tirto.id - Ruwahan adalah salah satu salah satu cara masyarakat Jawa menghormati leluhurnya yang telah meninggal. Jika ditinjau dari segi bahasa, ruwahan artinya mengenang para arwah. Kata ini merupakan penggabungan kata dasar "ruwah" yang artiya arwah, ditambah akhiran "an", sehingga kemudian memiliki makna "mengenang para arwah".
Bagi masyarakat yang ingin tahu apa itu ruwahan, menurut Poerwadarminta (1939: 534), ruwah adalah bulan kedelapan (dalam kalender Jawa), momentum ketika orang-orang mengirim doa di kuburan. Ruwahan adalah tradisi masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun-temurun. Di dalamnya, ada penghormatan kepada arwah leluhur, sekaligus permohonan doa pengampunan dan keselamatan.
Apa yang Dimaksud dengan Ruwahan?
Secara konsep, ruwahan berasal dari peninggalan ajaran agama Hindu-Buddha. Pada masa awal, ruwahan dikenal sebagai upacara sradha, atau kemudian dikenal dengan istilah nyadran. Kata "sradha" dalam bahasa Sansekerta berarti keyakinan atau kepercayaan. Dalam upacara ini, masyarakat melakukan doa kepada roh nenek moyang. Untuk itu, terdapat sajian yang didermakan kepada para dewa.
Masuknya Islam ke Jawa menggeser upacara sradha ini. Muncullah tradisi Ruwahan yang dilakukan pada bulan Ruwah dalam kalender Jawa atau bulan Syaban dalam kalender Hijriah. Dalam bulan ini, terdapat malam nisfu syaban, malam yang diyakini sebagai malam ketika seluruh amal makhluk dalam setahun diangkat kepada Allah. Pada malam ini pula, Allah memberikan ampunan kepada semua makhluk.
Jika ada yang bertanya ruwah bulan apa, Ruwah dalam kalender Jawa merupakan bulan kedelapan yang diapit oleh bulan Rejeb (Rajab dalam kalender Hijriah) dan Poso (Ramadhan dalam kalender Hijriah). Ruwah adalah kata serapan dari bahasa Arab "arwah". Pada bulan inilah, masyarakat Jawa yang sudah terpengaruh Islam, mengenang para leluhur yang sudah meninggal.
Apa Tujuan Tradisi Ruwahan di Jawa?
Seiring perkembangan zaman, tujuan ruwahan mengalami pergeseran. Sebelum Islam masuk ke Jawa, ruwahan bertujuan sebagai sarana orang-orang yang masih hidup mengagungkan leluhur. Pengagungan ini diyakini merupakan syarat agar arwah leluhur menjaga penduduk dari marabahaya. Namun, setelah Islam masuk, ruwahan mengalami pergeseran tujuan.
Ditambahkannya nilai-nilai Islam dalam ruwahan membuat tradisi ini berubah menjadi sarana untuk mengirimkan doa kepada para leluhur. Selain itu, ruwahan juga dapat dijadikan sebagai pengingat para pelakunya, bahwa pada akhirnya semua yang ada di muka bumi akan mati atau berpulang kepada Allah. Ini sesuai dengan akar penamaan tradisi tersebut, yaitu ruwah (arwah).
Sejarah Tradisi Ruwahan di Indonesia
Apakah ada dasar perayaan ruwahan dalam Islam? Terdapat riwayat "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakannya" (H.R. Muslim 1631).
Selain hadits tersebut, Rasulullah juga menganjurkan umatnya untuk berziarah kubur agar mengingat kematian dan mendoakan ahli kubur, "Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur. Sekarang, berziarahlah karena itu dapat mengingatkan kalian pada akhirat." (H.R.Muslim No.977).
Secara spesifik, tidak ada riwayat yang menyebutkan "ruwahan". Namun, kedua hadits di atas menunjukkan adanya amalan berupa ziarah ke makam dan mendoakan orang yang telah meninggal.
Ruwahan merupakan salah satu bentuk akulturasi antara budaya Jawa yang terpengaruh Hindu-Buddha dengan Islam. Ini bermula dari metode dakwah Walisongo. Dalam menyebarkan Islam, para wali tidak serta-merta menghapus budaya yang sudah mengakar kuat pada masyarakat, tetapi meleburkannya dengan menyisipkan ajaran Islam.
Dengan menggeser waktu upacara doa untuk leluhur pada bulan Ruwah (Syaban), Wali Songo memperkenalkan bulan-bulan Islam kepada masyarakat Jawa. Ruwahan secara konsep juga dapat digunakan sebagai media bagi masyarakat untuk membersihkan diri menyambut Ramadhan. Di dalamnya, terdapat pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa.
Pada praktiknya, ruwahan yang berkembang dari zaman ke zaman, dilakukan dengan cara beragam di berbagai daerah.
Makanan yang Biasanya Tersedia di Ruwahan
Makanan yang biasanya tersedia di Ruwahan merupakan simbol rasa syukur dan bentuk sedekah. Di samping itu, makanan yang disajikan dalam acara ruwahan juga memiliki makna filosofisnya sendiri. Berikut ini beberapa makanan yang biasa disajikan dalam acara ruwahan beserta makna filosofisnya.
1. Ketan
Ketan merupakan salah satu jenis beras yang memiliki struktur yang lengket. Ketan dalam cara ruwahan sering disimbolkan sebagai kedekatan antar manusia. Nama "ketan" di dalam masyarakat jawa juga sering dianggap sebagai makanan yang namanya berasal dari istilah "kraketan", yang artinya lengket, atau ikatannya kuat.
2. Apem
Apem adalah kue yang berbentuk bulat seperti serabi, namun memiliki bentuk yang lebih tebal dengan rasa yang manis. Apem dimaknai sebagai simbol maaf dan kebulatan tekad. Hal ini lebih jauh diharapkan bahwa manusia mampu saling memaafkan kesalahan satu sama lain dan selalu mempunyai tekad untuk memohon perlindungan pada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Kolak
Meskipun kolak lebih sering kita jumpai pada bulan Ramadhan saat berbuka puasa, kolak juga menjadi salah satu makanan yang disajikan dalam acara ruwahan. Makanan tradisional ini terbuat dari bahan sederhana yaitu pisang dan ubi jalar. Kolak memiliki makna filosofis sebagai simbol untuk senantiasa mengingat Sang Pencipta. Sesuai asal kata nama kolak dalam bahasa Arab yaitu "khalaqa" yang artinya penciptaan, atau sesuatu yang merujuk pada Sang Pencipta.
Penulis: Auvry Abeyasa
Editor: Fitra Firdaus