tirto.id - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari 2021 menyatakan, musuh terbesar pers saat ini, khususnya daring, adalah para "buzzer" yang ia anggap tidak bertanggung jawab.
Maka daripada itu, Haedar berharap, pers tidak terbawa pada suasana yang kontroversial dan menjurus ke konflik sosial.
“Pers Indonesia secara khusus dalam dinamika politik kebangsaan saat ini penting menjalankan fungsi checks and balances sebagaimana menjadi DNA media massa sepanjang sejarah di negeri manapun,” kata Haedar, lewat keterangan tertulisnya, Selasa (9/1/2021) kemarin.
Dalam usaha mencerdaskan bangsa, ia mengatakan, pers berfungsi sebagai pranata sosial yang mengedukasi elite dan warga bangsa agar menjadi insan yang berpikir jernih, objektif, moderat, cerdas, beretika, dan berdaya kritis.
Hal yang sama juga pernah dilontarkan oleh Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pengurus Pusat Muhamadiyah, Edy Kuscahyanto. Ia bilang buzzer, lebih-lebih buzzer politik sangat berbahaya karena bisa membunuh karakter orang lain.
“Kita sepakat wacana haramkan profesi buzzer-buzzer karena mereka itu meresahkan orang lain dan membunuh karakter orang,” tuturnya. Lantas apa yang dimaksud dengan buzzer?
Arti Buzzer Politik
Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017 pernah melakukan riset soal sejarah buzzer secara keseluruhan di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan buzzer di media sosial masih dianggap sebagai hal yang lumrah dan mereka biasa dilibatkan oleh korporat dalam promosi produk.
Namun, maknanya menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata khalayak. Sejak saat itu, buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial.
Menurut CIPG, buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu bergerak dengan motif tertentu.
Buzzer biasanya punya jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu. Singkatnya, buzzer adalah pelaku buzzing yang bertugas untuk membuat suara-suara bising seperti dengung lebah.
Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer. Pertama, motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa.
Pola Rekrutmen Buzzer
1. Media Sosial
- Pemantauan akun yang aktif di media sosial seperti retweet, share dan like.
2. Group Chat 1
- Seleksi akun yang aktif di media sosial.
- Akun yang aktif dimasukkan ke dalam grup chat 1, biasanya memanfaatkan WhatsApp dan Telegram.
3. Group Chat 2
- Seleksi akun yang paling aktif di grup Chat 1.
- Akun yang paling aktif dimasukkan ke grup Chat 2.
4. Pertemuan Tatap Muka
- Individu dengan akun paling aktif yang sudah terjaring di grup chat 2 diundang dalam pertemuan tatap muka dengan koordinator buzzer.
- Buzzer terpilih.
Pola rekrutmen buzzer lainnya adalah agensi atau biro komunikasi memetakan dan mencari akun buzzer yang sesuai dengan kebutuhannya. Atau bisa juga mengumumkan lowongan untuk menjadi buzzer produk atau isu tertentu.
Strategi Buzzer
1. Berkicau dengan tagar serta membangun percakapan, baik secara alami maupun rekayasa;
2. Membuat atau memanfaatkan situs berita untuk meningkatkan kredibilitas konten;
3. Memanfaatan jaringan yang dimiliki buzzer dan aplikasi pesan singkat seperti WhatsApp dan Telegram untuk menyebarkan konten.
Sejarah Penggunaan Buzzer di Indonesia
1. Twitter mulai lahir pada tahun 2006 dan mulai digunakan di Indonesia;
2. Buzzer mulai digunakan oleh brand untuk kepentingan promosi;
3. Awal keterlibatan buzzer dalam peristiwa politik adalah Pilgub DKI Jakarta 2012;
4. Pada Pilpres 2014, buzzer mulai digunakan secara luas untuk kepentingan politik;
5. Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, para buzzer kembali dipakai untuk kepentingan politik.
Pada Maret 2019 lalu menjelang pemilihan presiden, dalam wawancara dengan Reuters, lebih dari selusin anggota tim buzzer, konsultan media sosial, dan pakar dunia maya menggambarkan serangkaian operasi media sosial yang mereka katakan menyebarkan propaganda atas nama Jokowi dan penantangnya, Prabowo Subianto.
Tiga buzzer yang terlibat langsung dalam kampanye di media sosial menyebutkan bahwa mereka mengoperasikan ratusan akun media sosial yang dipersonalisasi masing-masing atas nama para kandidat. Meskipun satu tim membantah menyebarkan berita palsu, namun dua mengatakan mereka tidak peduli dengan keakuratan konten yang mereka sebarkan.
Akan tetapi, kedua tim kampanye, baik Jokowi dan Prabowo membantah menggunakan buzzer atau menyebarkan berita palsu sebagai bagian dari strategi kampanye mereka.
Pakar politik dan media di Universitas Nasional Australia, Ross Tapsell mengatakan sudah menjadi hal yang biasa bagi kandidat di Asia Tenggara untuk mempekerjakan ahli strategi kampanye online, kemudian memanfaatkan sekumpulan orang untuk menyebarkan konten di media sosial.
Editor: Iswara N Raditya