tirto.id - November lalu Soeharto batal mendapat gelar pahlawan. Tapi rupanya ia akan diserupakan dengan pahlawan malam ini, 11 Maret 2017, bersamaan dengan 51 tahun Supersemar. Predikat Soeharto pun nampaknya akan bertambah. Ia bukan hanya pahlawan anti-komunis, tapi juga diperlakukan bak panglima Muslim anumerta oleh segelintir pemuka agama dan pemimpin ormas.
“Dia pahlawan Muslim,” celetuk seseorang di media sosial. “Dia bangun masjid di Bosnia”, ucap lainnya. “Di era Soeharto, Muslim dilindungi…” dan seterusnya.
Di mana sejarah? Tidak, ia tidak masuk keranjang sampah. Alih-alih, pada era pasca-kebenaran, masa lalu gampang direkonstruksi dari bahan baku fantasi, rumor, ingatan. Ingatan—sesuatu yang fana, labil, lentur, dan emosional—diandalkan.
Orang terbiasa mengingat beberapa hal sambil melupakan yang lainnya. Bagaimana kaum Muslim diberondong peluru dalam insiden Tanjung Priok (1994); dibakar hidup-hidup dalam insiden Talang Sari (1991); dibunuh, disiksa, dan diperkosa selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer di Aceh (1988-1998) seakan cuma isapan jempol pasca-1998.
Pada masa awal Reformasi, Soeharto ramai-ramai dikutuk bak spesies setengah-Dajjal. Tiba-tiba kini sebagian orang ini menahbiskannya sebagai makhluk setengah wali.
Kebutaan sejarah adalah satu hal. Bagaimana sejarah ditulis pada era Soeharto, adalah hal lain. Jika kini ada banyak pihak, dengan alibi “pelurusan sejarah”, ingin merehabilitasi Soeharto, hal yang perlu diingat pertama-tama adalah sebagian besar orang tetap memperlakukan sejarah sebagai propaganda, alat legitimasi politik, ketimbang suatu disiplin yang berurusan dengan penyelidikan-penyelidikan masa lampau. Kegagapan kita berhadapan dengan fakta-fakta keras berbagai kasus kekerasan politik di masa lalu yang tak kunjung diselesaikan, adalah buktinya.
Wajar jika, misalnya, Angkatan Darat tetap woles memajang spanduk berslogan “TNI lahir, tumbuh, dan kuat bersama rakyat,” meskipun tak sekali Angkatan Darat pernah menjadi mesin pembunuh rakyat yang paling mobile, brutal, paling efektif menjelang dan selama Soeharto berkuasa. Tidak heran pula ketika rakyat Papua teriak “Merdeka”, segala macam argumen yang berlandaskan mitos tentang keagungan Majapahit dan Sriwijaya yang menitis ke Republik Indonesia segera dikerahkan.
Ada sebuah kutipan dari almarhum Daniel Bensaïd yang sempurna menggambarkan bagaimana fakta-fakta masa lampau direlatifkan melalui ingatan. “Zaman dulu, sejarah menyensor memori. Hari ini, memori menyensor sejarah.”
Upaya merehabilitasi Soeharto dewasa ini, dengan segala mitos tentang kejayaan Orde Baru, rupanya lebih gawat dari yang dikatakan Bensaïd: ia lahir dari kombinasi penulisan sejarah yang cacat dan memori yang pendek.
Problem Penulisan Sejarah
Di Indonesia, imajinasi tentang Indonesia yang membentang dari Aceh hingga Tanah Merah (Papua) sejak 4000 tahun silam digagas oleh dari Muhammad Yamin, yang selanjutnya berturut-turut, langsung atau tidak langsung, menormalisasikan aneksasi Papua Barat, Timor Timur, dan memberangus aspirasi separatis di Aceh.
Adapun narasi sejarah yang mengglorifikasi Angkatan Darat sebagai juru selamat bangsa dipelopori oleh Nugroho Notosusanto bekas novelis yang kebetulan belajar sejarah dan kelak dipercaya sebagai arsitek sejarah Orde Baru. Dalam History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past (2007) Katherine McGregor menyebutkan, pada awal 1972 Nugroho menyelenggarakan seminar Angkatan Darat yang mengeluarkan rekomendasi agar pers dan pekerja seni mempromosikan aspek militeris dari Revolusi 1945.
Setelah 1965, dari sinilah narasi publik tentang masa lalu bangsa dikontrol ketat oleh negara. Produk-produk hukum yang disahkan pasca seminar tersebut dapat dipahami sebagai bagian dari agenda pemerintahan Soeharto mengantisipasi potensi-potensi pembangkangan dan ketidakpuasan masyarakat di kemudian hari.
Tapi Soeharto tidak sendirian. Jagal Kemusuk itu memang melegitimasi kekuasaannya dengan sejarah. Namun dibandingkan dengan Mussolini, Hitler, Stalin, dan para penguasa Eropa terdahulu, dia terhitung bocah. Soeharto dan para intelektualnya hanya meniru tradisi penulisan masa lalu yang sudah berkembang di tempat lain.
Salah satu aspek yang mencolok dari politik kebudayaan totaliter ultra-kanan adalah perayaan atas masa lalu yang dibangun berdasarkan mitos. Problem dari imajinasi masa lampau ini seringkali sangat sederhana: tidak berbasis fakta, selain tentunya, terlalu percaya diri.
Mussolini membayangkan paralel antara Italia modern dengan Imperium Roma, dan ingin menyatukan tempat-tempat yang pernah masuk dalam teritori Imperium Roma, mulai dari sebelah selatan Britania, Italia, Turki, daratan Iberia, Yunani, Balkan, hingga Afrika Utara.
Dalam imajinasinya, Imperium Roma adalah bangunan besar yang stabil dan harmonis sejak berdiri hingga runtuh lantaran diserbu bangsa barbar. Sialnya Il Duce lupa bahwa pada 500 SM, perlawanan paling keras terhadap penaklukan serdadu Roma datang dari rakyat Lucani dan penduduk berbahasa Latin—yang tinggal di tempat-tempat yang kini menjadi pusat dalam peta Italia Modern.
Narasi bahwa Fasisme Italia adalah Imperium Roma jilid II memberikan justifikasi bagi Mussolini untuk meluncurkan kampanye milter Italia ke Afrika Utara dan membangun pilar-pilar Roma Kuno bergaya modern di sekujur ibukota negara. Coba, hitung-hitungan sederhana saja. Seandainya Imperium Romawi II di bawah Mussolini berhasil bangkit, berapa anggaran tahunan dan personel pasukan yang dibutuhkan untuk mempertahankan integrasi terorial, jika bukan dengan tentara bayaran yang loyalitasnya dipertanyakan?
Dus, dia pun lupa bahwa salah satu penyebab utama bubarnya Romawi Kuno adalah keluasan teritorinya sendiri dan ketergantungan para kaisar terakhir pada tentara bayaran!
Lalu Hitler mengira dirinya titisan para kaisar Imperium Suci Roma (Holy Roman Empire), yang pada kenyataannya bukan imperium sungguhan, tidak suci, dan bukan pula Romawi.
Dia alpa satu hal: Imperium Suci Roma berpusat di Austria (kampung halaman Hitler), bukan Jerman. Nasionalisme Jerman yang digembar-gemborkan Hitler sendiri baru lahir sekitar empat puluh tahun sebelum ia lahir di Wina, ketika kaum aristokrasi Jerman, dengan bantuan kelas pekerja, setengah mati memerdekakan diri dari cengkraman berabad-abad Dinasti Habsburg di Austria.
Namun, lagi-lagi, fakta bahwa mimpi-mimpi basah para diktator ini diterima sebagai kebenaran oleh massa-rakyat tidak selalu mengandaikan pembuktian hal-hal faktual. Seringkali, duduk persoalannya terletak pada pakem-pakem penulisan sejarah, jauh sebelum tiran-tiran itu lahir. Mereka memang terobsesi—dan ingin dicatat—sejarah. Tapi bagaimana persisnya mereka menghendaki sejarah ditulis?
Alan Stenweiss dalam “Hitler and Carlyle's 'Historical Greatness’”(1995) mencatat bahwa propagandis Hitler, Joseph Goebbels, terobsesi dengan Thomas Carlyle, seorang sejarawan Skotlandia yang menulis tentang Revolusi Prancis dengan gaya meledak-ledak. Tentu tidak semua yang terinspirasi Carlyle berakhir seperti Hitler, namun Carlyle adalah salah seorang yang mempopulerkan suatu tren interpretasi sejarah yang meletakkan “Orang-Orang Besar” (Great Men) beserta pikiran, tindakan dan ucapannya, sebagai penggerak sejarah, adalah alih-alih ekonomi, relasi kekuasaan dan hal-ihwal lain yang lebih materil.
Karya Carlyle yang memberikan pengaruh besar pada bangunan ideologi Fasis Jerman adalah berjilid-jilid biografi Frederick Agung yang ditulisnya selama dekade 1850-1860an. Otto von Bismarck, kanselir Jerman yang dikagumi Hitler, jauh-jauh hari mengucapkan terimakasihnya kepada Carlyle karena telah mendukung Jerman dalam perang melawan Prancis (1870).
Narasi Sejarah Sebagai Alat Konsolidasi
Konstruksi “Orang Besar” ini tidak hanya diikuti Hitler untuk menciptakan kultus individu dan membius massa-rakyat yang mendambakan kedatangan juru selamat. Ian Kershaw, sejarawan dan biografer Hitler, menyebutkan dalam The Hitler Myth: Image and Reality in the Third Reich (1987) bahwa mitos kebesaran Hitler pertama-tama digunakan sebagai alat konsensus dan “pendorong integrasi” di tengah faksionalisasi internal partai, centang-perenang kebijakan negara, dan ketidakpuasan rakyat.
Problem lainnya adalah cakupan penulisan klasik sejarah Eropa yang Eurosentris. Selama berabad-abad imajinasi historis Eropa dibangun berdasarkan semacam hirarki yang memisahkan “dunia beradab” yang dihuni para elit dan bangsa-bangsa maju di kawasan Eropa Barat, dari dunia yang dihuni kaum yang dianggap tidak atau kurang beradab (orang-orang non-Eropa) dan kelompok-kelompok masyarakat Eropa dipandang inferior (Slav, Yahudi, Gipsi). Dalam logika ini, Eropa adalah pusat dunia dan raja-ratu Eropa adalah pusat Eropa, sementara di luar itu adalah pembunuh Yesus (Yahudi), Pagan (Arab), primitif (Afrika), atau petani pemberontak.
Bahkan pada abad ke-19, ketika konsep sejarah sebagai suatu disiplin ilmu mulai diperkenalkan, tidak sedikit intelektual Eropa yang beranggapan bahwa masyarakat Tiongkok dan India adalah masyarakat tanpa sejarah, yang lebih pantas ditulis sebagai subjek ilmu alam dan antropologi, bukan sejarah.
Secara politis, salah satu efek jangka panjang dari kosongnya riwayat masyarakat non-Eropa ini adalah terbukanya ruang bagi kemunculan narasi-narasi spekulatif yang memojokkan kelompok masyarakat yang tidak disukai dan rawan dikambinghitamkan tiap kali terjadi pergolakan politik. Contohnya adalah Protokol Zion, yang berisi notulensi rapat orang Yahudi untuk menguasai dunia.
Hitler memanfaatkan dokumen palsu tersebut untuk membingkai komunitas Yahudi sebagai pengkhianat bangsa dan konspirator global. Aslinya, dokumen ini dikarang para polisi rahasia Tsar Rusia untuk mendiskreditkan orang-orang komunis menjelang Revolusi 1917. Dampaknya luar biasa: enam juta orang Yahudi mati di kamar gas gara-gara hoax berjudul Protokol Zion.
Celakanya, cara menulis masa lalu ini ditiru dan berkembang pesat di luar Eropa, termasuk yang dilakukan Nurgoho Notosusanto. Sudah umum jika para diktator di seluruh dunia berupaya memasukkan diri mereka ke dalam sejarah nasional dengan cara yang sama seperti Hitler, serta mengeliminir siapapun yang tidak disukai dari riwayat resmi masa lalu bangsa. Idi Amin pada 1971 memproklamirkan diri “Penakluk Imperium Britania,” mencap warga keturunan India sebagai “antek Inggris” dan mengusir mereka dari Uganda.
Pembantaian Muslim Bosnia salah satunya dipicu oleh pidato Slobodan Milošević (1989) memperingati 600 tahun kekalahan Serbia dalam Pertempuran Kosovo di tangan Turki Usmani (1389). Sejarawan Scott Appleby mencatat audiens pidato Milošević berteriak histeris "Slobodan, kami mencintaimu karena kau benci Muslim!” Pidato kebencian ini menihilkan fakta bahwa selama berabad-abad telah terjadi kawin campur antara masyarakat Serbia dan Bosnia, terlepas dari siapa yang berkuasa.
Dari pengalaman penyimpangan sejarah oleh para tiran, ada alasan mengapa Haul Soeharto bukanlah keruntuhan akal budi dan orgi fantasi, rumor, dan waham.
Sebaliknya, perhelatan ini bisa diraba sebagai konsolidasi kelompok-kelompok Islam Politik yang hari ini tidak selalu sejalan namun sama-sama dibesarkan oleh keluarga Cendana dan militer pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Soeharto—selain sebagai sarana mendapuk diri sebagai pewaris Soeharto, yang belakangan mulai dikenang degan khidmat oleh sebagian masyarakat.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.