tirto.id - Perhelatan pilpres telah membuat banyak pihak mudah melontarkan pernyataan sarat kontroversi, tak terkecuali Titiek Soeharto. Selasa (21/5/2019) kemarin, ia mengatakan pemerintah sekarang “lebih gila” dibandingkan pemerintahan Soeharto—alias rezim bapaknya sendiri.
“Katanya sudah demokrasi dan boleh berpendapat. Belum apa-apa sudah dibungkam. Dan itu, [mantan] Danjen Kopassus [Prabowo Subianto] sudah berjuang, tapi malah diperlakukan seperti itu,” tutur anggota Dewan Pembina Partai Berkarya ini.
Pernyataan Titiek merespons penerbitan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap Prabowo Subianto terkait kasus dugaan makar dengan tersangka Eggi Sudjana. SPDP tersebut dikirimkan pada Selasa (21/5/2019) dini hari, setelah penetapan akhir rekapitulasi Pemilu 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Betul, surat itu dikirim ke kediaman Prabowo di Hambalang. Dikirim dini hari. Surat bertanggal 17 Mei 2019 tapi dikirim setelah penetapan rekapitulasi suara. Tidak bisa lebih elegan sedikit, ya?” kata Titiek di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta Pusat.
Semesta Kognitif Titiek: “Enak Zamanku, Toh?”
Bukan kali ini saja Titiek mengemukakan opini bombastis dengan narasi sejenis: membanggakan rezim Orde Baru untuk mengkritik pemerintahan sekarang yang dipegang Joko Widodo.
Ketika masih berada di Partai Golkar, misalnya, Titiek ingin mengembalikan kejayaan partai berlogo beringin itu seperti halnya di masa-masa Orde Baru. Argumen Titiek waktu itu didasarkan pada asumsi tidak kritisnya Golkar terhadap pemerintahan Jokowi. Padahal, klaim Titiek, banyak kebijakan pemerintah yang bikin “rakyat terbebani”, mulai dari pengangguran, pengelolaan sumber daya alam yang belum maksimal, hingga perkara narkoba.
“Saya ingin menjerit untuk protes dan menyuarakan hati nurani rakyat, tapi saya tidak dapat melakukan hal itu, karena saya sebagai orang Golkar, partai pendukung pemerintah. Seharusnya Golkar sebagai partai besar harus bisa memberi masukan kepada Pemerintah, tidak hanya sekadar mengekor dan ABS [Asal Bapak Senang],” ungkap Titiek, seperti dikutip dari Antara.
Atas dasar itu, Titiek punya harapan untuk mengembalikan masa emas Golkar seperti di era Orba. Titiek juga mengesankan dirinya tak ciut nyali bila masyarakat menyebut Golkar akan jadi “kaki tangan keluarga Cendana” serta “kelompok sisa-sisa Orba.”
“Ya, terserah yang mau nilai bagaimana. Emang nyatanya orang-orang enakan zaman Orde Baru, kan,” jelas Titiek di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, akhir 2017.
Ketika sudah tak lagi di Golkar dan berlabuh ke partai bikinan adiknya, Tommy Soeharto, Berkarya, Titiek masih saja jualan Orba. Pada November 2018, misalnya, cuitan Titiek di Twitter membanggakan program swasembada beras yang dicanangkan Orba.
“Sudah cukup. Sudah saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional, dan dikenal dunia,” cuit Titiek.
Menanggapi Pemilu 2019, Titiek menyampaikan argumen senada. Lewat cuitan yang ia unggah pada 17 Mei, Titiek menyatakan bahwa kecurangan bisa merampas kedaulatan rakyat, tanpa kejujuran dan keadilan, sehingga membuat pemerintah tak dapat sejahterakan bangsa ini.
“Kita lihat korupsi makin merajela, ekonomi nyungsep, dan aparat negara digunakan untuk menakuti rakyat,” cuit Titiek.
Harapan, Amnesia, atau Kampanye?
Wacana Titiek untuk kembali ke era Orde Baru acapkali didasarkan pada kebanggaannya akan prestasi pemerintahan Soeharto di bidang pertanian, ekonomi, serta pendidikan, yang dinilai telah mensejahterakan masyarakat.
Namun, Titiek sepertinya pura-pura lupa bahwa bapaknya naik ke kursi RI-1 dengan kekerasan massal pada 1965 dan merawat kekuasaannya dengan cara-cara otoriter selama lebih dari tiga dekade. Indonesia di bawah Soeharto adalah lautan darah.
Titiek menyatakan korupsi hari ini kian merajarela. Pendapat itu mengabaikan fakta bahwa di rezim Soeharto, korupsi juga dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis, salah satunya melalui ratusan yayasan yang didirikan keluarga Cendana.
Yayasan-yayasan inilah yang kemudian dipakai Soeharto sebagai sumber dana untuk menopang kekuasaan dan bisnis yang dijalankan anak-anak serta para kroni seperti Bob Hasan.
Global Transparency Report 2004 mencatat Soeharto sebagai pemimpin terkorup dunia. Menurut laporan itu, Soeharto diduga membegal uang negara sebanyak $15 miliar hingga $35 miliar "di sebuah negeri dengan GDP kurang dari $700 per kapita" (PDF).
Mengutip George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (2006), pada Agustus 2000, Soeharto secara resmi didakwa Jaksa Agung karena menggelapkan dana sebesar $571 juta dari tujuh yayasan yang dipimpinnya selama menjabat presiden. Selang 15 tahun kemudian, keluarga Soeharto diwajibkan membayar ganti rugi senilai Rp4,4 triliun kepada negara.
Perkara korupsi inilah yang juga membunuh Syafiuddin Kartasasmita, seorang hakim agung/ketua muda Bidang Pidana Mahkamah Agung (MA) RI pasca-reformasi. Syafiuddin dihabisi nyawanya oleh orang suruhan Tommy Soeharto setelah sang hakim menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara serta denda Rp30,6 miliar kepada putra bungsu Soeharto itu dalam kasasi kasus tukar guling tanah milik Bulog dengan PT Goro Batara Sakti.
Selain urusan korupsi, Titiek juga mengeluhkan bagaimana pemerintahan Jokowi menggunakan aparat untuk menakut-nakuti rakyat. Lagi-lagi Titiek agaknya alpa dengan sejarah. Selama kepemimpinan Soeharto, sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah warga sipil yang dibantai dengan dalih “stabilitas negara” maupun “dianggap mengancam keamanan.”
Saat geger politik 1965, misalnya, mengutip dokumen diplomatik dari Kedubes AS di Jakarta yang dirilis oleh Arsip Keamanan Nasional George Washington University pada 2017 silam, Soeharto terus memerintahkan represi yang berujung pembunuhan massal di beberapa provinsi di Indonesia terhadap anggota, simpatisan, dan siapapun yang dianggap berafiliasi dengan PKI (Dokumen bertanggal 20 November 1965, dari ringkasan mingguan yang dihimpun oleh Sekretaris Pertama Kedubes AS, Mary Louise Trent). Total, sekitar 500 ribu sampai satu juta orang terbunuh selama 1965-1967, menjadikan tahun-tahun ini sebagai babak paling berdarah dalam sejarah Indonesia.
Tak sampai satu dekade kemudian, Indonesia mencaplok Timor Leste dengan dukungan Washington. Selama invasi dan periode pendudukan awal, jumlah korban warga sekitar mencapai 150.000 hingga 200.000 jiwa (PDF).
Kekejaman yang sama berlanjut di Papua hingga hari ini. Siapapun yang diduga sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) dibabat. Muchtar Effendi Harahap dalam bukunya berjudul Demokrasi dalam Cengkeraman Orde Baru (2004) menulis, terhitung sejak 1981 hingga 1996, lebih dari 15 ribu orang Papua tewas dalam operasi-operasi militer yang dilakukan di bawah Orde Baru.
Pengkeramatan Pancasila sebagai "asas tunggal" memakan banyak korban pada 1980-an. Pada 12 September 1984, ratusan muslim tewas diberondong timah panas tentara di Tanjung Priok. Peristiwa serupa terulang lima tahun kemudian di Talangsari, Lampung. Ratusan orang meregang nyawa dituduh pemerintah sebagai gerakan subversif. Berdasarkan laporan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) bertajuk Kertas Posisi KontraS: Kasus Talangsari 1989, Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan (2006), pembantaian itu dilakukan oleh tiga peleton Batalyon 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob) yang dipimpin Hendropriyono.
Manipulasi dan kecurangan pemilu yang seringkali ditudingkan Titiek juga terjadi sepanjang pemerintahan Soeharto. Orde Baru memastikan agar Golkar selalu menang dalam pemilu dan kepemimpinan dua partai lainnya, PPP dan PDI, tunduk pada pemerintah. Pada 27 Juli 1996, misalnya, Orde Baru menyerbu kantor DPP PDI di Menteng dari pendukung Megawati (ketua umum partai versi Munas Jakarta 1993). Perebutan kantor dilakukan oleh aliansi tentara, polisi, dan pendukung Soerjadi, ketua umum PDI versi kongres Medan yang direstui Soeharto.
Intervensi rezim bapaknya Titiek terhadap pemilu bahkan sudah dilakukan sejak 1971, tahun ketika pemilu pertama Orba digelar. Soeharto mengerahkan mesin politiknya, dari ABRI, PGRI, pegawai negeri, dan birokrasi di semua tingkat agar Golkar menang.
Tak hanya itu, para pejabat Departemen Dalam Negeri dikerahkan sebagai panitia. Pemerintahan Soeharto membeli suara untuk memengaruhi pilihan masyarakat, serta menempatkan tentara dan polisi di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memastikan kemenangan Golkar.
Golkar akhirnya menang dengan perolehan suara sebesar 62,8 persen dan mendapat 236 kursi di DPR. Kemenangan itu menjadi preseden bagi kemenangan Golkar di pemilu berikut-berikutnya yang ditempuh dengan cara yang sama: licik lagi manipulatif.
”Sayangnya, Pemilu [1971] direkayasa dengan cara-cara yang justru antidemokrasi. Berbagai aturan dan tata cara dimanipulasi untuk memenangkan Golkar sebagai mesin politik rezim Orde Baru. Inilah pseudo democracy atau demokrasi semu yang mengelabui rakyat,” kata sejarawan Anhar Gonggong, dikutip dari Kompas (11/1/2014).
Pemerintahan Jokowi memang bukan pemerintahan yang ideal. Salah satu problemnya adalah fakta bahwa para perwira yang terlibat kasus-kasus pelanggaran HAM berat kini mendapat kedudukan strategis di pemerintahan Jokowi. Kapan para perwira ini melakukan pelanggaran HAM? Pada zaman ketika bapaknya Titiek berkuasa.
Dalam konteks Pemilu 2019, harapan Titiek tentunya bukan sekadar harapan pribadi, melainkan bahan kampanye. Selebihnya ia adalah materi pendidikan politik yang sangat buruk.
Editor: Windu Jusuf