Menuju konten utama
Transportasi Publik

Menimbang Tarif Angkutan Umum Sesuai Domisili & Status Ekonomi

Wacana penerapan tarif angkutan umum sesuai status ekonomi dan KTP domisili penumpang dinilai sulit diimplementasikan dan kontraproduktif.

Menimbang Tarif Angkutan Umum Sesuai Domisili & Status Ekonomi
Bus listrik melintas di Air Mancur Jl MH. Thamrin, Jakarta, Selasa (27/12/2022).ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.

tirto.id - Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta berencana akan menerapkan sistem tiket transportasi berbasis akun (Account Based Ticketing/ABT) yang terintegrasi dengan data KTP dan status ekonomi penumpang. Penerapan sistem ini akan dilakukan pada tiga moda transportasi umum di Jakarta seperti MRT, LRT, dan Transjakarta.

Sistem ABT sendiri sudah rilis di Playstore melalui aplikasi JakLingko. Nantinya, penumpang dapat melakukan transaksi perjalanan hanya dengan menggunakan QR Code.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo mengatakan, sistem ini baru diuji coba secara internal oleh Dinas Perhubungan dan belum diterapkan secara massal. Penyesuaian tarif berdasarkan pada status ekonomi dan sesuai KTP domisili penumpang juga belum akan diterapkan dalam waktu dekat.

“Jadi masyarakat yang nantinya akan melakukan perjalanan bisa dengan QR Code, kemudian bisa tap di stasiun, halte. QR-nya sudah ada di aplikasi sehingga bisa memudahkan masyarakat bermobilitas,” ujar Syafrin dalam keterangannya, dikutip Jumat (29/9/2023).

Syafrin mengatakan, salah satu fungsi penggunaan sistem ABT adalah membantu calon penumpang untuk memonitor saldo mereka. Selain itu, saldo tetap tersedia meski kartu penumpang hilang.

“Dengan ABT, maka kartunya hilang saldonya tersimpan di aplikasi. Sehingga ketika dia mau mengganti kartu cukup memasukan kembali di person lagi untuk kartunya. Dan otomatis akan kembali saldonya. Jadi tidak akan ada lagi yang kehilangan kartu dan hilang saldonya,” jelas Syafrin.

Sistem ABT akan mengintegrasikan sistem pembayaran tiket antarmoda transportasi yang dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta meliputi LRT, MRT, dan Transjakarta. Hal itu terintegrasi satu sistem melalui aplikasi JakLingko.

Melalui kebijakan itu, Pemprov DKI berharap transportasi umum menjadi tepat sasaran. Pemberlakuan sistem ini juga akan berdampak terhadap konsep subsidi yang tepat sasaran.

“Setelah kita mengumpulkan data-data, profiling pengguna. Kita bisa mengetahui apakah yang menggunakan angkutan umum massal itu domisili Jakarta atau Bodetabek. Sekaligus penghitungan PSO (Public Service Obligation) yang lebih efisien, sehingga nanti menjadi lebih tepat sasaran untuk PSO-nya,” urai Syafrin.

Pakar transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Revy Petragradia menilai, sistem ABT ini menjadi upaya Pemprov DKI agar PSO atau subsidi tarif tepat guna. Karena selama ini beban PSO angkutan umum di Jakarta terbilang cukup tinggi.

“Apabila dengan pemberlakuan UU baru terkait Jakarta bukan Ibu Kota Negara lagi ada potensi adanya penurunan PAD (Pajak Asli Daerah) sehingga ditakutkan subsidi ini akan membebani Pemprov DKI," ujarnya kepada Tirto, Jumat (29/9/2023).

Untuk saat ini, baru PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) yang berencana mengubah tarif perjalanan yang besarannya disesuaikan dengan status ekonomi dan KTP domisili penumpang. Nantinya, tarif untuk warga domisili DKI Jakarta dan non-Jakarta akan berbeda.

“Untuk ABT, program ini dalam tahap uji coba," ujar Kepala Departemen Humas dan CSR Transjakarta, Wibowo, saat dikonfirmasi Tirto, Jumat (29/9/2023).

Meski dalam tahap uji coba, tiket Transjakarta belum ada perubahan sampai saat ini. Konsumen masih menggunakan tarif sebesar Rp3.500. Tarif baru akan berubah setelah ada keputusan final dari Pemprov DKI Jakarta.

“Tarif untuk saat ini masih sama. Bila ada perubahan itu menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta," katanya.

MRT JAKARTA DITETAPKAN SEBAGAI OBJEK VITAL TRANSPORTASI

Rangkaian MRT melintasi Stasiun Blok M, Jakarta, Sabtu (18/2/2023). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

Sulit Diimplementasikan & Kontraproduktif

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah justru menilai, wacana penerapan tarif angkutan umum sesuai status ekonomi dan KTP domisili penumpang sulit diimplementasikan dan kontraproduktif. Hal ini lantaran mekanisme pendataan penumpang yang susah dicapai.

“Saya rasa kebijakan ini bakal tidak efektif karena sulit juga untuk mengimplementasikan karena kan Jakarta ini kota terbuka, di mana orang dari mana saja bisa masuk," ujarnya kepada Tirto.

Menurut Trubus, kebijakan penyesuaian tarif berdasarkan status ekonomi akan membuat penumpang meninggalkan transportasi umum, khususnya Transjakarta. Ketimpangan tarif berdasarkan penilaian ekonomi nantinya akan menyingkirkan penumpang yang mendapatkan tarif tinggi.

“Akan rumit dan kontraproduktif, malah orang enggak mau naik transportasi umum,” jelasnya.

Hal senada diungkapkan Revy Petragradia dari MTI. Menurutnya harus ada kejelasan mengenai formulasi pembeda tarif dan status ekonomi seperti apa. Jangan sampai akhirnya kebijakan ini menjadi kontraproduktif dan menyebabkan orang akan menggunakan motor atau kendaraan pribadi kembali.

“Dalam waktu dekat, DKI akan melakukan uji coba, kita lihat saja sejauh mana efektifitasnya. Selain itu harusnya tarif yang diberlakukan tanpa subsidi, disesuaikan juga dengan studi ATP WTP-nya, wajar tidak," kata Refy.

PENYESUAIAN OPERASIONAL TRANSJAKARTA

Sejumlah bus Transjakarta melintasi Halte Harmoni di Jakarta, Senin (10/1/2022). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/nym.

Tak Seharusnya Dibedakan

Revy melanjutkan yang menjadi permasalahan adalah kebijakan angkutan umum itu tidak perlu membeda-bedakan penggunanya. Karena hal ini merupakan kewajiban pemerintah dalam memberikan layanan angkutan umum kepada masyarakat.

“Yang harus didorong adalah kreatifitas BUMD pengelola MRT, LRT dan TransJakarta untuk menggali potensi non fare box agar revenue mereka bisa lebih cost recovery secara bisnis,” kata Revy.

Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang menuturkan, yang namanya transportasi umum sudah seharusnya semua sama dan tidak ada yang dibeda-bedakan. Terkecuali memang ada kelas khusus yang tarifnya mahal.

“Tapi pasti dapat tempat duduk, kalau ini beda lagi bahasannya," ujar Deddy kepada Tirto, Jumat (29/9/2023).

Deddy mengatakan, wacana penerapan tarif angkutan umum sesuai status ekonomi dan KTP domisili tidak tepat diterapkan di sektor transportasi. Terlebih angkutan umum memang harus murah dan perlu dapat subsidi dengan skema PSO.

"Dengan tarif murah supaya semua masyarakat mau menggunakan angkutan umum dan shifting dari kendaraan pribadi berhasil," ujarnya.

Karena itu, kata Deddy, masyarakat mau berdesakan di angkutan umum karena memang tarifnya murah. Sementara masyarakat yang mampu secara ekonomis sebaliknya apakah mau gunakan angkutan umum tanpa subsidi PSO.

Baca juga artikel terkait TRANSPORTASI PUBLIK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz