Menuju konten utama

Penolakan Aceh dan Dampak Ekonomi di Balik Tragedi Rohingya

Indonesia tidak memiliki kewajiban menampung pengungsi rohingya. Terlebih lagi mengingat kehadirannya memberi dampak ekonomi negatif.

Penolakan Aceh dan Dampak Ekonomi di Balik Tragedi Rohingya
Header Insider Polemik Ekonomi Rohingya. tirto.id/Mojo

tirto.id - Dalam tragedi Rohingya, Aceh adalah manifestasi harapan sekaligus rumah solidaritas kemanusiaan. Ketika banyak yang menolak, orang Aceh justru menyambut hangat rombongan pengungsi layaknya keluarga. Tapi itu dulu, sebelum simpati mereka pudar dikikis ulah buruk sang tamu di Tanah Rencong.

Perubahan tercermin dari sikap sebagian warga di tengah gelombang pengungsi Rohingya dua pekan lalu. Tak seperti biasa, penduduk lokal melarang perahu mendarat di Serambi Makkah. Ini adalah buntut kejenuhan mereka atas kelakuan pengungsi terdahulu yang dituduh mengabaikan norma adat serta syariat Islam.

Pengungsi Rohingya dicap negatif lantaran kerap berbuat onar dan enggan menjaga kebersihan. Mereka dikenal nekat-nekat dan kadang tak ragu untuk bertindak di luar ketentuan, contohnya kabur dari tempat penampungan. Selain faktor perilaku, penolakan ini juga dipengaruhi keterbatasan kapasitas pemerintah daerah.

Jejak Rohingya

Sebenarnya, riak-riak antipati masyarakat sudah terlihat sejak lama. Sebelum Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Aceh Utara, protes serupa pernah dilayangkan warga Kota Lhokseumawe pada penghujung 2022. Perangai kebanyakan pengungsi Rohingya dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum.

Rohingya merupakan kelompok etnis Muslim minoritas di Myanmar. Hidup mereka tertindas seiring menguatnya ultranasionalis Buddha. Selain tidak diakui warga negara, orang Rohingya juga diperlakukan secara keji dan sadis. Ancaman genosida memaksa mereka luntang-lantung di lautan sehingga dijuluki Manusia Perahu.

Konon, Rohingya berasal dari Rahm, kata Arab yang artinya rahmat. Ada pula berpendapat bahwa ia bersumber dari bahasa Sanskerta yang mengandung makna gunung. Menurut Haradhan Kumar Mohajan, Assistant Professor di Premier University Bangladesh, asal-usul etnis Rohingya dipenuhi kontroversi.

Kata Rohingya tidak tercatat dalam sensus yang dilakukan Inggris pada 1824 dan baru dikenal luas pada 1950-an. Namun pendapat lain mengklaim ia sudah ada sebelum abad ke-20. Etnis Rohingya diyakini berasal dari Chittagong, Bangladesh, dan mulai bermigrasi ke Myanmar – dulu Burma – pada abad ke-19.

Selaku tetangga sekaligus kerabat, Bangladesh jadi tempat pelarian penting orang Rohingya dari kekacauan di Rakhine, Myanmar. Berdasarkan data United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), negara ini menampung nyaris satu juta pengungsi. Hingga Oktober 2023, jumlahnya tercatat mencapai 967.842 jiwa.

Di Bangladesh, kehidupan pengungsi Rohingya memprihatinkan. Kesempatan menata masa depan terbatas, ketidakpastian meningkat. Situasi mendorong mereka berbondong-bondong pergi ke sejumlah negara, namun cenderung ditolak. Setelah tak diterima sana-sini, uluran tangan datang dari Aceh, provinsi terbarat di Indonesia.

Serupa Bangladesh, Indonesia hanyalah transit. Tujuan idaman orang Rohingya adalah negara maju seperti Australia. Di sisi lain, Indonesia juga belum meratifikasi 1951 Refugee Convention dan 1967 Protocol, sehingga tidak bertanggung jawab menyediakan rumah permanen untuk para pengungsi maupun pencari suaka.

Merujuk laporan UNHCR, Indonesia telah menampung 12.805 pengungsi serta pencari suaka asal 51 negara hingga Februari 2023. Sekitar 8% di antaranya adalah orang Rohingya. Selama ini, mereka menuai sorotan karena sering berusaha kabur dari tempat penampungan lalu menyelundup ke negeri jiran Malaysia.

Malaysia adalah penampungan terbesar kedua bagi pengungsi Rohingya setelah Bangladesh. Sekitar 90% dari mereka tinggal di dua negara tersebut. Menurut data UNHCR, terdapat total 184.220 pengungsi dan pencari suaka di Malaysia hingga Oktober 2023. Sebanyak 107.030 di antaranya adalah etnis Rohingya.

Meski berperan penting dalam upaya penyelamatan etnis Rohingya, baik Malaysia maupun Bangladesh juga belum meratifikasi 1951 Refugee Convention dan 1967 Protocol. Sama seperti Indonesia, kedua negara sebenarnya tidak bertanggung jawab menampung pengungsi. Itikad baik ini dipengaruhi solidaritas sesama Muslim.

Dampak Ekonomi

UNHCR mencatat total pengungsi global mencapai 35,3 juta orang per Juni 2023. Jumlah itu terdiri atas 29,4 juta orang di bawah mandat UNHCR dan 5,9 juta lainnya di bawah United Nations Relief and Works Agency atau UNRWA. Selain pengungsi, terdapat setidaknya 5,4 juta orang yang kini juga sedang mencari suaka.

Sebanyak 76% pengungsi global tinggal di negara-negara dengan status berpendapatan rendah (low-income countries) dan berpendapatan menengah (middle-income countries). Indonesia misalnya. Saat ini, negara kita menyandang status negara berpendapatan menengah atas atau upper middle-income country.

Indonesia pertama kali menampung pengungsi Rohingya pada 2015. Saat itu, rombongan terombang-ambing di perairan Aceh. Demi membantu hidup mereka selama di penampungan, Kementerian Sosial RI menggelontorkan anggaran Rp2,3 miliar. Dana ini dipakai memenuhi kebutuhan sandang seperti selimut dan pakaian anak.

Infografik Insider Polemik Ekonomi Rohingya

Infografik Insider Polemik Ekonomi Rohingya. tirto.id/Mojo

Selaras krisis Myanmar yang tak kunjung usai, pengungsi Rohingya terus berdatangan. Tapi ketatnya kebijakan imigrasi negara tujuan seperti Australia dan Amerika Serikat menimbulkan masalah bagi negara-negara transit seperti Indonesia. Sebab durasi tampung yang lebih lama ikut memengaruhi sektor perekonomian tuan rumah.

Menurut Satria Rizaldi Alchatib dalam penelitian berjudul The Political and Economic Impacts of Rohingya Refugee Crisis: Challenges and Opportunities of Humanitarian Intervention in Post-Conflict Space (2021), keberadaan pengungsi Rohingya dalam waktu lama dapat merugikan sekaligus menguntungkan.

Seperti diketahui, Indonesia memasuki masa bonus demografi. Artinya, penduduk usia produktif melimpah. Hal ini mesti didukung pengembangan industri dan infrastruktur sehingga perekonomian terdongkrak. Namun peluang itu berisiko terbuang apabila dana yang dibutuhkan justru terkuras untuk biaya penanganan pengungsi.

Indonesia bukan satu-satunya negara transit yang terkena imbas. Merujuk laporan The Financial Express, pengungsi Rohingya telah mendatangkan masalah sosial, lingkungan dan ekonomi di Bangladesh, tetangga Myanmar yang rela jadi tempat penampungan setia sekaligus berlindung bagi kelompok etnis tersebut sejak 1978 silam.

Pada tahun 2023, pemerintah Bangladesh bersama UNHCR meminta dukungan negara-negara mitranya untuk menggalang dana kemanusiaan Rohingya. Nilai yang dibutuhkan diproyeksi mencapai USD876 juta atau setara Rp13,14 triliun (asumsi kurs Rp15.000/USD).

Dapat dikatakan, menerima dan memastikan kelangsungan hidup jutaan pengungsi Rohingya membutuhkan biaya yang fantastis. Terlebih lagi, jika mengingat ada potensi kerugian sosial ekonomi.

Keberadaan pengungsi dalam jangka waktu lama meningkatkan kasus kekerasan berbasis gender hingga 50%, mengurangi layanan kesehatan penduduk lokal dan menimbulkan konflik. Mereka juga mengikis stok air tanah serta menjadi alasan di balik praktik deforestasi hutan dan kontaminasi lahan pertanian. Tercatat sekitar 3.500 hektar lahan rusak.

Masalah tidak berhenti di situ. Bertambahnya pengungsi meningkatkan arus permintaan dan mendongkrak harga barang kebutuhan. Padahal saat yang sama penghasilan warga tidak mengalami kenaikan.

Selain memicu tekanan inflasi, keberadaan pengungsi juga berdampak menurunkan upah dan pasar tenaga kerja penduduk Bangladesh, terutama di daerah kamp pengungsi. Sebuah studi menemukan upah harian petani anjlok hingga 50% dalam kurun periode 2017-2019. Pengungsi Rohingya bersedia digaji lebih sedikit karena mereka menerima bantuan kebutuhan harian.

Namun situasi agak beda di Malaysia. Dalam studi berjudul Rethinking Refugees as Economically Isolated: The Rohingyas Participation in Informal Economy in Klang Valley, Malaysia (2017), Andika Ab. Wahab membuktikan bahwa pengungsi Rohingya berpartisipasi aktif dalam aktivitas perekonomian informal di negara tersebut.

Kegiatan-kegiatan itu secara kolektif memperkuat interaksi sosial pengungsi dan ujungnya meningkatkan kontribusi terhadap pengembangan masyarakat. Partisipasinya dalam perekonomian informal juga menunjukkan bahwa sebenarnya mereka berupaya mandiri atau mengurangi ketergantungan dari bantuan tuan rumah.

Temuan ini secara tidak langsung membantah kesalahpahaman bahwa populasi etnis Rohingya di Malaysia terisolasi secara fisik dan ekonomi. Meskipun masih terhimpit di permukiman komunal, keterlibatannya dalam perekonomian informal terbukti turut bermanfaat bagi masyarakat di luar komunitas mereka.

Dengan kata lain, pengungsi Rohingya ikut berkontribusi terhadap perekonomian domestik tuan rumah. Oleh karena itu, mereka sebenarnya dapat dianggap sebagai populasi aktif yang juga memberikan nilai tambah terhadap pembangunan ekonomi Malaysia.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas