tirto.id - Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah menggodok revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Salah satunya poinnya adalah masalah penempatan data center.
Dalam PP 71/2019 tersebut, pemerintah masih membuka celah kepada penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat untuk menempatkan datanya di luar negeri. Dengan catatan, PSE privat wajib menyediakan akses untuk kebutuhan pengawasan dan penegakan hukum. Jika tidak patuh, maka akan diputus dan tidak boleh beroperasi di Indonesia lagi.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budie Arie Setiadi, mengatakan lewat revisi PP tersebut pemerintah akan menutup celah bagi PSE untuk menyimpan data elektroniknya di luar negeri. Ini berlaku semua baik PSE lingkup publik maupun privat.
“[Regulasi ini] yang membuat semua global player ini mau meletakkan datanya di sana [dalam negeri],” ucap Budi Arie, dalam Topping Off Jakarta Selatan Timur 1 (JST1) Bersama Digital Data Center (BDDC) di Jakarta Timur, Selasa (21/11/2023).
Jika menilik beberapa aturan data center di beberapa negara, sebagian besar menerapkan aturan yang ketat dalam penyimpanan data. Bahkan melarang data-data berisiko tinggi disimpan di luar negeri.
Cina misalnya, The People's Bank of China (PBoC) melarang lembaga keuangan menyimpan atau memproses data individu terkait dengan identitas, akun, kredit, hak milik dan transaksi keuangan di luar negeri.
Cina juga melarang adanya transfer data atas data individu ke luar negeri tanpa mengungkap persetujuan dari pemilik data atau izin khusus dari regulator. Alasan kebijakan data center ini didasarkan atas keamanan dan privasi pengguna.
Kemudian India. Negara dengan ekonomi terbesar kedua ini punya aturan yang ketat dalam data center karena alasan keamanan nasional dan kemudahan pengawas mengakses data. India mewajibkan data center berada di dalam negeri. Salah satu bentuk aturannya dengan mewajibkan seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran menyimpan datanya di India.
Rusia juga punya kebijakan data center yang lebih ketat. Negara yang dipimpin Vladimir Putin ini mewajibkan seluruh data individu di simpan di luar Rusia. Rusia juga semacam holding period (waktu tunggu) dalam pemrosesan data.
Rusia mensyaratkan individu atau korporasi yang melakukan pengelolaan data dari internet menyimpan semua data di Rusia minimal 6 bulan. Rusia membuat aturan ketat ini dengan alasan keamanan dan privasi pengguna, keamanan nasional serta pengawasan lintas batas.
“Di kita juga gitu harusnya. Jadi tinggal kita ubah data ini milik pemerintah,” ucap Budi Arie.
Keinginan Budi Arie untuk mengubah regulasi PP 71/2019 sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu. Jokowi sebelumnya sempat menyiapkan regulasi atau aturan main soal investasi data center yang ingin masuk ke Indonesia. Pengaturan regulasi ini didasari masih banyaknya pelaku elektronik yang menempatkan datanya di luar Indonesia.
“Kita tahu saat ini banyak startup-startup kita yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh sangat pesat masih menggunakan data center di luar negeri,” ujar Presiden Jokowi saat memimpin Rapat Terbatas membahas Pengembangan Pusat Data Nasional, Kantor Presiden beberapa waktu lalu.
Kalau data center itu ada di Indonesia, menurut Jokowi, akan banyak manfaatnya, lebih cepat, lebih aman, dan membantu untuk local troubleshooting dalam pengembangan sistem yang bisa dilakukan dengan lebih cepat.
“Saya melihat banyak pemain-pemain global seperti Microsoft, Amazon, Alibaba, Google sangat tertarik masuk dan bahkan sudah mulai mengembangkan data center-nya di Indonesia,” tutur Jokowi.
Alasan ketertarikan ke Indonesia, menurut Jokowi, karena memiliki daya tarik, potensi yang besar dan memiliki ekosistem startup yang paling aktif di Asia Tenggara dengan market digital yang terbesar. Untuk itu, ia selalu menekankan agar jangan hanya menjadi penonton.
“Kita juga harus memastikan investasi data center di Indonesia memberikan nilai tambah, baik dalam pelatihan digital talent, pengembangan pusat riset, kerja sama dengan pemain-pemain nasional, maupun dalam sharing pengetahuan dan teknologi,” ujar dia.
Potensi Ekonomi yang Besar
Jika dilihat, industri pusat data (data center/DC) sendiri memiliki peluang besar untuk bertumbuh di Indonesia. Secara global, pertumbuhan pusat data mencapai 25.600 Megawatt pada 2023. Bahkan di kawasan Asia Tenggara akan berkembang lebih pesat dari rata-rata dunia, yakni dari 1.161 Megawatt di 2023 ke 2.733 Megawatt di 2028.
Sementara pasar data center Indonesia ditaksir bernilai 1,78 juta dolar AS pada 2020. Angka ini diperkirakan akan mencapai 3,35 juta di 2026 dengan CAGR (Compound Annual Growth Rate) sebesar 11,4 persen selama periode perkiraan 2021-2026.
Akan tetapi, pengembangan pusat data center di Indonesia saat ini masih berada di bawah 10 persen dari potensi nasional. Padahal potensi pusat data dimiliki dalam negeri sangat besar. Nilainya ditaksir mencapai 47 miliar dolar AS. "Kebutuhan data kita ini baru 4 persen dari yang kita punya saat ini," kata dia.
Budi Arie, sadar betul bahwa pemenuhan kebutuhan data center di Indonesia masih sedikit. Oleh karena itu, pemerintah mendukung penuh terhadap pengembangan ekosistem data center di Indonesia. Kemenkominfo secara konsisten juga ikut mendorong dan mendukung tumbuhnya ekosistem digital yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Kebetulan Indonesia juga kita lagi membangun pusat data nasional atau nasional data center dan Kominfo sebagai CIO [Chief Information Officer] seperti digital center Republik Indonesia, yang bertanggung jawab terhadap semua data center," ucap Budi Arie.
Pusat Data Nasional yang akan dibangun oleh pemerintah tersebar di empat wilayah, salah satunya berada di Bekasi. Saat ini sudah memasuki tahap penetapan pelaksana kontrak pembangunan. Proyek dari Direktorat Layanan Aplikasi Informatika Pemerintahan (LAIP), Ditjen Aptika Kominfo ini diperkirakan akan selesai dalam dua tahun (terhitung sejak 2022).
Sedangkan Pusat Data Nasional kedua akan dibangun di Batam, yaitu di kawasan Nongsa Digital Park. Kawasan ini dipilih karena dinilai sudah memiliki infrastruktur yang mampu menghubungkan wilayah tersebut dan sekitarnya ke kawasan barat Indonesia.
Selanjutnya, Pusat Data Nasional ketiga akan dibangun di Balikpapan, Kalimantan Timur guna mendukung pusat pemerintahan baru di IKN Indonesia. Pusat Data Nasional keempat akan dibangun di Labuan Bajo, yang nantinya akan menghubungkan Indonesia bagian barat dengan timur.
Menurut data ASEAN, ada 295 pusat data yang terbangun di kawasan tersebut pada 2020 dan Indonesia menjadi negara kedua dengan jumlah pusat data terbanyak. Ada 62 pusat data di Indonesia pada 2020. Sebanyak 36 persen atau 22 pusat data tersebut dimiliki asing, dengan 11 pusat data dimiliki oleh Singapura.
Singapura sendiri menjadi negara dengan jumlah pusat data terbanyak, yaitu 100 pusat data. Mayoritas pusat data di Singapura dimiliki oleh asing di antaranya sebanyak 53 pusat data dimiliki oleh Amerika Serikat. Malaysia berada di peringkat ketiga dengan 44 pusat data pada 2020. Investor luar negeri pusat data Malaysia berasal dari Australia, Cina, Hongkong, Jepang, Singapura, dan Amerika Serikat.
Ketiga negara yang sudah disebut ini mencakup sekitar 70 persen dari total pusat data di ASEAN. Berdasarkan studi Cushman and Wakefield, industri pusat data ini diproyeksikan dapat tumbuh dari 1,9 miliar dolar AS pada 2019 menjadi 3,5 miliar dolar AS pada 2024.
Pengamat Ekonomi Digital, Heru Sutadi, melihat bahwa pembangunan data center di Indonesia memang tengah ramai belakangan. Hal ini karena potensi nilai ekonomi yang besar dari pengembangan data center tersebut.
“Memang sedang ramai di Indonesia ya. Baik itu penyediaannya swasta dalam negeri maupun luar negeri. Memang ada ceruk gitu ya,” ucap dia kepada Tirto, Kamis (23/11/2023).
Heru mengatakan, pemerintah hingga sektor swasta dan industri lainnya sadar betul terhadap kebutuhan untuk bagaimana membangun pusat data center. Di mana pusat data center ini akan menyimpan data-data baik dimiliki kementerian dan lembaga lainnya.
“Jadi memang ini merupakan hal yang saat ini juga dibutuhkan gitu. Jadi tidak tercampur antara data publik dengan data pemerintah yang mungkin juga tingkat rahasianya juga akan berbeda gitu ya,” ucap Heru.
Head of Sales & Marketing dari Bersama Digital Data Centres (DDBC), Ellen Suryani Lim, menegaskan bahwa dalam beberapa tahun mendatang data center akan menjadi tulang punggung bagi ekosistem digital yang semakin kompleks di Indonesia. Terutama di Jakarta sebagai sentral dari keberlangsungan bisnis hingga aktivitas sehari-hari dari setiap individu.
“Dengan hal itu Jakarta membutuhkan data center dengan standar global dan keamanan yang maksimum agar digitalisasi dapat terus berjalan dan data selalu terlindung,” ujar dia dalam keterangan yang diterima.
DDBC sendiri baru menyelesaikan pembangunan (topping off) BDDC JST1 (Jakarta - Selatan - Timur), yang merupakan pusat data tier IV BDDC di Jakarta. Setelah resmi diluncurkan pada Mei 2023, BDDC membuktikan komitmennya dengan memperkuat infrastruktur digital yang kini menjadi kebutuhan penting bagi berbagai sektor industri di Indonesia.
BDDC hadir melalui akuisisi dari dua data center dalam kota yang diproyeksikan memiliki kapasitas mencapai 60 megawatt, dan akan memperkuat interkonektivitas di Jakarta.
Masalah Keamanan Data Masih Jadi Tantangan
Terlepas dari potensi besar, Heru Sutadi melihat masih ada beberapa tantangan pengembangan data center di Tanah Air. Pertama, tantangan untuk membangun pusat data sendiri. Karena untuk membangun data center di Indonesia tentu membutuhkan anggaran tidak sedikit.
“Karena kalau misalkan semua pemerintah, dana pemerintah sendiri kan dialokasikan pada Kominfo ini kan cukup terbatas, sehingga memang perlu dikembangkan konsep kerja sama pemerintah dan badan usaha agar tidak membebani APBN dalam waktu bersamaan itu yang pertama,” ucap dia.
Kemudian, tantangan kedua adalah masalah keamanan data. Ketika semua data disatukan di dalam negeri masalah keamanan tentu menjadi pertanyaan. Kendati secara konsep menyatukan semua data itu dinilainya cukup bagus.
“Tetapi memang kalau keamanannya cyber keamanan data tidak diproteksi dengan baik, ini menjadi bencana juga di sisi lain gitu ya,” ujar dia.
Di satu sisi, kata dia, ini memberikan kemudahan data yang lebih efisien dibandingkan pusat data di masing-masing kementerian lembaga. Tapi di sisi lain juga bagaimana dengan security-nya, ini perlu diperketat dan diperhatikan oleh pemerintah.
“Jangan sampai justru nanti maksudnya kita efisien menggunakan data senter yang terpusat, tapi ternyata kemudian data center tersebut jadi pintu masuk kejahatan cyber untuk mengambil seluruh data penting masyarakat Indonesia,” pungkas dia.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengamini bahwa pasti harus dilihat adalah keamanan data. Keamanan data ini dapat dilihat dari dua faktor.
Pertama, faktor sistem keamanan data perusahaan di Indonesia. Kedua, faktor regulasi perlindungan data pribadi. Faktor kedua, kata dia, Indonesia sudah punya regulasinya, yaitu UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
“Tinggal kita menunggu implementasi UU tersebut mulai dari penguatan badan pengawas penggunaan data pribadi, hingga sanksi kepada pihak ketiga apabila data bocor,” ucpa dia kepada Tirto, Kamis (23/11/2023).
Data bocor ini, kata Huda, terkait juga faktor nomor satu di mana keamanan data menjadi faktor krusial. Jangan sampai sudah membuat data center, tapi sistem lemah hingga data bocor, kemudian tidak ada sanksi bagi pihak ketiga tersebut. “Tentu yang dirugikan adalah masyarakat,” tukas dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz