tirto.id - Eskalasi konflik di Rakhine kembali terjadi. Dalam sepekan terakhir tercatat 400 warga minoritas etnis Rohingya tewas di tangan militer Myanmar, sementara 38.000 lain mengungsi ke Bangladesh. Ini kelanjutan dari ledakan kekerasan pada 2012 dan 2016, dan ketegangan di Rakhine telah berlangsung lebih lama.
Sejak 1982, ketika Jenderal Ne Wing mengeluarkan kebijakan segregasi warga negara, orang-orang Rohingya sudah terdiskriminasi dan mengalami persekusi.
Selain terancam genosida, mereka pun tidak mendapatkan hak selayaknya warga negara. Mereka dianggap sebagai manusia perahu ilegal dan tidak dianggap warga negara Myanmar.
Rentetan kekerasan terhadap muslim Rohingya pada dasarnya sudah memenuhi definisi untuk disebut pembersihan etnis dalam pengertian Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1948 tentang genosida.
Pasal 2 konvensi menyatakan genosida berarti perbuatan dengan tujuan menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian, sebuah bangsa, etnis, ras, dan kelompok agama dengan cara membunuh atau membatasi hak-hak dan kebebasan mereka. (Baca: Erdogan Tuduh Myanmar Lakukan Genosida)
Konvensi ini juga menyebutkan, di bawah mandat Pasal 6 dan 8 Piagam PBB 1945, PBB mempunyai tanggung jawab melakukan tindakan untuk melindungi sebuah populasi dari genosida dan kejahatan kemanusiaan lain. Salah satu prosedurnya melalui resolusi Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB.
Namun, dalam kasus krisis Rohingya di Rakhine, PBB secara kelembagaan hanya mengeluarkan dua kali resolusi. Pertama, resolusi Dewan Keamanan PBB bernomor S/2007/14 pada 12 Januari 2007. Kedua, resolusi Dewan HAM PBB tentang tim pencari fakta atas konflik Rakhine pada 26 Maret 2017.
Meski PBB mengirim tim pencari fakta pada Januari 2017 setelah eskalasi konflik pada 2016, tetapi dua resolusi PBB itu belum berhasil memecahkan persoalan. Banyak hambatan dalam pelaksanaan resolusi.
Baca juga: Membantai Rohingya Secara Diam-Diam
Kegagalan Menghentikan Genosida di Rwanda
Tidak efektifnya Resolusi DK PBB juga terjadi dalam usaha menghentikan konflik di Rwanda pada 1993. Saat itu, DK PBB mengeluarkan resolusi bernomor 872, berisi mandat kepada anggota DK PBB melakukan pantauan dan bantuan kemanusiaan di Rwanda. Dibentuklah United Nations Assistance Mission in Rwanda (UNAMIR) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Romeo Dallaire.
Saat itu tim penyelidik HAM PBB menemukan indikasi genosida oleh suku Hutu kepada suku Tutsi pada Agustus 1993. Tapi DK PBB tidak segera melakukan revisi terhadap resolusi mereka. Akibatnya, 800.000 orang meninggal, mayoritas dari suku Tutsi dan warga Hutu moderat pada 1994.
Mantan Sekjen PBB Kofi Annan menganggap konflik Rwanda sebagai kegagalan penerapan intervensi kemanusiaan oleh DK PBB. Menurutnya, anggota DK PBB hanya mengambil kebijakan yang menguntungkan kepentingan nasional saat itu, yakni memastikan warganya tidak menjadi korban. Belgia sebagai bekas penjajah di Rwanda disebut sebagai aktor yang memengaruhi lambatnya keputusan DK PBB.
Belgia yang tergabung dalam UNAMIR bersama Amerika dan Perancis semula sangat mendorong operasi kemanusiaan di Rwanda. Sebagai bekas penjajah, mereka ingin mempertahankan status quo militer di Rwanda dengan label pasukan perdamaian. Tapi mereka mengendur setelah tujuh tentara perdamaian PBB asal Belgia meninggal.
Pemerintah Belgia malah membujuk agar operasi PBB di Rwanda dipercepat dengan cara membagi ketakutan yang sama pada pemerintah Amerika Serikat dan Prancis. Hasilnya, rekomendasi Sekretariat Jenderal PBB kepada DK PBB untuk merevisi resolusi dan segera melakukan intervensi militer tidak digubris.
“Seluruh laporan saya tentang fakta genosida di Rwanda mentah di New York,” kata Letnan Jenderal Romeo Dallaire saat itu.
Meski begitu, ada pihak yang menyebut kegagalan DK PBB di Rwanda karena fokus terpecah oleh penanganan kekerasan di Bosnia pada tahun yang sama. Tidak maksimalnya kontribusi AS di Rwanda juga sangat berpengaruh. AS bisa dikatakan lebih fokus pada isu Bosnia. Dalam kasus Rwanda, pemerintahan Bill Clinton sangat berhati-hati karena publik AS masih trauma dengan perang Vietnam.
Baca juga: Dimulainya Pembantaian Etnis Tutsi di Rwanda
Beda Kepentingan Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB
Mekanisme melalui PBB untuk menyikapi krisis Rohingya di Rakhine masih sama bertele-telenya dengan konflik Rwanda. PBB masih terjebak rumitnya mekanisme pengambilan kebijakan. DK PBB yang secara langsung mendapat mandat Piagam PBB untuk melakukan aksi, sampai memberi sanksi dalam konflik kemanusiaan, masih terjerat kepentingan nasional anggota tetapnya.
Resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum PBB dan Dewan HAM PBB hanya bersifat rekomendasi untuk program-program Sekretariat Jenderal PBB.
Resolusi DK PBB 2007 yang memutuskan perhatian khusus pada konflik kemanusiaan di Rakhine gagal karena tidak mendapatkan kesepakatan dari seluruh anggota DK PBB. Tercatat dalam rilisan rapat DK PBB bernomor S/PV.5619 pada 12 Januari 2007, Inggris, AS, Perancis, Belgia, Ghana, Italia, Panama, Peru, dan Slovakia menerima resolusi tersebut; Cina dan Rusia memveto; Afrika Selatan menolak; sedangkan Indonesia, Qatar, dan Republik Kongo abstain.
Baca juga: Membandingkan Respons Indonesia & Negara Lain pada Krisis Rohingya
Dalam mekanisme pengambilan di DK PBB, sebuah resolusi diterima dan dapat dilaksanakan bila terdapat sembilan negara yang menyetujui. Tapi, dengan ada veto dari Cina dan Rusia sebagai anggota tetap DK PBB, status resolusi ini diblokir. Veto kedua dalam resolusi ini menjadi veto ganda (diveto dua negara sekaligus) pertama sejak 1989 dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Duta Besar Cina untuk PBB saat itu, Wang Guangya, dalam rapat ke-5619, menyatakan: “Permasalahan di Myanmar merupakan urusan internal dari sebuah negara yang berdaulat. Pemerintah (Myanmar) dan kelompok-kelompok yang berkonflik harus diberi ruang untuk melakukan usaha rekonsiliasinya sendiri.”
Sementara Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin menyatakan, ”Perkara ini lebih baik diurus lembaga PBB lain, seperti World Health Organization (WHO) atau lembaga yang khusus bergerak di bidang HAM. Bukan Dewan Keamanan PBB.”
Baca juga: Rohingya dan Sejarah Masuknya Islam di Myanmar
Namun, kegagalan resolusi karena veto anggota tetap DK PBB bukan terjadi kali ini saja. Tercatat dalam situs resmi PBB, sejak 1945-2017 ada 196 resolusi DK PBB yang diveto oleh anggota tetap DK PBB, termasuk resolusi terkait isu humaniter seperti resolusi DK PBB 2007 dan resolusi DK PBB bernomor S/2015/508 tentang pembantaian massal di Bosnia-Hezergovina.
Padahal DK PBB adalah satu-satunya badan PBB yang mendapat mandat untuk melakukan intervensi kemanusiaan dalam rangka terciptanya perdamaian, dan berhak memberi sanksi kepada negara yang dianggap tidak mendukung perdamaian dunia, misalnya embargo ekonomi.
Menurut Peneliti Nigerian Institute of International Affairs Fred Aja Agwu, lemahnya intervensi kemanusiaan oleh DK PBB lantaran perbedaan kepentingan di antara anggota tetap. Penggunaan hak veto mencerminkan sengkarut kepentingan masing-masing negara.
Cina dan Rusia tercatat hampir menolak seluruh resolusi PBB yang bersifat intervensi, terutama intervensi militer. Salah satu yang mengesalkan adalah veto pada resolusi DK PBB tentang Bosnia-Hezergovina, yang di dalamnya merekomendasikan ada intervensi militer untuk mencegah genosida yang dilakukan Serbia.
Ada alasan penting dan mendasar mengapa Cina dan Rusia menolak intervensi militer. Sejak lama mereka menerapkan azas non-intervensi, terutama dalam politik dalam negeri mereka sendiri. Keduanya tidak menghendaki jika tindakan keras di dalam negeri dicampuri negara lain dengan menggunakan tangan PBB.
Sedangkan AS, Inggris, dan Perancis berambisi menghadang pengaruh negara-negara [yang mereka anggap] otoritarian di negara-negara konflik dengan menggunakan intervensi militer. Seperti saat AS mengajukan resolusi untuk konflik Suriah yang mengedepankan intervensi militer guna menghalau infiltrasi langsung Rusia pada rezim Bashar al-Asad.
Perbedaan sikap dari lima anggota tetap DK PBB ini pun dipengaruhi ideologi masing-masing.
Amerika, Inggris, dan Prancis disebut anggota DK PBB Blok Kanan karena berideologi liberal dan menerapkan demokrasi dalam sistem kenegaraannya. Sedangkan Cina dan Rusia disebut anggota DK PBB Blok Kiri karena berideologi komunisme.
Hal ini bisa terlihat dari daftar veto negara-negara anggota DK PBB terkait opsi intervensi militer yang tercatat di situs resmi PBB.
Sejak 1945, Perancis, Inggris, dan AS tercatat 12 kali menggunakan hak veto mereka, di antaranya Resolusi DK PBB S/21048 23 Desember 1989 tentang situasi di Panama dan Resolusi DK PBB S/20378 11 Januari 1989 tentang Keamanan Libya.
Dalam dua resolusi itu, AS menjadi pihak tertekan. Dalam Resolusi Panama, negara-negara anggota DK PBB yang dimotori Rusia (saat itu Uni Soviet) meminta AS melepaskan intervensi di Panama agar negara ini bisa merdeka dan menentukan nasib sendiri. Sedangkan soal Libya, AS diminta tidak mengirimkan angkatan udara ke perairan Libya sehubungan ketegangan di sana.
Di sisi lain, Cina dan Rusia sudah 8 kali menggunakan veto pada opsi intervensi ke negara lain. Di antaranya empat resolusi DK PBB soal intervensi dalam konflik Suriah sejak 2011 hingga hingga 2017.
Baca juga: Dapatkah Hukum Genosida Menghentikan Pembantaian Massal?
Myanmar Menolak Intervensi PBB
Resolusi tentang tim pencari fakta di Rakhine menghadapi hambatan langsung dari pemerintah Myanmar. Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi menolak tegas resolusi tersebut karena dianggap memperuncing konflik.
"Kami memisahkan diri kami resolusi tersebut karena merasa resolusi itu tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan,” kata Suu Kyi di Brussel, 2 April 2017.
Peraih Hadiah Nobel Perdamaian itu mengatakan negaranya akan senang menerima rekomendasi yang sesuai kebutuhan riil di kawasan tersebut.
"Namun, rekomendasi yang akan semakin memecah belah kedua komunitas di Rakhine tidak akan kami terima, karena itu tidak membantu menyelesaikan masalah yang muncul sepanjang waktu," katanya.
Pernyataan Suu Kyi ini kian memperburuk reputasi Suu Kyi. Statusnya yang pernah menjadi "bintang internasional" pembela HAM memudar saat ia tak bersuara mengenai kejahatan terhadap muslim Rohingya atau mengecam penumpasan yang dilakukan oleh militer Myanmar.
Para penyelidik PBB menyatakan kekerasan di Myanmar kemungkinan mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan dan pembersihan etnis. Namun, Suu Kyi menampik tuduhan tersebut.
"Saya tidak berpikir bahwa sedang terjadi pembersihan etnis," kata Suu Kyi kepada BBC. "Saya tidak cukup yakin dengan apa yang Anda maksud dengan mengatakan bahwa kami tidak cukup prihatin pada semua tuduhan tentang kejahatan yang berlangsung di Rakhine," katanya.
Baca juga:
Perlukah Nobel Perdamaian untuk Suu Kyi Dicabut?
Paradoks Terbesar Aung San Suu Kyi
Sebaliknya, Suu Kyi mengklaim pihaknya sedang menyelidiki kasus yang oleh pemerintah disebut operasi militer melawan teroris Bangladesh. (Baca: Suu Kyi Bantah Ada Pembersihan Etnis Rohingya)
Penolakan ini membuat Dewan HAM PBB, sebagai bagian dari lembaga subsider Majelis Umum, tidak bisa meneruskan resolusinya. Sesuai Piagam PBB Pasal 1 Ayat 2 Poin 7, PBB didirikan tidak untuk mengintervensi kedaulatan sebuah negara. Artinya, setiap resolusi bisa diterima atau ditolak oleh negara yang bersangkutan.
Keadaan macam ini kerap membuat PBB kesulitan melakukan intervensi di daerah konflik. Untuk mengatasi kendala "regulasi" itulah, pada 2005, Majelis Umum PBB menyetujui kebijakan penyelesaian konflik bernama Responsibility to Protect (R2P).
Melalui mekanisme ini, PBB tidak lagi memandang kedaulatan secara kaku. Melainkan, demi menyelesaikan krisis kemanusiaan, intervensi bisa dilakukan asalkan melibatkan pemerintah yang menjadi sasaran resolusi.
Masalah dari kebijakan ini adalah pengambilan keputusan dan pelaksanaan masih bergantung pada resolusi Dewan Keamanan PBB. Sedangkan DK PBB belum berhasil mengeluarkan resolusi untuk menyelesaikan konflik Rakhine.
Sehingga, sejauh ini, bisa dibilang PBB belum dapat menyelesaikan konflik di Rakhine. Kecuali DK PBB sekali lagi membahas resolusi, dan negara seperti Cina dan Rusia bersedia mengendurkan penolakannya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Zen RS