tirto.id - Masih segar di ingatan bagaimana pandemi COVID-19 memorak-porandakan dunia. Jutaan nyawa melayang akibat wabah tersebut, belum lagi diiringi kerugian ekonomi yang tak berbilang. Kini, dunia tetap perlu waspada terhadap kemungkinan wabah baru. Ilmuan berulang kali memperingatkan tentang penyakit zoonosis atau penyakit yang menular dari hewan ke manusia, yang berpotensi memicu petaka baru.
Teranyar, virus Nipah (NiV) tengah menjadi perhatian di sektor kesehatan global. Enam orang di Negara Bagian Kerala, India, terinfeksi virus Nipah pada akhir Agustus 2023. Dua di antaranya meninggal dunia. Pemerintah setempat bahkan menutup beberapa sekolah, kantor, dan jaringan transportasi umum untuk menghentikan penyebaran.
Wabah Nipah di Kerala tahun ini, menjadi kasus keempat yang tercatat di wilayah tersebut. Dilansir Reuters, lebih dari 700 orang, termasuk petugas kesehatan, telah dites untuk mendeteksi penyebaran virus. Pada wabah Nipah pertama di Kerala 2018, sebanyak 21 orang yang terinfeksi virus Nipah meninggal. Adapun wabah virus Nipah pada 2019 dan 2021 di Kerala, menewaskan dua orang.
Sebelumnya, di awal tahun ini, ada 8 kasus kematian akibat virus Nipah di Bangladesh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, sejak 4 Januari hingga 13 Februari 2023 di Bangladesh, total ada 11 kasus konfirmasi virus Nipah dengan satu di antaranya probable. Infeksi virus Nipah di Asia Tengah ini berulang kali terjadi dan memiliki tingkat kematian kasus (CFR) hingga 73 persen.
Virus Nipah dibawa oleh kelelawar buah (Pteropus) yang dapat menginfeksi penyakit tersebut ke hewan peliharaan seperti babi, yang kemudian menular pada manusia. Virus Nipah menyebar melalui kontak dengan cairan tubuh dari hewan atau manusia yang terinfeksi.
WHO mencatat lebih dari 600 kasus infeksi virus Nipah pada manusia dilaporkan antara tahun 1998 dan 2015. WHO juga telah memasukkan virus Nipah sebagai salah satu dari beberapa penyakit yang berpotensi menyebabkan epidemi global.
Situasi di Indonesia
Melalui keterangan resminya, Kementerian Kesehatan menegaskan, belum ada kasus virus Nipah di Indonesia saat ini. Namun untuk menerapkan kewaspadaan, pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan No. HK.02.02/C/4022/2023 tentang Kewaspadaan Terhadap Penyakit Virus Nipah.
Edaran ini ditujukan kepada kepada pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, Laboratorium Kesehatan Masyarakat, Kantor Kesehatan Pelabuhan, dan para pemangku kepentingan terkait.
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), dinkes prov/kab/kota, dan fasyankes diminta untuk melakukan pemantauan kasus dan negara terjangkit di tingkat global melalui kanal resmi Kemenkes dan WHO.
Selain itu, pemerintah berupaya meningkatkan pengawasan terhadap orang (awak, personel, dan penumpang), alat angkut, barang bawaan, lingkungan, vektor, binatang pembawa penyakit di pelabuhan, bandar udara dan pos lintas batas negara, terutama yang berasal dari negara terjangkit.
“Mengingat letak geografis Indonesia berdekatan dengan negara yang melaporkan wabah, sehingga kemungkinan risiko penyebaran dapat terjadi,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, Senin (25/9/2023).
Risiko Virus Nipah di Indonesia
Epidemiolog dan peneliti kesehatan global Griffith University, Dicky Budiman menjelaskan, ada kemungkinan virus Nipah yang kini ditemukan di Kerala, India dan Bangladesh telah mengalami mutasi. Virus yang bermutasi memiliki potensi lebih menular dari sebelumnya.
“Kasus di Bangladesh dan di India ternyata strain-nya berbeda artinya sudah ada mutasi. Kemudian terdeteksi bahwa terutama dari riset yang dilakukan di Bangladesh, terjadi peningkatan kasus infeksi antarmanusia,” ujar Dicky kepada reporter Tirto, Rabu (27/9/2023).
Dicky menuturkan, wabah Nipah pertama tercatat pada 1998 di kalangan peternak babi di Malaysia. Kasus pertama ini menyebabkan hampir 300 orang di Malaysia terinfeksi dan lebih dari 100 orang tewas.
Penyakit ini kemudian menyebar ke Singapura dengan 11 kasus dan satu kematian. Namun sejak itu, belum ada laporan lagi kasus Nipah di Malaysia.
“Mutasi ini relatif terjadi dalam konteks India dan Bangladesh ini. Lebih mengkhawatirkan ya dibandingkan waktu Malaysia, dan inilah kenapa setiap outbreak Nipah itu harus menjadi perhatian sekecil apa pun,” jelas Dicky.
Menurutnya, risiko Nipah di Indonesia menjadi besar karena keberadaan kelelawar buah yang membawa virus ini juga ada di Indonesia. Indonesia juga cenderung buta dengan situasi wabah, karena deteksi dan surveilans yang lemah.
Wabah Nipah berulang di Bangladesh dan di Kerala, India, menjadi sinyal pergeseran ruang hidup kelelawar buah yang semakin dekat ke lingkungan manusia. Kendati demikian, kata Dicky, potensi pandemi virus Nipah masih kecil terjadi.
“Tapi kalau kita membiarkan virus ini menginfeksi manusia lebih banyak, dia akan lebih efektif menginfeksi lebih cepat,” tegas Dicky.
Hingga saat ini, kata Dicky, belum ada vaksin untuk mengatasi virus Nipah. Meski ada pengembangan pembuatan vaksin Nipah, proses yang dilakukan masih berjalan lambat. Adapun gejala penyakit ini meliputi demam hebat, muntah, dan infeksi saluran pernapasan. Pada kasus yang parah, dapat menimbulkan kejang dan peradangan otak.
Sinyal Peringatan untuk Pemerintah
Munculnya potensi mutasi virus Nipah perlu menjadi alarm di sektor kesehatan global, termasuk di Tanah Air. Dicky Budiman meminta pemerintah menerapkan mitigasi dengan pendekatan ‘One Health’ atau Satu Sehat. Jangan sampai, konsep ini hanya menjadi sekadar jargon tanpa aksi nyata di lapangan.
“Harmonisasi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan yang betul-betul konkret ini yang masih belum ada,” ujar Dicky.
Hal senada diungkapkan epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane. Ia menyampaikan, kebijakan Satu Sehat harus ditingkatkan agar bukan terpaku pada tataran konsep saja.
“Tapi lebih ke implementasi yang operasional di lapangan, selama ini di frontline terlihat berjalan sendiri-sendiri, surveillance integrated harus dibangun untuk menyatukan sistem yang berdiri sendiri-sendiri tersebut,” ujarnya dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/9/2023).
Masdalina menilai, deteksi dini wabah di Indonesia selalu terlambat. Masalah ini juga ditambah dengan sistem kewaspadaan dini dan respons (EWARS) yang harus diperbaiki.
“Lebih memperkuat event dan community base surveillance, bukan hanya indicator base saja,” terangnya.
Berkaca pada masa awal pandemi COVID-19, Indonesia memang bak diterjang badai besar yang meratakan segalanya. Sulit melupakan bagaimana kondisi Indonesia yang kalang kabut di kala wabah COVID-19 mulai menyebar. Antipati masyarakat ditambah sikap pemerintah yang tidak berbasis sains di masa awal pandemi, harus dibayar mahal dengan banyaknya korban nyawa.
Hal ini yang membuat Wasekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) cum Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, menilai pandemi COVID-19 lalu memberi pembelajaran yang sangat berharga.
Dalam menghadapi potensi wabah baru, termasuk virus Nipah, Narila meminta pemerintah membenahi sistem kewaspadaan dini. Selain itu, masyarakat bisa mulai diedukasi soal bahaya virus Nipah agar tidak terjadi hoaks.
“Jangan sampai ada misinformation, tidak seperti di awal-awal pandemi COVID-19 kita tahu banyak sekali misinformation,” kata Narila dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/9/2023).
Pemerintah juga perlu memperhatikan kelompok rentan, seperti anak-anak, ibu hamil, dan lansia dalam menghadapi potensi wabah. “Deteksi dini, supaya jangan keburu udah banyak tersebar,” tambah Narila.
Persiapan Kemenkes
Direktur Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan Kemenkes RI, Achmad Farchany Tri Adryanto menyampaikan, pihaknya selalu memonitor perkembangan kasus Nipah melalui jejaring data WHO dan data regional di Indonesia. Kemenkes bersama lintas sektor, juga melakukan upaya pencegahan dengan konsep Satu Sehat (One Health).
“Telah menyusun Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Virus Nipah di Indonesia. Pedoman ini telah disampaikan ke berbagai daerah untuk menjadi acuan dalam menyiapkan kewaspadaan dini di daerah,” kata Farchany dihubungi reporter Tirto, Rabu (27/9/2023).
Selain itu, pemerintah sudah mempersiapkan laboratorium rujukan nasional yaitu Laboratorium Prof. Dr. Oemiyati dan Balai Besar Laboratorium Biologi Kesehatan. Serta menyiapkan rumah sakit rujukan infeksi emerging.
“Semua Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) atau Balai Kekarantinaan Kesehatan se Indonesia melakukan penguatan pengawasan di pintu masuk negara. Meliputi bandara, pelabuhan dan Pos Lintas Batas Darat Negara,” jelas Farchany.
Farchany kembali menegaskan bahwa belum pernah ada laporan temuan atau kasus Nipah di Indonesia. Namun demikian, ia tak menampik potensi masuknya virus Nipah ke Indonesia.
“Mungkin saja terjadi mengingat mobilitas manusia yang sangat tinggi baik secara lalu lintas internasional maupun domestik,” tukasnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz