Zaenur menilai masalah bukan pada soal ketidakmampuan, tapi ketidakinginan.

“Jadi ini bukan soal unable, tapi ini soal unwilling. Jadi mereka able, tapi unwilling," kata Zaenur.

Zaenur menekankan bahwa kasus Harun Masiku bukan berarti harus membawa Masiku ke meja hijau, melainkan juga upaya pengungkapan yang lebih jauh seperti siapa yang memerintah Masiku bertindak koruptif, siapa yang menyandang dana, siapa yang memberikan perlindungan kepada dia.

“Itu yang harus diungkap lebih jauh karena diduga dari awal kasus ini tidak lepas dari aktor-aktor politik, termasuk dugaan soal penyandang dana, pemberi dana, pemberi perintah, yang memberikan perlindungan dan lain-lain," kata Zaenur.

Zaenur menambahkan, “Itu penegakan hukum, kalau lurus, kalau semua perkara itu diproses dengan tanpa pandang bulu, itu tidak akan menimbulkan tanda tanya publik, bahkan kalau Harun Masiku sudah ditangkap pun publik masih akan punya pertanyaan hanya berhenti di Harun Masiku atau akan dikembangkan kepada aktor-aktor politik lainnya.”

Hingga berita ini dirilis, KPK belum merespons lagi terkait kritik di atas. Reporter Tirto berupaya menghubungi Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata maupun Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri, tapi belum direspons.

Baca juga artikel terkait KASUS HARUN MASIKU atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz