tirto.id - Siti Hediati Hariyadi atau dikenal sebagai Titiek Soeharto menjadi klan terakhir Keluarga Cendana yang meninggalkan Partai Golkar. Pada Senin 11 Juni 2018 kemarin, anak keempat mantan Presiden Soeharto resmi menyatakan hengkang dari partai yang pernah dibesarkan ayahnya.
Titiek kecewa dengan sikap politik Golkar yang dinilainya tidak kritis terhadap Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Padahal menurutnya banyak kebijakan pemerintah yang membebani rakyat. Ia mencontohkan rekrutmen tenaga kerja asing di Indonesia di saat angka pengangguran di tanah air tinggi, pengelolaan sumber daya alam yang belum maksimal sehingga memaksa Indonesia menjadi importir pangan, hingga perkara narkoba.
.
“Saya ingin menjerit untuk protes dan menyuarakan hati nurani rakyat, tapi saya tidak dapat melakukan hal itu, karena saya sebagai orang Golkar, partai pendukung pemerintah. Seharusnya Golkar sebagai partai besar harus bisa memberi masukan kepada Pemerintah, tidak hanya sekadar mengekor dan ABS (asal bapak senang),” kata Titik seperti dikutip dari Antara.
Pergi meninggalkan Golkar, Titiek berlabuh ke Partai Berkarya yang kini dipimpin sang adik, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, yang resmi meninggalkan Golkar sejak 2016 lalu. Sebelum hengkang ia sempat mencalonkan diri sebagai ketua umum di Munas Golkar 2009 Pekanbaru. Di antara calon ketua umum yang ada saat itu adalah Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Aburizal Bakrie. Tommy merupakan satu-satunya calon yang tidak mendapat satu pun suara dari peserta Munas. Pada 2012, ia mendirikan Partai Nasional Republik namun gagal lolos verifikasi KPU sebagai peserta Pemilu 2014.
Tommy juga sempat berniat mencalonkan diri sebagai ketua umum Golkar di Munaslub 2016 sebelum akhirnya mengalihkan dukungan kepada Ade Komaruddin yang akhirnya kalah oleh Setya Novanto.
Meski Soeharto pernah menjadi jualan politik Golkar baik pada masa Orde Baru dan reformasi, namun hengkangnya Tommy dan Titiek dari naungan beringin ternyata dianggap tidak akan mengancam elektabilitas partai. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Sarmuji bahkan terang-terangan menyebut nama Soeharto sudah tidak bisa lagi dijadikan sebagai jualan politik.
“[Perolehan] Suara Mbak Titik dengan menjual nama Pak Harto juga tidak mendapatkan suara yang spektakuler. Biasa saja, tidak jauh dari suara saya yang anak rakyat biasa yang bapaknya sama sekali tidak terkenal,” kata Sarmuji kepada Tirto.
Sarmuji menuding orang-orang yang hengkang dari Golkar, termasuk Titiek dan Tommy, tidak ada kaitannya dengan sikap Golkar ke pemerintah. Mereka, kata Sarmuji, pindah partai karena kalah bersaing dengan kader utama Golkar yang lain.
“Enggak akan ada bedol desa dari Golkar. Kalaupun ada yang pindah lagi, mereka adalah orang-orang yang kalah bersaing dengan kader utama di Golkar,” tutur Sarmuji.
Ketua DPP Ace Hasan Syadzily juga menilai kepergian Titiek dari Golkar tak perlu diratapi. Menurutnya Golkar harus terus konsisten dengan program konsolidasi dan menjaga soliditas untuk mengisi ruang yang ditinggalkan Titiek.
Anggota Komisi 8 DPR RI ini juga yakin kepergian Titiek tidak akan memengaruhi elektabilitas partai. “Kita lihat nanti hasilnya di tahun 2019 nanti. Namun kami yakin bahwa Partai Golkar merupakan partai terbuka dan mandiri. Tidak tergantung pada seseorang atau keluarga tertentu,” kata Ace kepada Tirto.
Pengamat politik dari The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes melihat hengkangnya Titiek Soeharto dari Golkar tidak akan berpengaruh banyak untuk partai berlambang beringin itu.
"Secara institusi bagi Golkar hijrahnya Titiek tidak akan berpengaruh apapun karena Golkar sebagai institusi sudah kuat. Mereka pun sekarang tengah membangun brand baru," tutur Arya kepada Tirto.
Ia mengatakan, Titiek bukan satu-satunya tokoh penting di Golkar yang hengkang. Sebelumnya, meski bukan dari klan cendana, ada nama Surya Paloh yang mendirikan Partai Nasional Demokrat dan Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerindra.
Arya juga mengungkapkan Keluarga Cendana sudah tidak memiliki pengaruh signifikan baik sebagai magnet elektabilitas maupun penentu politik. Apalagi sejak 2014 Golkar sudah mulai membangun citra baru yang tidak mengandalkan Soeharto dan Orde Baru.
Di sisi lain Arya melihat usaha Partai Berkarya merebut hati pemilih Indonesia dengan memanfaatkan romantisme Orde Baru tidak akan mudah. Meski mungkin ada pemilih yang menganggap Soeharto sebagai presiden yang berhasil, itu bukan satu-satunya penentu orang memilih partai. “Karena pilihan mereka ke partai itu ada banyak faktor. Faktor elite lokal, faktor sistem partai, dan lain-lain,” kata Arya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Muhammad Akbar Wijaya