tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR RI dan sidang bersama DPR-DPD RI 2023. Pidato ini disampaikan Jokowi di Gedung Parlemen RI, Senayan, Jakarta, pada Rabu (16/8/2023). Pada pidato tahun ini, Jokowi menyinggung soal tantangan bangsa dan negara kedepan yang tidak mudah.
Tantangan tersebut meliputi situasi di eksternal seperti geopolitik, geoekonomi, disrupsi teknologi dan informasi dan globalisasi nilai budaya. Sementara tantangan situasi internal dalam negeri, meliputi permasalahan sumber daya manusia, middle-income trap, pemerataan pembangunan, produktivitas, serta hilirisasi industri.
Selain itu, tantangan internal juga termasuk pengelolaan sumber daya alam, kerentanan pangan, energi, kemiskinan ekstrim, pengangguran, bencana iklim, dan degradasi lingkungan.
Khusus soal lingkungan, Jokowi hanya sedikit menyinggung soal penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dalam proses hilirisasi. Jokowi meminta hilirisasi diproses dengan meminimalisasi dampak lingkungan.
“Pemerintah (juga) telah mewajibkan perusahaan tambang membangun pusat persemaian untuk menghutankan kembali lahan pasca tambang,” ungkap Jokowi dalam pidatonya.
Menurut Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, pidato Jokowi dominan berbicara soal peluang kapitalisasi sumber daya alam, dan tidak sekalipun menyinggung dampak permasalahan lingkungan hidup yang terus terjadi.
“Pernyatan Presiden tersebut jelas tidak sensitif pada ancaman yang langsung dirasakan oleh rakyat Indonesia akibat terus memburuknya kualitas udara akibat polusi maupun kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di berbagai daerah di Indonesia beberapa waktu terakhir,” ujar Iola di Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Seperti diketahui, isu memburuknya polusi udara tengah menjadi sorotan belakangan ini. Pemerintah bahkan membuat rapat terbatas (ratas) tersendiri untuk membenahi persoalan kualitas udara yang buruk.
Gagal Fokus Pilih Permasalahan
Kendati demikian, Iola menilai meskipun Jokowi sempat menyinggung soal polusi dalam pidatonya pada satu kesempatan, ia seperti gagal fokus dalam memilih sudut pandang permasalahan ini.
“Bukannya menyebutkan urgensi penanggulangan ataupun tindak lanjut pada permasalahan lingkungan. Presiden malah menyebut permasalahan polusi dalam konteks budaya,” ujar Iola.
Jokowi sempat menyampaikan bahwa polusi dalam aspek budaya melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia yang besar. Ia tak menyinggung soal polusi dalam konteks lingkungan, yang padahal tengah meresahkan masyarakat.
Adapun kasus polusi udara dan karhutla sama-sama mendorong warga untuk menggugat Jokowi melalui gugatan warga negara (citizen lawsuit). Pada 2016, warga Kalimantan Tengah mengajukan gugatan terkait karhutla hebat yang membara tahun 2015.
Sementara pada kasus terbaru, warga di Jakarta melayangkan gugatan serupa untuk permasalahan polusi udara. Sayangnya, kedua gugatan ini sama-sama enggan dilaksanakan oleh Jokowi bersama para pihak tergugat.
“Kasus polusi udara dan karhutla juga berdampak strategis. Ancaman keduanya pun meningkat secara konstan dalam beberapa bulan terakhir,” ungkap Iola.
Sebagai gambaran, dalam rentang bulan Agustus saja, hingga tanggal 13 Agustus, Pantau Gambut menemukan adanya 4.175 titik panas (hotspot) pada area Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) yang tersebar pada 212 area KHG di 81 kabupaten/kota pada 18 provinsi. Tercatat pula adanya titik panas yang masuk ke dalam wilayah 27 konsesi korporasi.
Lemahnya Komitmen Lingkungan
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar menyampaikan bahwa masyarakat tak perlu heran dengan lemahnya komitmen pemerintah dalam isu lingkungan. Mengingat, kata Melky, selama dua periode kepemimpinan Jokowi tak punya jejak baik dalam urusan menyelesaikan permasalahan isu lingkungan.
“Ketidakpedulian ini, sangat terkait dengan menguatnya konflik kepentingan antara para pebisnis di sektor industri ekstraktif di rezim Jokowi, dengan segala macam jejak buruknya yang secara tidak langsung berdampak pada absennya penegakan hukum atas ragam tindak kejahatan lingkungan,” ujar Melky dihubungi reporter Tirto, Rabu (16/8/2023).
Melky menilai kepemimpinan Jokowi tak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Sumber daya alam terus menjadi tumpuan membangun perekonomian negara.
“Di rezim Jokowi, sebagaimana dengan rezim sebelumnya, sumber daya alam itu memang terus menjadi salah satu tulang punggung perekonomian. Sayangnya, yang menikmati keuntungan bukan rakyat, tapi pebisnis dan korporasi itu sendiri,” sambung Melky.
Melky menambahkan, daerah tambang mineral seperti sentra pertambangan nikel, justru tercatat mengalami peningkatan angka kemiskinan. Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya seperti yang terjadi di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
“Warga di sejumlah wilayah ini kehilangan ruang produksi, mulai dari urusan pangan hingga air, bahkan berdampak pada kesehatan warga, dan kerusakan ekosistem,” imbuh Melky.
Melky mengklaim tidak ada upaya pemerintah dalam pemulihan dan mitigasi kerusakan pasca kegiatan penambangan. Ia menilai tak cukup dengan menyinggung secuil persoalan lingkungan dalam pidato, harus ada langkah konkret yang memastikan regulasi dan kebijakan yang memberi karpet merah perluasan industri ekstraktif bisa dievaluasi.
“Juga tak ada penegakan hukum. Jika Jokowi mengklaim telah berbuat banyak, kami pastikan itu sekadar gimmick dan retorika semata,” tegas Melky.
Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menyampaikan bahwa Jokowi bahkan tak berbicara soal krisis yang mengancam peradaban manusia saat ini, yaitu krisis iklim. Padahal Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89 persen tahun 2030 dengan kemampuan sendiri. Namun, kebijakan politik yang dihasilkan bertentangan dengan komitmen tersebut.
“Disahkannya revisi UU Minerba, UU Ciptaker, dominasi penggunaan batubara pada rencana kelistrikan nasional, pembukaan lahan untuk tambang nikel (hilirisasi industri), target peningkatan produksi minyak bumi 1 juta barel/hari pada 2030, justru menciptakan kebijakan yang semakin membawa negara ini rentan terhadap dampak krisis iklim,” papar Leonard di Jakarta, Rabu (16/8/2023).
Pada pidatonya, kata Leonard, Jokowi mengatakan bahwa ekonomi hijau dan hilirisasi sebagai window of opportunity bagi Indonesia untuk sebaik-baiknya memanfaatkan sumber daya alam, energi baru dan terbarukan. Padahal Indonesia masih terseok-seok dalam pengembangan energi terbarukan. Mengacu pada data pemerintah, porsi energi terbarukan baru mencapai 11.5% pada 2021, sementara targetnya 23% pada 2025.
“Selain itu, payung hukum utama transisi energi yaitu RUU EBT masih hilang arah karena memasukkan turunan batu bara sebagai jenis energi baru dan terbarukan,” ujar Leonard.
Greenpeace juga menyoroti soal hilirisasi 43 pabrik nikel yang digadang-gadang mampu membuka luas lapangan pekerjaan, dan menjadi komoditas baru yang bisa menggerakkan perekonomian tanah air. Nyatanya, hilirisasi nikel mendorong deforestasi masif di Indonesia bagian Timur.
“Hal ini membuktikan bahwa model pembangunan ekonomi Indonesia masih mengandalkan industri ekstraktif, tidak selaras dengan cita-cita pembangunan berbasis ekonomi hijau yang juga disinggung Presiden dalam pidato kenegaraannya,” tutur Leonard.
Luput Polusi Udara dan Pura-Pura Baik Saja
Greenpeace juga menyebutkan bahwa Jokowi luput menyinggung soal masalah polusi udara. Pada beberapa minggu terakhir, Jakarta selalu menduduki peringkat atas kota paling berpolusi di dunia menurut data IQAir. Bahkan menurut Menparekraf Sandiaga Uno, Presiden Jokowi sendiri menderita batuk-batuk yang diduga disebabkan polusi udara.
Di sisi lain, abainya penyelenggara negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) atas pemenuhan, perlindungan dan penegakan hak atas udara yang bersih dan sehat, mendorong koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi IBUKOTA melakukan aksi damai di Balai Kota DKI Jakarta pada Rabu, (16/8/2023).
Sejauh ini, kata Koalisi IBUKOTA, masyarakat masih dipaksa mencari data polusi udara secara mandiri demi melindungi kesehatan diri dan keluarga. Tak ada satu pun imbauan yang datang dari pemerintah terkait polusi udara. Informasi mengenai buruknya polusi udara justru muncul dari pihak-pihak non-pemerintah, baik individu hingga praktisi kesehatan.
Mereka mendorong reformasi kebijakan dan keterbukaan informasi publik terkait industri, pabrik, dan PLTU batubara penyumbang polusi udara. Selain itu, meminta para tergugat dan turut tergugat menjalankan putusan CLS (citizen law suit) yang dimenangkan warga negara soal polusi udara.
Pemerintah diminta berhenti mencari alasan untuk melepas tanggung jawab pengendalian polusi udara. Serta pemerintah diimbau berhenti memberikan solusi palsu dalam upaya memulihkan kualitas udara di Jakarta.
“Kebijakan pemberian subsidi kendaraan listrik adalah solusi palsu. Subsidi tersebut sebaiknya digunakan untuk memperbanyak transportasi umum massal berbasis listrik, bukan kendaraan pribadi. Terlebih lagi sumber listriknya masih berasal dari energi fosil,” kata salah satu anggota Koalisi IBUKOTA, Charlie Albajili, yang merupakan Juru Kampanye Keadilan Perkotaan, Greenpeace Indonesia.
Terpisah, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian menilai pidato Jokowi terkesan menutup-nutupi permasalahan struktural yang ada di Indonesia. Persoalan lingkungan yang berdampak pada persoalan sosial, bencana ekologis, dan penurunan kualitas hidup tidak dilihat sebagai persoalan serius.
“Rezim seakan mau menyebutkan bahwa satu tahun ini pemerintahan mereka baik-baik saja. Seakan situasi satu tahun ini baik-baik saja tidak ada permasalahan struktural dan kita harus terus menggenjot ekonomi,” ujar Uli kepada reporter Tirto, Rabu (16/8/2023).
Menyembunyikan masalah lingkungan, dilihat Uli sebagai suatu bentuk kebohongan publik. Padahal, Indonesia kerap ditimpa bencana ekologis imbas kebijakan ekonomi ekstraktif terhadap alam. Alam dikomodifikasi sedemikian rupa atas nama pembangunan dan peningkatan ekonomi.
“Padahal faktanya di lapangan, rakyat makin miskin karena makin susah mendapatkan sumber daya alam tempat bersandar kehidupan, karena tanahnya diambil untuk pembangunan,” imbuh Uli.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri