tirto.id - Melarang TikTok tidak akan menyelesaikan masalah, TikTok harus mengubah kebijakan platformnya.
Di Barat, TikTok telah menimbulkan kekhawatiran terkait masalah keamanan digital hingga perlindungan data pribadi. Namun di Asia Tenggara, aplikasi ini sukses berkembang. TikTok yang awalnya digunakan sebagai platform hiburan biasa bertransformasi menjadi aplikasi e-dagang yang tumbuh pesat dengan pengguna aktif mencapai 325 juta per bulan.
TikTok dan Pemilu Malaysia
Namun aturan TikTok dalam mengatasi konten-konten berbahaya di platformnya seperti disinformasi, ujaran kebencian, dan propaganda dikritik banyak pihak baik dari masyarakat sipil maupun pihak pemerintah. Kecaman terhadap TikTok muncul karena platform ini membiarkan konten-konten kontroversial berkembang luas, terutama selama masa pemilihan umum.
Sebagai contoh, selama pemilihan umum Malaysia tahun 2022, TikTok gagal mendeteksi dan menghapus berbagai konten disinformasi, sehingga mempopulerkan tagar "#13mei" yang cukup mengkhawatirkan.
Tagar tersebut merujuk kepada kerusuhan rasial tahun 1969 antara warga Tionghoa dan Melayu. Di dalamnya terdapat konten-konten rasis yang menyerukan ajakan unjuk rasa jika partai seperti Partai Aksi Demokratik (Democratic Action Party) yang didominasi keturunan Cina menang pemilu.
Sebagai tanggapan atas kejadian tersebut, pihak berwenang Malaysia memanggil TikTok dan menuntut penghapusan konten-konten tersebut secepat mungkin. Meskipun ribuan unggahan bermasalah telah dihapus, namun konten serupa masih bisa banyak ditemukan di TikTok.
Sebuah studi yang dilakukan selama masa Pemilu Malaysia 2022 menganalisis 2.789 video terkait pemilu dengan kata kunci tertentu dari November hingga Desember. Studi tersebut menemukan bahwa hampir 400 video di dalamnya mengandung propaganda hitam yang tergolong disinformasi atau konten menyesatkan yang bertujuan untuk menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, menggiring opini publik, dan merusak reputasi seseorang.
Dari jumlah tersebut, 97 video di antaranya diidentifikasi sebagai video astroturfing, yakni bentuk propaganda ketika seorang peserta pemilu berpura-pura menjadi warga negara biasa. Terlepas dari kebijakan yang dilakukan TikTok, hingga Juni 2023 sejumlah video serupa masih dapat ditemukan di platform ini.
Meskipun telah ada aturan yang tegas, TikTok kadung dianggap gagal dalam mengatasi konten hoaks secara efektif selama pemilu Malaysia 2022 hingga menimbulkan banyak kekhawatiran terutama jelang pemilu yang akan datang di negara Asia Tenggara lainnya seperti pemilu di Indonesia tahun depan.
Hoaks, TikTok, dan Pemilu di Indonesia
Penelitian awal terkait peran TikTok di pemilu Indonesia menemukan banyak konten video berbahaya. Video-video tersebut memuat disinformasi yang memicu kebencian terhadap suku dan agama tertentu terutama jelang pemilu.
Selain itu ditemukan juga konten propaganda bermuatan ujaran kebencian menggunakan bahasa daerah yang disebarkan oleh loyalis atau pendengung (biasa disebut pasukan siber atau cyber troopers). Konten-konten ini menggunakan teknik propaganda seperti priming yang fokus pada sebagian isu tapi tidak dengan isu lainnya untuk menimbulkan reaksi atau sikap tertentu. Selain itu, TikTok juga tampaknya memiliki keterbatasan dalam mengidentifikasi konten-konten berbahasa daerah yang menyebarkan gagasan-gagasan bias politik tertentu.
Studi lain bahkan mengungkap bahwa propaganda Rusia menyebar luas dalam platform TikTok Indonesia dengan konten yang terang-terangan melanggar pedoman TikTok. Banyak video berformat mirip berita menggunakan dan mereproduksi konten-konten yang disebarkan oleh sumber propaganda pro-Rusia tersebut. Akun-akun ini berpotensi menimbukan kebingungan publik, dengan menyulitkan penonton menentukan keandalan informasi yang mereka sajikan.
Konten-konten seperti tersebut di atas dapat menyesatkan bahkan dapat membuat masyarakat mempercayai misinformasi. Melawan disinformasi di Tiktok merupakan hal yang sulit terutama karena bentuk konten di platfom ini berupa video.
Tantangan Melawan Misinformasi di TikTok
Tidak seperti konten berbasis teks, mengecek fakta di platform seperti TikTok perlu mengevaluasi berbagai jenis elemen mulai dari teks, audio, gambar, dan video di dalamnya. Proses pemeriksaan fakta juga harus mampu memahami interaksi antar beragam elemen tersebut dan mengidentifikasi jika ada kaitan di antara elemen tersebut yang menyesatkan.
Oleh karenanya pengembangan machine learning sistem cek fakta di TikTok harus mampu mengubah setiap jenis media menjadi teks dan menganalisisnya untuk melihat ada tidaknya potensi narasi yang menyesatkan. Meskipun masing-masing elemen dapat terlihat benar, namun saat dikombikasikan satu sama lain bisa saja menghasilkan misinformasi atau disinformasi.
TikTok mengklaim dirinya telah bermitra dengan organisasi pemeriksa fakta global, tetapi banyak dari tim cek fakta belum memiliki kapasitas yang cukup untuk melawan penyebaran konten misinformasi dengan cepat. Sebagai contoh, selama pemilu 2019 di Indonesia seorang kandidat mengelola kampanye disinformasi hingga membuat beragam organisasi cek fakta kewalahan.
Selain itu, sistem TikTok juga sepertinya belum mampu mengidentifikasi dengan baik konten disinformasi dan propaganda politik berbahasa daerah. Hal ini terbukti dalam peristiwa-peristiwa penting seperti protes selama kudeta militer di Myanmar pada 2021, pemilu Filipina pada 2022, dan yang terbaru, pemilu di Malaysia.
Menanggapi keterbatasan langkah yang bisa dilakukan, beberapa negara mempertimbangkan untuk melarang TikTok karena dianggap dapat menimbulkan banyak kerugian dan menilai TikTok telah gagal dalam mengatasi konten berbahaya. Namun langkah ini dapat melanggar kebebasan berbicara dan berekspresi.
Kerja Sama Melawan Misinformasi itu Penting
Masalah ini dapat diatasi bersama. Pertama, perlu diakui bahwa keterlibatan banyak pihak dapat menjadi motor penggerak media sosial secara positif.
Informasi kontroversial dan konten-konten tantangan atau TikTok challenge cenderung menarik banyak perhatian dan keterlibatan publik yang luas. Dengan mempertimbangkan hal ini, TikTok dan platform lainnya dapat memberlakukan misalnya sistem reward & punishment bagi pengguna.
Saat ini algoritma TikTok hanya memberi penalti bagi kreator yang tidak rutin mengunggah konten, sehingga mengurangi visibilitas dan kesempatan untuk tampil dalam fitur For Your Page/FYP. Hal ini secara tidak langsung dapat mendorong kreator konten untuk lebih mengutamakan kuantitas dibanding kualitas, sehingga berpotensi meningkatkan penyebaran misinformasi.
Sebagai alternatif, TikTok dapat mendorong pembuatan konten berkualitas, konten edukasi yang telah terjamin kebenarannya dengan memberi insentif seperti bonus uang atau meningkatkan visibilitas mereka di FYP. Selain itu, TikTok juga dapat membuat sistem insentif yang mendorong penggunanya untuk aktif melaporkan konten-konten misinformasi.
Misalnya, jika konten yang dilaporkan itu dinyatakan valid sebagai konten misinformasi oleh tim moderasi TikTok maka pengguna bisa mendapatkan poin. Poin itu dapat dikumpulkan dan digunakan untuk membeli produk dari toko daring yang ada di dalam ekosistem e-dagang TikTok. Penawaran insentif secara nyata ini juga dapat mendorong pengguna lebih proaktif ikut memoderasi konten di TikTok.
TikTok juga dapat mengubah pedoman penggunanya, lebih transparan terkait strategi moderasi konten mereka, dan melaporkan jika ada pembaruan kebijakan. Hal ini termasuk mempublikasikan laporan detail secara transparan dan aktif berdialog dengan pengguna maupun pihak lainnya.
TikTok juga dapat menguatkan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat lokal, terutama mereka yang punya keahlian dalam dinamika sosial politik daerah dan bahasa lokal. Semua pengguna, termasuk akademisi, LSM, pemerintah, dan praktisi media dapat memberi kontribusi berarti dalam mengembangkan TikTok. Mereka dapat menggunakan platform ini sebagai media utama untuk melawan propaganda dan menyebarkan informasi terverifikasi.
Mengingat jangkauannya yang luas terhadap pengguna, TikTok memiliki potensi untuk menjadi platform yang efektif untuk mempromosikan konten yang lebih informatif dan membawa narasi positif. Namun, hal ini membutuhkan perencanaan yang matang dan strategis dari para pembuat konten, LSM, dan pemerintah.
Jurnalis dan organisasi media juga memiliki peran penting. Mereka dapat memanfaatkan platform ini untuk menyebarkan informasi yang akurat, menyanggah narasi yang menyesatkan, dan mendorong TikTok agar akuntabel dengan terus mengamati dan memberitakan kebijakan serta penegakan aturan yang ada di platform ini.
Artikel ini berasal dari tulisan Nuurianti Jalli dari Northern State University dan Ika Karlina Idiris dari Monash University Indonesia. Terbit pertama kali di360info.org
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.