tirto.id - Pernikahan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono pada 10 Desember 2022 akan mengusung adat Jawa Tengah dan Yogyakarta, baik dari rangakaian acara hingga pakaian mempelai.
Ini termasuk jenis riasan untuk mempelai wanita, yaitu Erina Gudono yang rencananya akan mengenakan Paes Ageng Kebesaran. Riasan Paes Ageng tersebut biasa dikenakan oleh para putri Keraton Jogja dalam melangsungkan acara pernikahan.
Meskipun identik digunakan untuk kalangan bangsawan, Paes Ageng Kebesaran ini sudah lumrah dipakai masyarakat umum sejak tahun 60-an.
Kini, Paes Ageng menjadi salah satu jenis riasan pengantin Jawa yang populer dalam berbagai upacara pernikahan tradisional.
Apa Itu Paes Ageng?
Kata 'paes' sendiri berasal dari bahasa Jawa yang artinya membuat indah. Riasan ini diterapkan pada dahi, alis, rambut, dan mata pengantin wanita.
Salah satu ciri khas yang paling umum dari riasan Paes Ageng adalah penyematan rerenggan atau lengkung-lengkung pada dahi. Ini dilakukan untuk membersihkan rambut halus dari dahi, mempercantik bentuk wajah, hingga mata.
Perias profesional yang berbasis di Yogyakarta, Tri Widarti mengungkapkan bahwa riasan Paes Ageng ini tergolong rumit.
"Hampir semua perias mengakui bahwa gaya tata rias `Paes Ageng` ini memang rumit," kata Tri seperti yang dikutip dari Antara.
Selain dikhususkan untuk mempercantik si calon mempelai, riasan Paes Ageng ini juga mengandung makna filosofis yang kuat.
Ini dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang meyakini bahwa lambang tata rias pengantin tidak boleh sembarangan karena memengaruhi kehidupan kedua mempelai di masa depan.
Mengenal Paes Ageng Tradisional Jogja
Hampir setiap kebudayaan Jawa memiliki ciri khas dari riasan Paes Agengnya masing-masing, termasuk Paes Ageng khas Jogja yang akan dikenakan Erina di pernikahannya mendatang.
Melansir Indonesia.go.id, riasan Paes Ageng Yogyakarta yang masih dilestarikan hingga saat ini adalah Paes Ageng Jangan Menir, Kanigaran, Yogya Puteri, Pura Pakualaman, dan Kebesaran atau Paes Ageng Keprabon.
Riasan pengantin Paes Ageng Yogyakarta, kurang lebih mirip dengan Paes Ageng pengantin Solo. Namun, hal yang membedakan dari keduanya adalah penggunaan aksesoris dan bentuk pola riasnya.
Paes Ageng tradisional Jogja umumnya memiliki pola riasan di tengah dahi atau penunggul (gajahan) yang mengadaptasi bentuk potongan daun sirih. Bentuknya melengkung dengan ujung yang sedikit runcing.
Riasan Paes Ageng Jogja juga dilengkapi dengan penitis, yaitu sebuah pola rias yang diletakkan di atas godheg atau riasan lancip seperti ujung mata.
Penitis pengantin Jogja memiliki bentuk seperti potongan daun sirih yang dimensinya lebih kecil dari penunggul dengan ujung runcing sedikit melengkung.
Selanjutnya, riasan Paes Ageng akan dilengkapi dengan pengapit, yaitu pola riasan yang berupa lengkungan kecil yang mengapit penunggul.
Selanjutnya, setelah pembuatan riasan selesai, sisi kiri dan kanan Paes Ageng akan diberi sentuhan terakhir berupa prada atau serbuk emas. Penggunaan serbuk emas ini juga yang membedakan Paes Ageng Jogja dengan daerah lainnya.
Makna Filosofis Paes Ageng
Setiap pola yang diciptakan dalam Paes Ageng memiliki makna yang mendalam bagi kepercayaan masyarakat Jawa. Makna filosofis riasan ini menjadi salah satu doa serta pedoman bagi kedua mempelai dalam menjalankan rumah tangga di kemudian hari.
Sebagai contoh, pola penunggul atau gajahan dalam Paes Ageng memiliki makna kesempurnaan atau hal-hal baik. Diharapkan, kedua mempelai dapat menjadi pasangan yang sempurna, saling menghormati, serta wanita selalu ditinggikan derajatnya.
Kemudian ada pola pengapit, yang juga disebut 'pengontrol gajahan/penunggul'. Pola ini bermakna agar kedua mempelai selalu memiliki jalan yang lurus serta dapat mengontrol bahtera rumah tangga agar selalu aman dan damai.
Lalu, godheg adalah pola yang menggambarkan introspeksi diri dalam berumah tangga. Harapannya kedua mempelai tidak menilai dan memutuskan sesuatu secara gegabah atau terburu-buru.
Penitis juga memiliki makna filosofis yang penting. Pola ini melambangkan bahwa segala sesuatu harus ada tujuan dan tepat sasaran, termasuk tujuan berumah tangga.
Editor: Yantina Debora