Menuju konten utama
Periksa Data

Penerapan Work From Home Tak Memecahkan Masalah Polusi Udara

Apa sebenarnya sektor pencemar udara Jakarta dan apakah skema WFH yang pernah diberlakukan sebelumnya terbukti bisa mengatasi masalah tersebut?

Penerapan Work From Home Tak Memecahkan Masalah Polusi Udara
Header Perikssa Data WFH tidak memecahkan masalah Polusi Udara. tirto.i/Fuad

tirto.id - Indonesia masih terus berkutat dengan problem polusi udara. Pada Juni tahun 2022 lalu, kualitas udara Jakarta sempat jadi sorotan lantaran mencetak peringkat pertama terburuk di dunia dan berada dalam kondisi “tidak sehat” selama 2 pekan berturut-turut.

Bak mengulang sejarah kelam, pada Selasa (8/8/2023), Jakarta kembali menduduki peringkat teratas di dunia untuk kota dengan kualitas udara paling buruk. Menurut laporan real time situs pemantau kualitas udara IQAir, indeks kualitas udara ibu kota per Rabu (16/8/2023) pukul 14.00 WIB berada di kisaran 165 standar Amerika Serikat (US AQI) dan tergolong tidak sehat.

Data tersebut diihimpun dari 20 kontributor, meliputi stasiun pemerintah seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), sejumlah perusahaan, dan individu.

IQAir juga menghitung konsentrasi PM2.5 sebagai salah satu polutan. Pada waktu yang sama, konsentrasi PM2.5 di Jakarta tercatat di level 82,7 mikrogram per meter kubik (µg/m³), alias 16,5 kali lipat melampui nilai panduan kualitas udara tahunan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 5 µg/m³.

PM2.5 sendiri merupakan partikel mikroskopis di udara yang berukuran tidak lebih dari 2,5 mikrometer. Ukuran itu paling tidak 30 kali lebih mungil dari diameter sehelai rambut manusia.

Tak mengherankan jika PM atau particulate matter bisa menembus jauh ke dalam paru-paru dan masuk ke aliran darah. Menurut WHO, hal itu kemudian bisa menyebabkan penyakit jantung iskemik, stroke, hingga penyakit pernapasan. Lebih lanjut WHO menyebut, PM2.5 bisa berasal dari sumber primer (misalnya pembakaran bahan bakar di fasilitas pembangkit listrik, industri atau kendaraan) dan sumber sekunder (misalnya reaksi kimia antara gas).

Merespons isu polusi yang deras diperbincangkan publik ini, Presiden Jokowi mengemukakan wacana aturan kerja hibrid atau kombinasi bekerja dari rumah (work from home/WFH)dan bekerja dari kantor (work from office/WFO).

Pertanyaannya, apa sebenarnya sektor pencemar udara Jakarta dan apakah skema WFH yang pernah diberlakukan sebelumnya pada saat pandemi terbukti bisa mengatasi masalah tersebut? Lalu bagaimana kondisi kualitas udara di kota-kota di luar Jakarta?

Transportasikah Sektor Pencemar Utama?

Menyoal sektor penyumbang pencemaran udara di DKI Jakarta, Dewan Proper Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Pambagio menuturkan, kendaraan berbahan bakar minyak saat ini menjadi masalah dalam polusi selain sektor industri.

“Dalam situasi saat ini, kendaraan bermotor menjadi penyebab signifikan dari polusi udara di Jakarta, mencakup sekitar 57 persen dari total polutan," ujar Agus, mengutip Tirto, Senin (14/8/2023).

Angka yang dimaksud yakni untuk emisi PM10, yang secara lebih rinci telah dijabarkan dalam kajian Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta bersama Vital Strategies berjudul “Laporan Inventarisasi Emisi Pencemar Udara DKI Jakarta”.

Laporan yang terbit tahun 2020 itu membeberkan, total partikulat dengan ukuran 10 mikrometer di DKI Jakarta sebesar 8.817 ton per tahun paling banyak disumbang oleh sektor transportasi, yaitu sebesar 5.113,24 ton/tahun.

PM10 memang termasuk polutan yang dikaji, di samping PM2.5, Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Oksida (NOX), Karbon Monoksida (CO), Black Carbon (BC), dan Non-Methane Volatile Organic Compounds (NMVOCs)

Masih dari sumber yang sama, sektor transportasi juga terlihat mendominasi cemaran PM2.5 di Jakarta. Dari 7.842,15 ton/tahun total beban emisi PM2.5, sektor transportasi berkontribusi sebesar 5.256,55 ton atau sebanyak 67 persen. Menyusul kemudian sektor industri manufaktur (26,8 persen), industri energi (5,7 persen), perumahan (0,4 persen), dan komersial (0,04 persen).

WFH Tidak Menyelesaikan Masalah Sebab Masih Ada Kontribusi Industri

Kendati sektor transportasi mendominasi emisi PM2.5 di Jakarta, rekapitulasi data dari situs pemantau kualitas udara lain yakni Nafas menunjukkan minimnya kendaraan yang melintas justru tak menurunkan konsentrasi PM2.5.

Saat pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3 Juli – 20 Juli 2021 di Pulau Jawa dan Bali, konsentrasi PM2.5 di area Jabodetabek justru melonjak sebesar 12 persen dibanding akhir Juni sampai awal Juli 2020 sebelum PPKM. Padahal PPKM saat itu memberlakukan skema 100 persen WFH pada pelaksanaan kegiatan sektor non esensial.

Bondan Andriyanu selaku Juru Kampanye Energi dan Iklim Greenpeace Indonesia juga bilang, data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dari KLHK menunjukkan peningkatan jumlah hari tidak sehat pada Juli 2021 dibanding Juni 2021.

Lebih rinci berdasarkan data yang diterima Tirto dari Greenpeace, jumlah hari tidak sehat pada Juni 2021 berjumlah 49 hari, kemudian melonjak hampir dua kali lipat menjadi 80 hari pada Juli 2021.

“Padahal Bulan Juli itu kan murni PPKM darurat kan. Artinya kurang work from home apalagi, bahkan nggak ada yang keluar rumah pada saat itu kan,” tutu Bondan saat dihubungi Tirto, Jumat (18/8/2023).

Sebagai pembanding, Tirto lantas mencoba menilik laporan tahunan IQAir tahun 2019 dan 2020. Data itu mengungkap, kualitas udara di sejumlah kota seperti Jakarta, Surabaya, Tangerang Selatan, dan Bekasi memang membaik selama periode Januari – Juni 2020, apabila dibandingkan dengan semester I 2019.

Namun, beberapa daerah lain seperti Desa Ubud dan Kota Pekanbaru justru memperlihatkan tren kenaikan konsentrasi PM2.5 sepanjang Januari – Juni 2020, dibanding enam bulan pertama tahun 2019.

Bicara penurunan konsentrasi PM2.5 di Jakarta selama pandemi COVID-19, berdasarkan laporan IQAir, rerata konsentrasi PM2.5 di kota metropolitan itu melorot tipis dari 43,6 µg/m³ pada Januari – Juni 2019 menjadi 38,1 µg/m³ pada periode yang sama tahun 2020. Perbaikan itu tentu tak terlalu signifikan dan masih jauh melampaui standar WHO.

Studi Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) tahun 2020 menaksir, angin telah membawa pencemaran pembangkit listrik Suralaya ke Jakarta yang mungkin telah berkontribusi pada tetap tingginya PM2.5 di Jakarta saat pandemi COVID-19 kendati ada pengurangan besar dalam lalu lintas lokal dan aktivitas perkotaan.

“Pada bulan-bulan kemarau Mei hingga Oktober, ketika tingkat pencemaran keseluruhan di kota ini paling tinggi, sumber-sumber dari pembangkit listrik tenaga uap [PLTU] berbahan bakar batubara dan pabrik industri di sebelah timur Jakarta (dari Bekasi, Karawang, Purwakarta hingga Bandung) berdampak lebih besar pada kualitas udara,” mengutip studi CREA.

Itu artinya, PLTU dan industri di sekitar Jakarta punya peran besar dalam mencemari udara Jakarta.

CREA mencatat, ada 136 fasilitas industri terdaftar (termasuk pembangkit listrik) yang bergerak di sektor-sektor dengan emisi tinggi di Jakarta dan berada dalam radius 100 km dari batas administratif Jakarta. 16 berlokasi di DKI Jakarta, lalu 62 di Jawa Barat, 56 di Banten, satu di Jawa Tengah, dan terakhir di Sumatera Selatan.

Wilayah padat industri ini berada pada lokasi yang sama dengan titik konsentrasi NOx dan SO2 di Jawa. NOx dan SO2 teroksidasi di atmoster dan membentuk PM2.5 sekunder dalam jumlah besar, yang dapat terbawa angin ke daerah sekitarnya sejauh lebih dari 100 km. Pemodelan atmosfer pada hari-hari dengan pencemaran terburuk di Jakarta menunjukkan lintasan angin yang melewati titik-titik konsentrasi NOx dan SO2 di Banten dan Jawa Barat, berkontribusi pada ketiga jenis pencemaran udara di Jakarta.

Bondan dari Greenpeace mengatakan pihaknya pernah meminta keterbukaan publik terkait emisi PLTU, akan tetapi Perusahaan Listrik Negara (PLN) menanggapi bahwa data emisi PLTU itu rahasia dagang.

“Harusnya jangan framing sumber pencemarannya hanya transportasi, ada industri juga. Dan penindakannya apa nih kepada pelaku industri dan PLTU batu bara yang masih mencemari?” kata Bondan, kepada Tirto, Senin (14/8/2023).

Kualitas Udara Buruk Bukan Cuma Terjadi di Jakarta

Celakanya, kualitas udara yang buruk tak hanya dirasakan oleh warga Jakarta, melainkan juga masyarakat di kota-kota lain di penjuru Indonesia. Indeks kualitas udara menurut situs IQAir pada 18 Agustus 2023 pukul 05.00 WIB (arsip) menempatkan Kecamatan Terentang, di Kalimantan Barat pada urutan pertama daerah paling berpolusi.

Perlu diketahui bahwa berbagai area di Kalimantan bulan ini sedang terdampak oleh kebakaran hutan, termasuk Kalimantan Barat, seperti dilansir dari Kompas TV.

Menyusul setelah Terentang, ada Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Surabaya, dan Jakarta. Posisi keenam sampai kesepuluh ditempati Kota Sintang (Kalimantan Barat), Kabupaten Serang (Banten), Palembang (Sumatera Selatan), Semarang (Jawa Tengah), serta Jambi. Indeks kualitas udara tiga daerah teratas itu berada pada rentang 156 – 165 sehingga masuk kategori “tidak sehat”.

Sedangkan Surabaya, Jakarta, Sintang, dan Serang terkategori “tidak sehat bagi kelompok sensitif” atau memiliki efek negatif kepada populasi rentan seperti anak kecil, lansia, dan mereka yang punya kondisi kesehatan buruk.

Jika melihat riwayatnya, Jakarta dan Surabaya memang masuk dalam 5 besar kota paling berpolusi tahun 2022. World Air Quality Report keluaran IQAir menyingkap, lima daerah paling berpolusi berdasarkan rerata konsentrasi tahunan PM2.5 pada 2022 meliputi Pasarkemis, Cileungsir, Jakarta, Bekasi, dan Surabaya.

Laporan IQAir pada 2022 menekankan, polusi udara di Indonesia didorong oleh pembangkit listrik tenaga batu bara, kebakaran hutan, dan degradasi lahan gambut, sementara polusi udara di kota-kota besar terkena dampak emisi kendaraan.

Warga Jabodetabek Banyak Alami Gangguan Pernapasan

Berkaitan dengan polusi, angka kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Jakarta ikut menjadi perhatian. Tirtomelaporkan, pada Juni 2023, kasus ISPA DKI Jakarta merangkak naik menjadi 102.475 kasus dari sebelumnya 99.130 kasus pada Mei 2023.

Akan tetapi, Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Ngabila Salama berdalih, kasus ISPA memiliki pola yang sama setiap tahun, dalam artian mulai meningkat pada September lalu puncak di Oktober – November dan mulai mereda pada bulan Maret.

“Tidak ada kenaikan kasus ISPA yang bermakna sejak bulan April 2023 sampai dengan Juli 2023,” kata Ngabila kepada reporter Tirto, Jumat (11/8/2023).

Kembali menukil laporan CREA, pencemaran lintas batas menimbulkan biaya kesehatan dan ekonomi yang besar pada warga Jakarta. Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara dalam radius 100 km dari Jakarta disebut bertanggung jawab atas sekitar 2.500 kematian dini di wilayah Jabodetabek.

Pencemaran lintas batas juga disinyalir bertanggung jawab atas dampak buruk kesehatan lainnya yang terkait dengan sistem kekebalan, pernapasan, dan kardiovaskular. Biaya tahunan akibat pencemaran lintas batas dari PLTU Batubara diperkirakan mencapai Rp5,1 triliun per tahun di Jabodetabek, atau Rp

180.000 per orang per tahun.

Untuk memotret porsi warga Jabodetabek yang mengalami gejala gangguan pernapasan, Tirto jugamelangsungkan survei bekerja sama dengan layanan penyedia survei Jakpat, yang memiliki lebih dari 1,3 juta responden.

Hasil survei yang dilakukan pada 16 Agustus 2023 ini menangkap, sebanyak 52,73 persen, atau lebih dari setengah dari 1.500 total keseluruhan responden yang tinggal di Jabodetabek, mengaku mengalami gejala penyakit pernapasan dalam 3 bulan terakhir. Gejala tersebut seperti batuk, sakit tenggorokan, dan sesak.

Menukil artikel Alodokter yang sudah ditinjau oleh dr. Pittara, gejala semacam itu bisa disebabkan oleh berbagai penyakit yang menyerang saluran pernapasan, antara lain asma, pneumonia, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan kanker paru-paru.

Menurut temuan survei Tirto bersama Jakpat, beberapa responden juga menyatakan anggota keluarga dalam satu rumah mereka mengalami gejala penyakit pernapasan dalam 3 bulan terakhir. Sejumlah 45,47 persen mengatakan mereka yang mengalami merupakan orang dewasa, kemudian 29,87 persen lainnya merupakan anggota keluarga anak-anak.

Warga Jabodetabek kebanyakan menghabiskan waktu di luar ruangan selama 1 – 3 jam (39,93 persen) dan bahkan ada juga yang mencapai lebih dari 6 jam (31,07 persen). Sisanya menyatakan berada di luar ruangan sekira 4-6 jam (29 persen).

Mayoritas masyarakat mengambil langkah tertentu dalam rangka melindungi diri mereka dari polusi, seperti memakai masker saat keluar rumah dan saat dalam perjalanan (78,60 persen), mengurangi waktu yang dihabiskan di luar ruangan (42,27 persen), dan menggunakan air purifier di dalam rumah (15,07 persen).

Jika diamati, hanya ada 7,87 persen responden yang berdomisili di Jabodetabek yang mengaku tidak melakukan langkah tertentu untuk melindungi diri dari polusi.

Mengenai demografi responden, survei ini kebanyakan diikuti oleh kelompok usia 20 – 25 tahun (24,87 persen), 30 – 35 tahun (23,07 persen), dan 26 – 29 tahun (19,20 persen). Proporsi perempuan dan laki-laki seimbang yakni 50:50.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty