Menuju konten utama

Mengenal Tradisi Manten Tebu yang Unik dan Sakral

Simak prosesi tradisi manten tebu Tulungagung yang merupakan ritual sakral sebagai simbol kesuburan, rasa syukur panen, serta harmoni manusia dengan alam.

Mengenal Tradisi Manten Tebu yang Unik dan Sakral
rombongan pengantin tebu diarak menuju ptp nusantara 9 pabrik gula tasikmadoe, karanganyar, jawa tengah, jumat (13/5). acara tahunan manten tebu yang dilaksanakan sejak didirikannya pabrik gula tasikmadoe oleh mangkunegara iv itu menandai awal musim giling tebu. antara foto/maulana surya/aww/16.

tirto.id - Manten tebu merupakan salah satu tradisi unik yang masih lestari di Indonesia, khususnya di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Ritual ini juga dikenal sebagai "pengantin tebu" karena melibatkan sepasang tebu yang dihias layaknya pengantin.

Tradisi manten tebu dilakukan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan keberkahan selama masa panen tebu.

Pengantin tebu juga merefleksikan kearifan lokal masyarakat agraris yang menghormati alam. Meski telah berusia ratusan tahun, manten tebu Tulungagung tetap lestari dan menjadi daya tarik budaya.

Namun, sebenarnya apa itu ritual manten tebu ini, dan bagaimana proses singkat pengantin tebu? Simak ulasannya berikut ini.

Tradisi temanten tebu di Blitar

Seniman dan tokoh adat mengikuti prosesi adat temanten tebu di Pabrik Gula PT. RMI (Rejoso Manis Indo) Blitar, Jawa Timur, Senin (15/5/2023). ANTARA FOTO/Irfan Anshori/tom

Apa itu Tradisi Manten Tebu?

Manten tebu atau pengantin tebu adalah upacara adat yang memadukan unsur sakral, seni, dan filosofi kehidupan agraris.

Dalam bahasa Jawa, manten berarti pengantin, sementara tebu merujuk pada tanaman penghasil gula.

Tradisi manten tebu melambangkan pernikahan simbolis antara dua batang tebu yang dipilih sebagai perwakilan leluhur dan alam.

Adapun sejarah manten tebu Tulungagung tercatat sejak era kolonial Belanda abad ke-19, ketika Tulungagung menjadi sentra perkebunan tebu.

Menurut penelitian Suhartono (2017) dalam jurnal Antropologi Agraria, petani Jawa mengadaptasi ritual Hindu-Budhha untuk memohon kesuburan, yang kemudian berevolusi menjadi manten tebu Tulungagung.

Dalam arsip Dinas Kebudayaan Tulungagung (2018) juga disebutkan bahwa ritual ini awalnya dipraktikkan oleh buruh pabrik gula dan petani sebagai bentuk permohonan kepada Dewi Sri, Dewi Kesuburan dalam kepercayaan Jawa.

Pada masa itu, tebu menjadi komoditas utama pendapatan masyarakat, sehingga ritual manten tebu dianggap sebagai upaya menjaga keseimbangan ekosistem pertanian.

Memasuki masa kemerdekaan, tradisi manten tebu sempat meredup karena tekanan ekonomi dan modernisasi.

Namun, sejak tahun 2000-an, pemerintah setempat dan komunitas budaya mulai menghidupkan kembali tradisi manten tebu sebagai bagian dari identitas daerah.

Dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program pelestarian Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 2015 semakin mengukuhkan posisinya.

Dalam perkembangannya, pengantin tebu tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga menjadi media transmisi nilai-nilai kebersamaan dan pelestarian lingkungan.

Tradisi manten tebu ini diwariskan secara turun-temurun, dengan sentuhan kreativitas seperti penggunaan kain lurik dan hiasan bunga sebagai simbol kemakmuran.

Kini, manten tebu tidak hanya dilaksanakan di area pertanian, tetapi juga dijadikan atraksi budaya dalam festival tahunan Tulungagung. Perpaduan antara unsur sakral dan hiburan ini menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara.

MANTEN TEBU TASIKMADOE

rombongan pengantin tebu diarak menuju ptp nusantara 9 pabrik gula tasikmadoe, karanganyar, jawa tengah, jumat (13/5). acara tahunan manten tebu yang dilaksanakan sejak didirikannya pabrik gula tasikmadoe oleh mangkunegara iv itu menandai awal musim giling tebu. antara foto/maulana surya/aww/16.

Tujuan Tradisi Manten Tebu

Tradisi manten tebu tidak sekadar seremoni, melainkan memiliki tujuan filosofis yang mendalam. Apakah tujuan upacara adat manten tebu yang utama? Pertama, ritual ini bertujuan memohon perlindungan dari malapetaka dan kegagalan panen. Kedua, sebagai ekspresi syukur atas hasil bumi yang melimpah.

Menurut penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020), manten tebu juga menjadi media edukasi tentang pentingnya menjaga kelestarian alam.

Dalam konteks sosial, pengantin tebu memperkuat solidaritas antarwarga karena melibatkan kerja sama mulai dari persiapan hingga puncak acara.

Hal ini sejalan dengan penelitian Kemdikbud (2019) yang menyatakan bahwa tradisi semacam ini mampu mengurangi potensi konflik horizontal di pedesaan.

Tradisi manten tebu juga menjadi pengingat bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam, sebagaimana diwariskan leluhur.

Tak hanya itu, pengantin tebu juga mengandung makna spiritual tentang siklus kehidupan, mulai dari kelahiran, pernikahan, dan kematian.

Prosesi "pernikahan" tebu melambangkan regenerasi tanaman, sementara penanamannya kembali adalah simbol kebangkitan. Lantas, bagaimana proses singkat pengantin tebu?

Pemain Gamelan

pemain gamelan. tirto/danna c

Bagaimana Proses Pelaksanaan Tradisi Manten Tebu?

Proses singkat pengantin tebu terbagi menjadi tiga tahap utama, yaitu persiapan, upacara, dan penutupan.

Pertama, kedua batang tebu terbaik dipilih sebagai calon pengantin. Tebu jantan biasanya berukuran lebih tinggi dari pengantin tebu betina. Penyatuan keduanya mencerminkan keseimbangan alam.

Selain itu, terdapat pembedaan antara tebu jantan dan betina yang diyakini masyarakat. Tebu pria diberi nama Raden Bagus Rosan, sementara tebu wanita disebut Dyah Ayu Roromanis.

Nama-nama tersebut mencerminkan nilai-nilai luhur seperti kemurnian, kekuatan, dan manisnya hasil panen. Pemilihan tebu didasarkan pada ciri fisik: batang yang tegak dan kuat untuk jantan, serta lentur dan ramping untuk betina.

Untuk mengiringi prosesi, dipilih pula sepasang perjaka dan perawan desa sebagai peraga pengantin manusia. Mereka akan ikut dalam arak-arakan bersama pengantin tebu, dari kebun menuju pabrik gula. Kehadiran manusia dalam prosesi ini memperkuat dimensi sakral sekaligus menegaskan pentingnya kolaborasi antara petani dan pengelola pabrik gula.

Tahap kedua adalah prosesi manten tebu yang dipimpin oleh sesepuh desa. Menurut catatan Dinas Kebudayaan Tulungagung (2019), pengantin tebu diarak keliling desa diiringi gamelan dan tarian tradisional, lalu ditempatkan di area persawahan atau pabrik gula.

Ritual dilanjutkan dengan pembacaan doa dan penyajian sesajen seperti tumpeng, ayam ingkung, jenang merah-putih, jajanan pasar, dan kembang tujuh rupa. Adapun tumpeng nasi kuning melambangkan gunung yang memberi kehidupan, sedangkan jajanan pasar adalah simbol keragaman rezeki.

Selain itu, penggunaan bunga melati dan kenanga dalam hiasan tebu juga memiliki makna khusus. Bunga melati melambangkan kesederhanaan, sementara kenanga diyakini mengusir roh jahat.

Tahap akhir melibatkan penanaman kembali tebu sebagai simbol regenerasi kehidupan. Proses ini diyakini membawa keberkahan untuk musim tanam berikutnya.

Manten tebu Tulungagung diakhiri dengan kenduri, di mana warga bersama-sama menikmati hidangan sebagai bentuk kebersamaan. Makanan yang disajikan harus habis sebagai simbol tidak ada yang terbuang percuma. Prosesi ini mencerminkan nilai gotong royong yang menjadi inti dari tradisi manten tebu.

Nasi kuning

Nasi kuning. foto/istockphoto

Manten tebu adalah bukti nyata kearifan lokal masyarakat Tulungagung yang menjunjung harmoni dengan alam. Dari sejarah manten tebu yang berakar pada era kolonial hingga transformasinya sebagai ikon budaya modern, tradisi ini terus mengajarkan pentingnya rasa syukur dan gotong royong.

Tak berhenti di situ, pelestarian tradisi manten tebu juga perlu melibatkan peran generasi muda dalam proses kreatif dan edukatif. Keterlibatan anak-anak dan remaja dalam membuat hiasan tebu, menari, atau memainkan gamelan menjadi cara efektif untuk menanamkan kecintaan terhadap budaya leluhur sejak dini.

Selain itu, manten tebu juga muncul dalam sejumlah dokumenter dan penelitian akademik, memperluas narasinya ke khalayak yang lebih luas. Salah satu contoh terbaru adalah film Pabrik Gula (2024) karya sutradara Yosep Anggi Noen, yang menyoroti dinamika buruh dan sejarah panjang industri gula di Jawa.

Meski tidak secara langsung menampilkan prosesi manten tebu, film ini membuka ruang refleksi tentang hubungan manusia, alam, dan komoditas tebu yang sarat nilai budaya. Tradisi manten tebu menjadi kontras yang menarik terhadap narasi industrialisasi dalam film, menunjukkan sisi spiritual dan kultural yang selama ini jarang mendapat sorotan di layar lebar.

Dengan demikian, baik melalui media akademik maupun sinematik, tradisi ini terus mendapatkan panggung baru untuk dikenali dan diapresiasi lebih luas.

Baca juga artikel terkait TRADISI JAWA atau tulisan lainnya dari Robiatul Kamelia

tirto.id - Edusains
Kontributor: Robiatul Kamelia
Penulis: Robiatul Kamelia
Editor: Robiatul Kamelia & Lucia Dianawuri