tirto.id - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 segera tiba. Artinya, beranda media sosial mulai kembali dipenuhi celotehan akun-akun palsu yang di satu sisi rajin mempromosikan kandidat tertentu dan di sisi lain gemar menjelek-jelekkan lawan. Orang Indonesia menjuluki mereka dengan sebutan buzzer politik.
Terminologi buzzer merujuk pada pemilik akun media sosial yang dibayar pihak tertentu untuk mendengungkan agenda politik. Mereka kerap terlibat perdebatan ofensif dan acap kali menyulut kegaduhan di dunia maya. Demi mencoreng citra lawan, segala cara dilakukan. Termasuk menyebar disinformasi alias hoaks.
Meski punya konotasi jelek, industri buzzer politik menggeliat sejak satu dekade terakhir. Bisnis ini tidak hanya subur di Indonesia. Di Filipina, ia dikenal dengan istilah troll, sedangkan orang Amerika Serikat memanggilnya cyber troops. Walau sebutan beda, tujuannya sama: membentuk persepsi publik.
Pada 2017, tiga peneliti asal Centre of Innovation Policy and Governance (CIPG) berupaya membedah sisi gelap industri buzzer politik di Indonesia. Ternyata, agensi memainkan peran sentral. Mereka lah yang berperan sebagai aktor penghubung penawaran dengan permintaan, kemudian menarik keuntungan darinya.
Berbeda dengan perdagangan jasa biasa, pemasaran buzzer politik cenderung berjalan sembunyi-sembunyi, dilakukan secara intensif dari mulut ke mulut dan lebih sering informal. Oleh karena itu, kelihaian agensi diperlukan. Selain mencari klien, mereka juga bertugas merekrut buzzer, aktor utama dalam bisnis ini.
Sistem perekrutan dilakukan berjenjang. Awalnya, agensi memantau akun media sosial yang aktif membagikan isu-isu tertentu. Setiap akun potensial diajak bergabung ke suatu grup obrolan. Selanjutnya mereka diundang bertemu koordinator, yakni buzzer politik berpengalaman dengan jumlah pengikut ribuan bahkan jutaan.
Selain merekrut buzzer, agensi punya tanggung jawab lain. Yakni mengemas atau merancang konten sekaligus memantau dan mengevaluasi kampanye supaya berjalan sesuai pesanan klien. Dulu, pasar ini menyasar korporasi. Namun belakangan permintaan didominasi kalangan politikus atau partai politik.
Awal Mula Merebaknya Buzzer Politik
Istilah buzzer – tanpa embel politik – muncul di Indonesia pada 2009 selaras kehadiran Twitter. Jumlah pengguna media sosial melonjak signifikan dan menyebabkan arus informasi semakin cepat. Momentum itu semula dipakai mempromosikan produk dan jasa, sehingga konotasinya positif. Tapi semua berubah dengan cepat.
Pergeseran inidiuraikan Shiddiq Sugiono dalam penelitian berjudul Fenomena Industri Buzzer di Indonesia: Sebuah Kajian Ekonomi Politik Media (2020). Menurutnya, cap buruk buzzer melekat sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012. Sebelumnya, mereka condong jadi bagian strategi pemasaran usaha.
Pilkada 2012 memang telah berakhir. Tapi eksistensi buzzer politik terus berlanjut. Campur tangan mereka kembali meramaikan dinamika Pilkada DKI Jakarta 2017, Pemilu 2014 hingga Pemilu 2019. Secara umum, topik yang diangkat berkutat pada isu identitas. Polarisasi itu akhirnya menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.
Kendati buruk bagi ekosistem demokrasi, industri buzzer politik tetap menjanjikan. Dalam mengamplifikasi pesan, operasinya tak lagi sekadar mengandalkan akun-akun anonim. Namun juga melibatkan oknum selebriti atau pegiat media sosial populer. Orang-orang ini biasa mengidentifikasikan diri dengan sebutan influencer.
Merujuk reportase ABC pada 2018 silam, partai politik menawarkan sekitar USD500 kepada buzzer atau influencer untuk satu kali unggahan di media sosial. Aktivis politik Denny Siregar juga menyebut dirinya pernah ditawarkan USD1.000/bulan untuk menjadi buzzer profesional.
Inside Indonesia juga menemukan hasil penelusuran yang mirip. Hasil wawancara menyebutkan bahwa satu akun buzzer dibayar sekitar Rp50.000-200.000/bulan. Umumnya buzzer mengelola lebih dari 30 akun, jadi dalam sebulan mereka bisa mendapatkan upah hingga Rp6 juta per bulan.
Lebih lanjut, bisnis buzzer politik berjalan lancar karena diduga ikut menenteng kepentingan penguasa. Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), total anggaran belanja pemerintah terkait aktivitas digital mencapai Rp1,29 triliun kurun 2014-2020. Pengeluaran untuk merekrut influencer melonjak 80%, dari Rp17,68 miliar pada 2017 jadi Rp90,45 pada 2020.
Dugaan ini selaras dengan hasil penelitian Shiddiq. Ia menemukan adanya relasi antara pihak-pihak yang ingin mencapai tujuan politik menggunakan buzzer. Demi mempertahankan kekuatan, pemerintah disinyalir ikut memakai mereka guna melawan oposisi. Imbalannya tidak sebatas uang tunai, namun juga jabatan prestisius.
Regulasi dipakai sebagai pertahanan. Pemerintah dituduh memanfaatkan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau biasa disingkat UU ITE. Oposisi banyak terjerat dengan dalil ujaran kebencian.
Alasan Buzzer Sukar Ditertibkan
Asisten Profesor Antropologi di University of Amsterdam, Yatun Sastramidjaja, khawatir tren penggunaan buzzer juga memengaruhi Pemilu 2024. Media sosial akan kembali dipenuhi dengan perdebatan dan provokasi yang terkadang berlandaskan hoaks. Bisnis ini sukar dikekang akibat kerangka hukum tidak memadai.
Dalam kajian berjudul Peddling Secrecy in a Climate of Distrust: Buzzers, Rumours and Implications for Indonesia’s 2024 Elections (2022), Yatun menjelaskan bahwa perkembangan bisnis buzzer di Indonesia tak lepas dari skeptis publik terhadap media arus utama yang mayoritas dikendalikan oligarki atau berafiliasi dengan partai politik.
Selain itu, para buzzer juga dianggap unggul karena bisa lebih mudah mengungkap data rahasia kandidat tertentu berkat akses istimewa dari klien. Menawarkan informasi yang diklaim valid tanpa sensor. Faktanya, netizen tertarik. Peluang ini memberi ruang luas bagi mereka untuk menabur hoaks ataupun provokasi.
Seorang antropolog digital Pradipa P. Rasidi, telah melakukan sejumlah penelitian tentang buzzer politik di Indonesia. Menurutnya, instansi pemerintah, partai politik, dunia usaha, dan individu kaya berlomba-lomba menggunakan mereka untuk berbagai kepentingan. Jelang Pemilu 2024, buzzer juga memainkan peran.
Masih seperti satu dekade terakhir, pengoperasian buzzer tetap bergerak dalam ruang gelap, mereka ada tapi tak terlihat. Pendanaan utamanya bersumber dari saku politisi, pendukung politik, dan tokoh bisnis, sehingga sukar untuk ditelusuri secara formal. Dana itu beredar melalui saluran-saluran yang tidak terdaftar.
Sebagai objek penelitian yang berlangsung pada April-Mei 2023, Pradipa memilih perusahaan buzzer dengan nama samaran PT Gugus Nusantara Informatika (PT GNI). Perusahaan ini beroperasi dengan modus konsultan teknologi informasi dan pemasaran digital. Kantor mereka berada di Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan.
Kantornya berupa bangunan bertingkat yang tidak memiliki papan keterangan apapun tentang perusahaan. Ia terletak di lingkungan kelas menengah bawah yang berbatasan dengan Kota Tangerang. Klien PT GNI meliputi selebriti, tokoh media, perusahaan teknologi, industri berat, perusahaan real estate, politisi, dan militer.
Menciptakan regulasi atau kerangka hukum untuk menertibkan perusahaan buzzer politik seperti PT GNI merupakan tantangan berat. Musababnya, mereka cenderung menguntungkan kelompok elit. Undang-undang yang mengatur industri ini kemungkinan juga hanya akan digunakan melawan oposisi, seperti UU ITE.
Laporan Election House menyarankan Indonesia agar mencontoh Australia dan Uni Eropa (UE) yang telah mengembangkan kode praktik disinformasi, masalah utama yang ditimbulkan buzzer. Dalam regulasinya, perusahaan media sosial menjadi objek sasaran. Mereka justru didorong memainkan peran aktif dalam mencegah hoaks.
Kode praktik yang dimaksud harus disesuaikan dengan konteks politik Indonesia. Sebab disinformasi di sini tidak hanya disebarkan oleh individu-individu yang tidak terhubung atau tidak saling dikenal, melainkan juga jaringan terkoordinasi dan terlembaga. Untuk itu, regulasi perlu menargetkan para buzzer secara langsung.
Dalam regulasi, perusahaan atau lembaga buzzer harus mematuhi dua syarat utama. Pertama, mereka bersedia tidak menyebarkan hoaks dan provokasi isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan atau SARA. Kedua, mereka harus menerapkan transparansi. Auditor diberi wewenang untuk meninjau konten yang disebarkan buzzer.
Untuk menarik minat perusahaan buzzer, kode praktik mesti dirancang sedemikian rupa. Regulasi itu harus turut menguntungkan mereka. Misal dengan memberikan publisitas positif dan label kredibilitas kepada perusahaan yang mau menerapkannya. Reputasi yang bagus otomatis menjadi daya tawar tersendiri di mata klien.
Dengan kompleksitas industri buzzer politik, solusi di atas tentu mempunyai kelemahan. Namun tetap perlu untuk dipertimbangkan di tengah keterbatasan. Yang jelas, kode praktik serupa telah berhasil menarik perhatian perusahaan media sosial di Australia dan UE. Oleh karena itu, tak tertutup kemungkinan pendekatan serupa bisa diterapkan bagi Indonesia.
Editor: Dwi Ayuningtyas