tirto.id - Setiap diktator atau aspiran diktator butuh orang seperti Paul Joseph Goebbels. Menteri Propaganda Nazi Jerman itu memang piawai. Orang inilah yang membuat bekas kopral kapiran bernama Adolf Hitler tampak bak pemikir ulung. Goebbels bahkan menjadi penentu mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan bagi Partai Nazi.
Diktator bangsa Indonesia, Soeharto, juga punya propagandis macam Goebbels. Beruntunglah Soeharto karena ia dikelilingi orang-orang yang ikut membuat namanya harum. Di masa kini, bentuk nyata dari propagandis sebuah pemerintahan berupa buzzer dan influencer politik.
Para Penulis Riwayat Hidup
Dari kalangan militer, propagandis Soeharto bernama Brigadir Jenderal Gufron Dwipajana barangkali agak terlupakan di masa sekarang. Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988: 105), orang kelahiran Jember, 12 Desember 1932 yang biasa dipanggil Dipo ini pernah menjadi perwira pers dan pimpinan redaksi Berita Yudha serta Sapta Marga.
Peran Dwipajana di dunia film cukup menarik. Sejak 1978 Dwipajana diangkat sebagai Direktur Pusat Produksi Film Negara (PPFN) merangkap Asisten Menteri Sekretaris Negara. Kala itu posisi Menteri Sekretaris Negara dipegang Sudharmono yang kelak menjabat wakil presiden pada 1988-1993. Menurut Krishna Sen dalam Indonesian Cinema: Framing the New Order (1995: 165), Sudharmono lah yang menempatkan Dwipajana di kursi pimpinan PPFN.
Produksi legendaris PPFN adalah Si Unyil (1981) yang mengajarkan ketenteraman kepada masyarakat, Serangan Fajar (1981), dan tentunya Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI (1983). Dua film terakhir cukup mengangkat sosok daripada Soeharto. Serangan Fajar menyinggung perjuangan Soeharto di zaman Revolusi dan Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI mengangkat peran Soeharto seputar pembasmian PKI pasca-G30S.
Di luar perkara film, Dwipajana adalah orang penting di balik penulisan autobiografi legendaris daripada Soeharto yang disusun Ramadhan K.H. pada akhir 1980-an. Kala itu Ramadhan sudah dikenal sebagai penulis biografi. Seperti ditulisnya dalam “Mengenang Buku dari Jalan Cendana” yang termuat di buku Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard (2011), Ramadhan menyebut Dwipajana datang ke rumahnya dan memintanya menuliskan buku itu.
Ketika Ramadhan bilang akan memikirkannya, Dwipajana menjawab, “Boleh pikirkan, tapi saya tidak mau dengar Pak Ramadhan menolak!” Ramadhan pun tak kuasa menolak. Meski terkesan ogah-ogahan, buku berjudul Soeharto Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Otobiografi seperti Dipaparkan kepada G. Dwipajana dan Ramadhan K.H. itu rampung juga dan kini dianggap buku penting tentang Soeharto.
Ramadhan bukan satu-satunya orang yang menulis kisah hidup Soeharto. Sebelumnya ada wartawan berdarah Jerman bernama O.G. Roeder yang menulis biografi bertajuk Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1969).
Dari kalangan militer juga, ada Abdul Gafur yang pernah menjadi dokter di Angkatan Udara. Dia adalah Menteri Muda Urusan Pemuda periode 1978-1983 dan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga periode 1983-1988. Gafur pernah menyusun buku berjudul Pak Harto: Pandangan dan Harapannya (1987).
Buku itu menyinggung tentang pemerintahan Orde Baru yang menjadikan pembangunan nasional sebagai agenda utama dan tentu bicara soal sejarah hidup daripada Soeharto. Ketika minta restu kepada Soeharto, Bapak Presiden cukup senang. Seperti disebut Tempo (23/1/1988), Soeharto bahkan bilang, “daripada orang asing, lebih baik putra bangsa sendiri yang menulis.”
Tak hanya tentang Soeharto. Istri daripada Soeharto, Siti Hartinah alias Tien, juga pernah dibuatkan biografinya oleh Gafur. Biografi tersebut berjudul Siti Hartinah Soeharto, First Lady of Indonesia (1992). Setelah Tien meninggal, Gafur terlibat pula dalam penulisan buku Ibu Tien Soeharto dalam Pandangan dan Kenangan Para Wanita: Rangkaian Melati (1996). Dari karya-karyanya, Gafur tidak hanya mengangkat Soeharto, tapi juga keluarga Cendana.
Harmoko “Sang Kakak Pembina”
Dari sekian banyak pendukung yang membangun citra Soeharto, Harmoko barangkali punya tempat istimewa. Harmoko adalah Menteri Penerangan selama tiga periode sejak 1983 hingga 1997. Sebelum ditunjuk sebagai Menteri Penerangan, Harmoko, yang pernah menjadi anggota DPR ini, juga dikenal sebagai bos koran populer nan banyak pembacanya, Pos Kota.
Harmoko adalah ahli komunikasi massa. Di zaman Harmoko jadi Menteri Penerangan, muncul Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan (Kelompencapir) serta Safari Ramadan. Acara-acara ini merupakan ajang propaganda Orde Baru. Selain itu, dari zaman Harmoko lahir pula slogan komunikasi ‘Sambung Rasa’. Seperti dicatat Rully Chairul Azwar dalam Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009: 88), komunikasi Sambung Rasa mengandung arti silaturahmi seperti yang ada dalam ajaran Islam. “Yang ingin saya kembangkan adalah menciptakan komunikasi sambung rasa antara lapisan masyarakat dengan pejabat,” aku Harmoko.
Lantaran rajin memoles citra bagus pemerintah lewat acara-acara yang diadakannya, Harmoko tentu menjadi juru penerangan yang baik bagi Soeharto. Di Golkar, Harmoko juga punya jasa sebagai pakar komunikasi. Dia dianggap pencetus dari acara Temu Kader.
Di masa puncak kekuasaan Soeharto pada akhir 1980-an hingga 1990-an, Harmoko tampil sebagai influencer-in-chief yang membuat Soeharto tampak sebagai pemimpin besar dan diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan peran macam itu, Harmoko bisa dikatakan menjadi “kakak pembina” bagi para propagandis Soeharto. Sebagai bos dari Pos Kota yang dibaca banyak orang, Harmoko tentu amat potensial untuk dimanfaatkan.
Di tahun 1997, ketika belum selesai masa jabatannya sebagai Menteri Penerangan—seharusnya hingga 1998—Harmoko tiba-tiba dialihtugaskan. Dia diangkat menjadi Menteri Negara Urusan Khusus. “Sebagai Menteri Urusan Khusus, Harmoko dapat dikatakan disingkirkan dari kekuasaan, sebab tugas utama Menteri Urusan Khusus tersebut memberikan penerangan kepada calon anggota DPR,” tulis Akbar Tanjung dalam The Golkar Way (2007: 82).
Kala itu Harmoko adalah Ketua Umum Golongan Karya (Golkar)—yang baru saja menang mutlak dalam Pemilu 1997. Setelah kemenangan Golkar dan menjabat Menteri Urusan Khusus, Harmoko menjadi Ketua DPR/MPR.
Harmoko, yang legendaris dengan kalimat "atas petunjuk bapak presiden", disebut dalam buku Golkar Retak? (1999: 40) sebagai orang yang targetnya hanya “asal bapak senang” (ABS) dan sangat tergantung ke atas. Ketergantungan dan ke-ABS-an itu tentu saja hanya kepadanya, kepada Presiden Soeharto.
Sebagai Ketua Umum Golkar, menjelang Sidang Umum MPR 1998, Harmoko pernah membuat pernyataan: “Bapak Soeharto masih pantas memimpin negara ini dan rakyat mengharapkan Bapak Soeharto untuk bersedia menjadi presiden berikutnya.” Ketika Soeharto berada di ujung tanduk pada Mei 1998, Harmoko, dalam posisi sebagai Ketua DPR/MPR, meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya.
Dalam waktu begitu singkat, Harmoko, sang kakak pembina itu, tampil sebagai “Brutus”-nya Soeharto.
Editor: Windu Jusuf