tirto.id - “Sunat perempuan adalah praktik yang dilakukan sejak zaman nenek moyang. Kami tidak tahu persis bagaimana dan mengapa [praktik ini bermula],” demikian pernyataan AN, seorang ibu rumah tangga di Gorontalo.
AN merupakan satu dari banyak ibu yang memutuskan untuk meneruskan tradisi sunat perempuan, tanpa punya kesempatan untuk memahami risiko yang mungkin dapat terjadi kepada anak-anak perempuannya bila genitalianya dipotong.
Di Gorontalo, praktik sunat perempuan lazim disebut dengan mandi lemon. Hal ini mengacu pada tata cara sunat, yaitu memotong sebagian dari genital bayi perempuan, lalu memasukkan potongan tersebut ke dalam air lemon.
“Bagian alat vital yang dipotong itu ditaruh dalam [air] lemon,” ujar AN kepada Tirto, Sabtu, 18 Juli 2023 saat menceritakan prosesi sunat perempuan di daerah tempat tinggalnya.
AN menyebut, praktik ini lazim dilakukan oleh masyarakat Gorontalo yang beragama Islam, bahkan nyaris dianggap wajib sebagaimana salat lima waktu. Para bayi perempuan di Gorontalo biasanya disunat saat mereka menginjak usia 1-2 tahun.
Apa yang dialami oleh AN bukanlah barang baru dalam proses pengambilan keputusan melakukan sunat perempuan atau Pemotongan dan Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP).
Langgengnya praktik sunat perempuan tersebut dibangun di atas pondasi mitos, tekanan sosial dan minimnya pemahaman tentang kekerasan seksual yang dialami oleh banyak orangtua yang mengambil keputusan untuk menyunatkan anak perempuannya.
Sejumlah narasumber yang diwawancarai Tirto menuturkan, mereka tidak mengetahui secara jelas alasan anak perempuannya harus disunat. Kebiasaan saja, demikian pengakuan mereka.
“Tradisi turun temurun. Saya manut saja nasihat orang tua harus gitu, kan, ya sudah manutlah. Tradisi Jawa, kan, kental sekali ya, harus nurut sama orang tua, kan, kental sekali,” ujar SP, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Boyolali, Jawa Tengah saat dihubungi Tirto melalui sambungan telepon, Minggu (18/6/2023).
Komnas Perempuan mendefinisikan praktik sunat perempuan sebagai seluruh bentuk pemotongan alat kelamin perempuan, baik sebagian atau keseluruhan atau dalam bentuk apa pun yang melukai alat kelamin perempuan, baik dengan alasan budaya atau lainnya.
Terdapat empat tipe sunat perempuan yang dikelompokkan Komnas Perempuan. Tipe 1 adalah eksisi dari preputium dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Tipe 2 yakni eksisi preputium dan klitoris bersamaan dengan eksisi total labia minora. Tipe 3 merujuk pada eksisi sebagian atau seluruh eksternal alat kelamin dengan membuka jahitan dari vagina (infibulasi).
Sementara itu, tipe terakhir yaitu tipe 4, yang termasuk berbagai macam prosedur lain yang melukai kelamin perempuan termasuk menusuk, menyayat, menggores, menggesek klitoris atau memasukkan tumbuh-tumbuhan ke dalam vagina untuk tujuan nonmedis.
Kajian kualitatif yang dilakukan Komnas Perempuan pada 2019 menyatakan, praktik P2GP ini merupakan praktik yang membahayakan perempuan dan merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Mitos yang Melandasi Praktik Sunat Perempuan
“Sempet dengar ada hubungannya dengan kalau misalnya perempuan tidak dikhitan katanya, katanya menurut mereka tuh libidonya akan lebih besar dibandingkan dengan yang dikhitan,” kata VW, seorang guru di Depok, Jawa Barat yang juga memutuskan untuk menyunatkan anak perempuannya.
Selain VW, setidaknya dua narasumber Tirto lain yang juga menyatakan alasan serupa ketika ditanya terkait pertimbangannya dalam memutuskan melakukan sunat perempuan.
Mitos terkait ketubuhan dan seksualitas perempuan sebelumnya sempat dijabarkan dalam penelitian Rachmah Ida (2018) dari Universitas Airlangga. Dalam studi berjudul “Prevalensi Praktik Sunat Perempuan dan Konstruksi Budaya Atas Seksualitas Perempuan di Madura,” Ida menyebut masih terdapat mitos bahwa perempuan yang disunat dapat memberikan kenikmatan seksual untuk pasangannya.
Padahal, Komnas Perempuan menyatakan hal tersebut hanyalah mitos yang tidak memiliki landasan ilmiah. Faktanya, perlukaan pada genital perempuan justru berpotensi menimbulkan risiko rusaknya saraf klitoris bahkan dapat berujung kematian.
“Mitos itu bertolak belakang dengan fakta, bahwa faktanya sunat perempuannya ini justru merusak saraf klitoris. Ini merusak saraf klitoris yang jika digores [risikonya] tidak sekadar lecet, tapi betul-betul kemudian muncrat si darah itu,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfa saat dihubungi Tirto, Sabtu (16/9/2023).
Maria mengatakan di Indonesia bahkan sudah pernah terjadi kasus bayi perempuan yang meninggal akibat perdarahan pasca dilakukan sunat perempuan.
“Penelitian di Komnas Perempuan pada 2000 ada 2 kasus yang ditemukan di Banten sama di Riau, itu anak meninggal setelah khitan perempuan. Jadi pagi jam 9 disunat, lalu terjadi perdarahan terus-menerus sampai meninggal malam harinya,” ujar Maria bercerita.
Namun demikian, dalam sejumlah komunitas, praktik sunat perempuan telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi di tengah masyarakat. Para narasumber juga menganggapnya sebagai bagian dari warisan nenek moyang yang perlu dilestarikan.
Kajian Rutgers pada 2018 menunjukkan, tingginya tekanan dari lingkungan sekitar dapat memengaruhi keputusan seseorang dalam melakukan kekerasan seksual. Hal tersebut seolah diamini oleh PT, perempuan yang bekerja sebagai buruh tani di Sragen.
“Waktu itu, ya ikut saja gitu, ikut aja, kata orang tua gitu, apa yang disarankan gitu, ya udah ikut aja gitu,” kata PT saat berbincang dengan Tirto, Minggu, 19 Juni 2023.
PT dan sejumlah orang tua lainnya seolah tak punya banyak pilihan untuk mempertanyakan pentingnya sunat terhadap anak perempuannya. Pun, suami mereka juga tak banyak berperan dalam pengambilan keputusan tersebut.
ZA misalnya, seorang guru dari Lamongan yang menyebut bahwa dalam pengambilan keputusan untuk melakukan proses pemotongan kelamin anak perempuannya, suaminya tak banyak terlibat diskusi.
“Kayaknya saya yang dominan untuk [memutuskan] mengkhitankan, tapi suami saya malah ikut-ikut saja,” kata ZA saat diwawancarai pada Minggu, 19 Juni 2023.
Masifnya tekanan sosial dari lingkungan dan minimnya dukungan dari pasangan untuk mencegah kekerasan seksual dapat memicu seseorang untuk melakukan tindakan tersebut tanpa mempertanyakan lebih lanjut. Selain itu, pertimbangan nilai adat dan atau nilai agama juga kerap kali mendominasi keputusan praktik sunat perempuan.
Penguatan Regulasi dan Peran Tenaga Kesehatan Penting
Sementara itu, K, seorang pekerja media yang berdomisili di Jakarta, menyebut dirinya menyesal setelah memutuskan menyunatkan anak perempuannya. K menuturkan, mulanya keputusan untuk menyunatkan anak perempuannya karena mengikuti pendapat mertua yang mengatakan sunat perempuan adalah bagian dari ajaran agama.
“Kalau dari mertuaku, kan, mungkin karena keislamannya dia itu. Jadi kayak sulit [untuk menolak praktik sunat perempuan],” kata K kepada Tirto, Senin (26/6/2023).
Namun seiring berjalannya waktu, ia kemudian menyesali keputusannya untuk menyunatkan anak perempuannya tersebut. Sebab, ia merasa tidak memiliki cukup waktu untuk mempertimbangkan keputusannya, mengingat proses sunat terhadap anak perempuannya itu dilakukan pasca melahirkan. Praktiknya dilangsungkan oleh pihak tenaga kesehatan, yang juga dipercaya keluarga untuk melakukan tindikan pada telinga bayi perempuan K.
Usai peristiwa yang terasa begitu cepat tersebut, perasaan bersalah terus menggerogoti K, terlebih saat mengetahui bahwa sunat perempuan merupakan bentuk kekerasan seksual. Ia pun mengaku tidak akan lagi menyarankan praktik serupa dilaksanakan kepada bayi perempuan lainnya.
“Karena baru-baru ngerti kalau itu bentuk kekerasan ke dia sih. Jadi kayak, oh sial, gue melakukan kekerasan ke anak gue,” kata K.
Seorang ibu rumah tangga dari Samarinda yang kami temui, bahkan membatalkan niatnya untuk menyunatkan anak perempuannya pasca mengetahui bahwa sunat perempuan termasuk kategori kekerasan seksual. Informasi tersebut ia dapatkan dari bidan desa yang ia datangi untuk membicarakan rencana sunat tersebut.
“Karena katanya di medis enggak boleh lagi, terus bidan sekarang juga enggak mau nyunat [anak perempuan],” kata CT kepada Tirto, Minggu, 19 Juni 2023.
Keputusan CT untuk membatalkan rencana sunat tersebut bukan hal mudah, mengingat praktik itu telah mengakar dalam tradisi keluarganya. Ia mengungkapkan, keputusannya tersebut sempat ditentang karena dinilai menolak mengamalkan ajaran agama.
Berbuah hasil, usaha CT untuk menyampaikan informasi terkait risiko khitan perempuan diterima keluarga besarnya. Keluarga besar CT akhirnya dapat menghormati keputusan perempuan berusia 24 tahun itu.
Kendati demikian, baik K maupun CT mengalami situasi minim dukungan dari pihak suami. Mereka mengatakan, setiap keputusan terkait sunat perempuan lebih banyak dibebankan kepada mereka sebagai ibu. Hal tersebut juga dialami oleh narasumber-narasumber lainnya.
Selain dukungan keluarga, tantangan juga datang dari pihak tenaga medis yang nampak belum satu suara dalam mencegah praktik sunat perempuan. K dan sejumlah orang tua lainnya bahkan menyunatkan anak perempuannya dengan bantuan serta saran dari tenaga medis.
Negara bukannya tak mengatur hal ini, tapi regulasi yang berkaitan dengan sunat perempuan di Indonesia masih ambigu. Sementara Permenkes Nomor 6 tahun 2014 melarang praktik sunat perempuan yang melukai alat kelamin perempuan.
Kendati begitu, alih-alih dengan tegas melarang dan menetapkan sanksi yang tegas bagi pelaku sunat perempuan, regulasi ini justru memberikan banyak keleluasaan kepada pemangku kebijakan setempat. Klasifikasi hukum yang lebih tegas diperlukan untuk melindungi perempuan dari praktik sunat yang merugikan.
“Memberi mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation),” demikian bunyi Pasal 2 Permenkes Nomor 6 tahun 2014 tersebut.
Terkait aturan yang terkesan permisif terhadap praktik sunat perempuan tersebut, Komnas Perempuan mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sudah pernah melarang praktik sunat perempuan pada 2006. Namun, hal tersebut tak berlangsung lama karena protes keras datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), sehingga pada 2010 aturan tersebut dicabut.
“Kebijakan dari Dirjen Kesehatan Masyarakat tahun 2006 berupa surat edaran tentang larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan. Kemudian SK Dirjen ini digugat oleh MUI. MUI meminta menteri kesehatan mencabut surat edaran itu pada 2010,” ujar Maria dari Komnas Perempuan.
Hal itu tentu menjadi perhatian para aktivis perempuan yang memprotes absennya regulasi pencegahan praktik sunat perempuan. Terhadap gejolak tersebut, Kemenkes kemudian merespons dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan. Tak butuh waktu lama, MUI kembali menolak Permenkes tersebut karena dianggap melarang tradisi yang berdekatan dengan Islam.
Alhasil, lahirlah Permenkes Nomor 6 tahun 2014 yang mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan, serta memberi keleluasaan bagi tokoh agama untuk menentukan boleh atau tidaknya praktik sunat perempuan.
Hal tersebut, menurut Komnas Perempuan patut dipertanyakan. Pasalnya, Kementerian Kesehatan menerbitkan aturan pelaksanaan medikalisasi sunat perempuan dengan pertimbangan yang tidak berkaitan dengan aspek kesehatan.
“Nah ini yang kemudian dipertanyakan lagi kan, dipertanyakan tiba-tiba kok ada majelis syara’ [dalam Permenkes Nomor 6 tahun 2014]. Dasarnya itu apa gitu, kok aneh banget peraturan menteri, tetapi rujukannya bukan konstitusional,” kata Maria.
Penulis: Fatimatuz Zahra & Fina Nailur Rohmah
Editor: Abdul Aziz