tirto.id - Sungkem atau sungkeman alias mencium kaki/dengkul seseorang yang dihormati bukan hal asing bagi masyarakat Jawa dan Sunda.
Tradisi ini biasanya dilakukan dalam upacara pernikahan dan Idulfitri. Sungkeman lazim dilakukan oleh anak kepada orang tuanya atau seseorang yang dituakan dalam keluarga, dengan tujuan memohon maaf atau meminta doa restu.
Secara historis tradisi ini maknanya hampir seragam. Salah satu contoh adalah tradisi sungkeman di keraton-keraton trah Mataram Islam. Di Keraton Yogyakarta, misalnya, sungkeman disebut sebagai ngabekten.
Menurut Agus Iswanto dalam "Tradisi Ngabekten: Artikulasi Harmoni Ajaran Islam dan Budaya Jawa di Keraton Yogyakarta" (2019), ngabekten dari segi kebahasaan berasal dari kata dasar bekti yang artinya "bakti" dalam bahasa Indonesia
Tradisi dalam kerajaan Islam Jawa ini mungkin sekali rembesan dari tata perilaku yang sudah eksis dari masa sebelumnya yang disebut dalam sejumlah sumber Jawa Kuno.
Kultus Kaki Raja
Penghormatan terhadap kaki raja sudah ada sejak masa awal berkembangnya kebudayaan Hindu-Buddha di Pulau Jawa. Catatan tertua soal ini muncul pada Prasasti Ciaruteun di Bogor yang diperkirakan berasal dari abad ke-5 M.
Menurut Hariani Santiko dalam "The Religion of King Purnavarman of Tarumanagara" (2001), prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Pūrṇawarman dari Kerajaan Tārumanagara itu menyinggung kaki sang raja yang diibaratkan sebagai kaki Dewa Wisnu.
Sumber lain yang seusia dengan Prasasti Ciaruteun dengan pola yang mirip muncul di Kepulauan Riau, tepatnya pada Prasasti Tanjung Pasir dari Kabupaten Karimun.
Prasasti yang ditulis dengan huruf Nāgari dan bahasa Sansekerta itu, menurut I. Caldwell dan A. Hazlewood dalam "The Holy Footprints of the Venerable Gautama: A New Translation of the Pasir Panjang Inscription" berisi kalimat mahāyānikagaudapaṇḍitaśrīgautamaśrīpādā[ḥ]--"kaki Gautama yang suci, pendeta Mahayana dari Gaudi (Bangladesh)".
Sebagaimana Prasasti Ciaruteun, Prasasti Tanjung Pasir yang juga menyinggung soal kaki menampilkan visualisasi telapak kaki. Bedanya, kaki yang digambarkan sangat besar, karena bidang penulisannya berada di tebing tambang granit.
Selain Hindu, dari prasasti ini bisa dipahami bahwa kultus terhadap kaki juga muncul di kalangan penganut agama Buddha masa awal sejarah Nusantara. Terlebih penghormatan terhadap kaki tidak hanya dialami oleh raja, tapi juga di kalangan agamawan.
Pengultusan terhadap kaki raja di Jawa pada masa Hindu-Buddha tidak stagnan. Mula-mula pengkultusan ini bagian dari pengejawantahan seorang raja sebagai perwujudan Wisnu yang dipercaya telah menaklukan tiga dunia melalui tiga langkah kaki--trivikrama. Konsep ini mulai bergeser ketika kerajaan-kerajaan Jawa Kuno berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Pembeda konsep tersebut bisa dijumpai pada keterangan cerita Kakawin Arjunawiwaha yang dikarang oleh Pu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga (1019-1042 M), yang bisa ditelusuri dari karya transliterasi Stuart Robson dalam Arjunawiwaha: The Marriage of Arjuna of Mpu Kanwa (1989).
Menurut pembacaan Robson, tokoh Arjuna secara konkret mencontohkan ritual pengultusan kaki dengan mencium debu alas kaki--di dalam teks disebut sebagai i lĕbū ni paduka--Dewa Indra sebagai bentuk pengabdian dan permohonan maaf.
Politisasi Kaki
Istilah yang sama secara gamblang juga muncul dalam dekrit-dekrit kerajaan di Jawa Timur yang sifatnya lebih politis. Keterangan itu bisa dilacak pada hasil pembacaan Boechari dan A.S. Wibowo dalam Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I (1985).
Mereka menyebut kasus kultus kaki raja pada Prasasti Horṛn--kemungkinan berasal dari abad ke-11 M--dan Prasasti Mula Malurung (1255 M) pada masa Kerajaan Singhasari.
Dalam konteks artefaktual, penggambaran pemujaan kaki juga muncul di relief Candi Panataran di Blitar, Jawa Timur. Di candi ini, menurut Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit (2014), memunculkan adegan Candra Kirana yang sedang bersimpuh di depan lutut Raden Inu Kertapati. Pasangan ini kemudian terpisah karena berasal dari dua kerajaan yang berkonflik.
Pengultusan kaki pada masa berkembangnya kerajaan di Jawa Timur dilakukan dari manusia kepada dewa, dari rakyat kepada rajanya, dan dari istri kepada suami. Konsep ini menunjukkan bahwa pihak yang lebih inferior yang melakukan ritual penciuman kaki.
Berkaca pada pendapat Timothy Behrend dalam "Kraton and Cosmos in Traditional Java" (1989) yang melihat raja-raja Mataram Islam sebagai Dewa Indra yang berdiam di Junggring Saloka atau Endraloka, maka tradisi pengultusan kaki raja dari masa Hindu-Buddha ke masa Islam terjadi melalui media ideologi Dewaraja.
Ritual ini berlanjut secara utuh, mengingat tidak banyak makna yang berubah dari masa Hindu-Buddha ke masa berdirinya Keraton Yogyakarta yang bercorak Islam.
Sama dengan di masa Hindu-Buddha, ngabekten di Keraton Yogyakarta pun dilakukan pada hari raya saat raja bertemu bawahannya untuk bermaaf-maafan sekaligus melakukan seba (pemberian tanda setia).
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi