tirto.id - Pemerintah saat ini lebih banyak menggunakan kekuatan hukum dalam menjawab kritikan dari masyarakat sipil. Penggunaan UU ITE dan belum lagi revisi UU KUHP makin mengisyaratkan tanda kemunduran demokrasi di Indonesia. Belum lagi penggunaan buzzer atau pendengung guna menggiring dan menyesatkan opini publik semakin memperkeruh suasana alam demokrasi negara ini.
Mesin Propaganda, Buzzer, dan Revisi UU KUHP
Dengan semakin dekatnya Pemilu tahun 2024 dan menjelang berlakunya UU KUHP, pemerintah Indonesia semakin bersiap untuk meningkatkan propaganda narasi politiknya.
Pasal penghinaan terhadap pemerintah dalam UU KUHP berpotensi menjadi alat untuk membungkam para pengkritik pemerintah yang muatan kritiknya berisi hoaks atau berita menyesatkan. Presiden Joko Widodo bersikeras bahwa pemerintahannya telah menjadi korban kampanye berita bohong, yang menyebabkan keresahan dan keraguan publik terhadap pembentukan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, rencana pemindahan Ibu Kota Baru dan revisi Undang-Undang KUHP, yang sudah disahkan akhir tahun 2022.
Namun, penyebar berita yang menyesatkan terbesar bukanlah datang dari para pengkritik atau orang di luar pemerintahan, melainkan pemerintahan Joko Widodo sendiri. Didorong oleh mesin propaganda yang memiliki sumber daya yang memadai, pemerintah siap bertarung dengan menghalalkan segala cara untuk menggiring opini publik.
Dengan sisa waktu sedikit menjelang Pemilu 2024, Presiden Jokowi dihadapkan dengan dua kebijakan prioritas yang memicu perdebatan publik, membangun ibu kota baru dan UU KUHP yang akhir tahun lalu telah disahkan. Namun, pemerintah tetap terus maju melanjutkan kebijakan kontroversial tersebut.
Bukanlah hal bijaksana bagi pemerintah yang terpilih secara demokratis untuk mengabaikan suara keprihatinan publik. Namun pemerintahan Jokowi, secara tidak langsung, telah mengembangkan sebuah pakem kemenangan sejak berkuasa pada tahun 2014, yaitu mendelegitimasi kritik dan membanjiri percakapan daring dengan pesan-pesan tandingan dari orang-orang lingkaran kekuasaan.
Bahkan, awal tahun ini, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Usman Kansong, mengatakan kepada ratusan pejabat humas pemerintah tugas mereka untuk mempromosikan dan menjelaskan UU KUHP yang baru sangat vital.
Kekhawatiran Masyarakat Sipil
Disahkannya UU KUHP yang baru membuat para akademisi dan kelompok masyarakat sipil khawatir bahwa peraturan tersebut merupakan wujud dari kemunduran demokrasi di Indonesia Hal ini karena adanya pasal yang melarang penghinaan kepada pemerintah dan membatasi apa saja yang bisa diajarkan di sekolah. Mereka khawatir pasal-pasal tersebut digunakan sebagai alat membungkam kritik.
Namun, Usman Kansong yang merupakan mantan jurnalis TV mengatakan kepada para humas pemerintah bahwa tidak ada yang salah dengan UU KUHP, pemerintah hanya perlu mengkomunikasikannya secara lebih strategis kepada publik. Akan tetapi, maksud dari komitmen untuk melakukan “komunikasi strategis” cenderung berarti mengampilfikasi agenda pemerintah dan membungkam kritik.
Salah satu bentuk “komunikasi strategis” itu dapat terlihat dari kampanye #SawitBaik yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2019. Kampanye ini bertujuan untuk memperjuangkan industri kelapa sawit ketika pemerintah sedang bernegosiasi terkait ekspor ke Uni Eropa. Kampanye ini juga disinyalir untuk meredam kritik terhadap kebakaran hutan di perkebunan besar komoditas kelapa sawit di Indonesia.
Selama pandemi COVID-19 lalu, pemerintah mempekerjakan para buzzer–orang-orang yang pekerjaannya mendorong suatu isu di dunia maya. Saat itu, mereka diminta untuk melawan kritik terhadap rencana pelonggaran kegiatan publik saat wabah COVID-19 masih merebak. Orkestrasi narasi tunggal dari pemerintah ini terlihat berulang kali terjadi. Jokowi menepis serangkaian protes pada tahun 2020 terkait RUU Cipta Lapangan Pekerjaan. Saat itu Jokowi mengatakan, suara-suara protes tersebut didasarkan pada ''berita hoaks yang disebarkan melalui media sosial".
Sebelumnya, pada tahun 2020, di kalangan masyarakat muncul keluhan terhadap RUU Ciptaker. Undang-undang tersebut dinilai tidak konstitusional dan diajukan tanpa melibatkan publik yang memadai. Namun setelah pernyataan Jokowi tadi bergulir di media sosial, sentimen bergeser dari penolakan RUU Ciptaker menjadi dukungan terhadap pemerintah.
Pada bulan Agustus di tahun yang sama, Menteri Komunikasi dan Informatika yang saat itu dijabat oleh Johnny G. Plate membuat langkah lebih keras. Ia mengatakan kepada seluruh pejabat pemerintah bahwa tidak boleh ada narasi atau pesan dari pemerintah (baik dari pusat atau daerah) yang boleh bertentangan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo.
Setelah terpilih pada tahun 2014, Joko Widodo membentuk sebuah tim humas khusus (Tenaga Humas Pemerintah) untuk menyebarkan narasi pemerintah, menggiring opini publik, dan meredam kritik. Tim ini mendukung orkestrasi pemerintah dalam melawan kritik publik dan memastikan bahwa setiap lembaga pemerintah menerbitkan postingan media sosial untuk memperkuat kebijakan pemerintah.
Pada tahun 2017, Jokowi juga menghidupkan mesin humas, mengawasi pembentukan tim media sosial pemerintah yang menjangkau berbagai instansi dan lembaga. Sinergi Media Sosial Aparatur Sipil Negara (SIMAN) seolah menjadi "pasukan khusus" media sosial pemerintah–sebuah tim yang bertugas memerangi radikalisme dan orang iseng di dunia maya, serta membantu mengemukakan pesan-pesan pemerintah agar menjadi perhatian utama.
Kemunduran Demokrasi
Pada kenyataannya, mereka (tim SIMAN) berusaha untuk meredam kritik terhadap negara di media sosial. Setiap pegawai pemerintah dapat mengajukan diri untuk bergabung. Tujuan menjadi viral (viralisasi) adalah pesan yang berulang kali didengar oleh setiap pegawai pemerintah saat mengikuti lokakarya antara tahun 2017 dan 2019, yang merupakan bagian dari proses perekrutan. Pada tahun 2019, sekitar 5.946 pegawai pemerintah direkrut sebagai pasukan SIMAN melalui 42 lokakarya.
SIMAN tidak lagi aktif seperti saat pemilu 2019 dan Tenaga Humas Pemerintah telah dibubarkan. Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia lebih memilih untuk memanggil asosiasi humas pemerintah, yang beranggotakan sekitar 900 aparatur negara yang tersebar di berbagai instansi dan lembaga.
Pemerintah menawarkan kredit kinerja tambahan bagi mereka yang mendorong narasi pemerintah secara online. Kredit poin ini dapat digunakan sebagai modal untuk kemudian mengajukan promosi jabatan.
Para petugas humas yang mempromosikan kepresidenan Indonesia di G20 di akun media sosial masing-masing, misalnya, akan mendapatkan kredit poin. Program ini yang kemudian menghasilkan banjirnya pesan-pesan pro-pemerintahan Jokowi.
Jokowi tampaknya menginginkan narasi tunggal yang mendukung kebijakannya tanpa syarat. Salah satunya melalui UU ITE yang telah digunakan untuk menyasar para aktivis di media sosial, ditambah revisi UU KUHP yang dapat membuat kriminalisasi terhadap aktivis makin keras lagi.
Di negara-negara demokrasi, humas merupakan suatu hal yang dibutuhkan. Mereka dapat bertindak sebagai jembatan antara pemerintah dan rakyat, membantu membuka jalur komunikasi antara pemerintah dan kelompok-kelompok terpinggirkan. Namun, ketika pemerintah menggunakan humas untuk membungkam suara-suara yang berlawanan, menggiring opini publik, dan menambah pusaran disinformasi, maka hal ini bisa membuat kemunduran demokrasi bagi sebuah negara.
Risiko yang ditimbulkan akibat disinformasi pesan yang disponsori pemerintah cukup tinggi. Selama rezim pemerintahan Jokowi, pemerintah telah mengorkestrasi narasi tunggal dari negara untuk setiap kebijakan, dan dengan waktu kurang dari 1 tahun masa pemilu tidak ada tanda-tanda upaya ini akan menurun.
***
Artikel ini berasal dari tulisan Ika Idris dari Monash University Indonesia, Laeeq Khan dari Ohio University, dan Nuurrianti Jalli dari Northern State University. Terbit pertama kali di 360info.org.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.