Menuju konten utama
Genosida Rohingya

Perlukah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Dicabut?

Sejumlah aktivis meminta agar Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi dicabut. Namun, pencabutan Nobel Perdamaian dinilai tak akan berdampak signifikan menyelesaikan konflik Rohingya.

Perlukah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Dicabut?
Penasehat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menemui warga Myanmar yang tinggal di Jepang di Tokyo, Jepang, Rabu (2/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Issei Kato.

tirto.id - Nasib etnis Rohingya kembali menjadi sorotan. Pemerintah Myanmar melalui militernya, menyerang pemukiman etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, Kamis (31/8/2017) malam atau Jumat (1/8/2017) pekan lalu. Dilansir dari ABC, sudah ada 130 orang dikabarkan meninggal akibat penyerangan tersebut.

Berdasarkan data PBB, seperti dikutip dari CNN, hampir 50.000 warga Rohingya melarikan diri dari konflik tersebut. Sekitar 27.000 orang melarikan diri ke melintasi Bangladesh, sementara 20.000 warga Rohingya masih tersesat di Asia Tenggara.

Baca juga:

1 Juta Muslim Rohingya Tinggalkan Myanmar karena Konflik

Pemerintah Myanmar dikecam banyak pihak, terutama Aung San Suu Kyi, penasihat negara Myanmar. Ketidakmampuan Suu Kyi menyelesaikan konflik Rohingya membuat sejumlah masyarakat mempertanyakan penghargaan nobel perdamaian yang diperolehnya pada 1991.

Sejumlah masyarakat menginisiasi agar penghargaan nobel perdamaian Suu Kyi ditarik oleh pihak Nobel. Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch menjadi salah satu aktivis yang menginisiasi petisi daring via change.org untuk meminta komisioner penghargaan Nobel mencabut gelar perdamaian Suu Kyi (baca: Diancam Didemo, Suu Kyi Batalkan Kunjungan ke Indonesia).

Berdasar pantauan Tirto pada Minggu (3/9/2017) pukul 07.27 WIB, sudah ada 254.373 orang yang menandatangani petisi tersebut. Dari ratusan ribu penandatanganan petisi, sejumlah nama tokoh-tokoh ikut menjadi inisiator dan pendukung petisi tersebut seperti politikus PAN Teguh Juwarno, serta Presidium KAHMI Naufal Firman Yursak.

Alasan Petisi Cabut Nobel Perdamaian Suu Kyi

Naufal Firman Yursak membenarkan telah menandatangani petisi tersebut. Ia menandatangani petisi pada 2016 silam. Naufal beralasan, Suu Kyi tidak layak memegang predikat sebagai perdamaian lantaran tidak bisa menyelesaikan kasus Rohingya.

“Sebagai tokoh demokrasi, juga penerima nobel perdamaian, Suu Kyi menunjukkan sikap yang bertentangan dengan kedua predikat dia di atas,” kata Yursak saat dihubungi Tirto, Sabtu (2/9/2017)

Wawancara khusus dengan Direktur Burma Human Rights Watch:

Biksu Myanmar Dijadikan Alat Politik oleh Militer

Hal senada diungkapkan Tsamara Amany, aktivis Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Perempuan yang dikenal lantaran berdebat dengan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah itu mengatakan, dirinya menandatangani petisi itu karena Suu Kyi tidak merespons kejahatan manusia yang dialami etnis Rohingya.

Ia sependapat dengan Ketua PBNU Said Aqil Siradj yang menilai penerima Nobel harus bisa merespon cepat. Seharusnya Suu Kyi bisa merespon dan mencegah pembantaian yang dilakukan pemerintah Myanmar.

“Seorang penerima Nobel Perdamaian harus berjuang melawan kejahatan seperti itu, bukan diam,” ujar Tsamara saat dihubungi Tirto, Sabtu.

Tsamara mengaku, penandatanganan petisi sebagai langkah mendesak Suu Kyi untuk melindungi warganya. Ia mengaku akan mengumpulkan 250.000 tanda tangan mendesak pemerintah Myanmar. Nantinya, tanda tangan petisi itu akan disampaikan ke Kedubes Norwegia dan Komite Nobel Perdamaian untuk mendesak pencabutan pemberian nobel perdamaian. Hingga saat ini, dirinya terus berupaya menyebarkan petisi tersebut via media sosial dan kontak pribadi untuk mencapai target tersebut.

Tirto menghubungi akun Emerson Yuntho selaku inisiator petisi tersebut. Ia menyarankan untuk menghubungi pegiat Public Virtue Institute Agus Sari yang juga pemrakarsa petisi.

Agus bercerita, petisi tersebut berawal dari kekecewaannya bersama Emerson dan rekan-rekan lain terhadap persekusi Rohingya. Mereka melihat pemerintah Myanmar justru mendiskreditkan masyarakat Rohingya hingga mengusir etnis minoritas itu dari Rakhine, Myanmar. Kekecewaan semakin bertambah akibat ujaran Suu Kyi saat diwawancarai oleh BBC. Suu Kyi membantah adanya pemusnahan etnis Rohingya di Myanmar.

Alasan lain Agus dan teman-teman membuat petisi karena ingin masyarakat sadar ada permasalahan besar di dunia dalam kasus Rohingya. Mereka ingin menunjukkan kepada publik bahwa permasalahan etnis Rohingya sebagai permasalahan kemanusiaan yang perlu mendapat atensi. Kemudian, mereka juga ingin pemerintah Myanmar segera mencari solusi permanen untuk menyelesaikan masalah Rohingya. Menurut mantan CEO Belantara Foundation itu, minimnya perhatian dari Suu Kyi membuat dirinya tida layak mendapatkan titel penghargaan nobel.

“Jadi, kami menganggap Suu Kyi dengan posisi politis, tindakannya dan pernyataan-pernyataannya tidak layak mendapatkan itu (penghargaan Nobel),” kata Agus saat dihubungi Tirto, Sabtu (2/8/2017).

Pencabutan Nobel Tak Selesaikan Konflik Rohingya

Pentingnya pencabutan pemberian nobel Su Kyi dinilai tidak begitu berdampak menyelesaikan masalah Rohingnya. Dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta Badrus Sholeh mengatakan, pencabutan tidak akan mengubah Suu Kyi karena penasihat negara itu cenderung melihat posisi politik.

"Dicabut pun Suu Kyi akan tetap berlanjut membiarkan pelanggaran HAM yang terjadi. Maka harus ada tekanan yang lebih strategis," kata Badrus saat dihubungi Tirto.

Badrus menilai, Su Kyii tengah tersandera dengan mimpi kekuasaan yang diidam-idamkan sejak lama. Suu Kyi akan lebih memilih menjaga kekuasaan dan rela kehilangan penghargaannya daripada kehilangan kekuasaan.

Suu Kyi lebih memilih menjaga suara pemilih daripada menyelesaikan masalah Rohingya yang berkaitan dengan kemanusiaan. Apabila benar Suu Kyi lebih memegang kekuasaannya, Badrus menilai, pemimpin partai National Leaders for Democracy itu telah melupakan peran dunia internasional dalam kebebasan Myanmar selama ini.

Badrus menambahkan, pemerintah Indonesia harus bisa bertindak untuk menyelesaikan konflik Rohingnya. Menurut dosen UIN Jakarta ini, pemerintah Indonesia perlu memediasi permasalahan Rohingya dengan cara dialog. Pemerintah harus memperingatkan Pemerintah Myanmar agar tidak melakukan kejahatan kemanusiaan dengan mengusir Rohingya.

Ia menyarankan agar pemerintah membentuk tim bersama untuk memantau demokrasi Myanmar agar kejadian Rohingya tidak terulang. Apabila berbagai cara tidak berhasil, pemerintah bisa mengajukan embargo ekonomi untuk Myanmar.

Badrus menilai, embargo bisa memberikan dampak signifikan daripada aksi politik lain. Dengan larangan ekonomi, Myanmar bisa diingatkan soal kejadian di masa lalu kala mereka di embargo dunia internasional. Saat itu, pemerintah Myanmar kalang kabut akibat embargo di dunia internasional.

ASEAN pun, menurut Badrus, harus segera membentuk standar kemanusiaan bersama. Hal itu penting agar permasalahan kemanusiaan di ASEAN seperti kasus Rohingya bisa ditangani dengan baik. Pembentukan standar kemanusiaan tidak hanya memberikan panduan, tetapi juga menentukan bentuk masyarakat ideal ASEAN. Jangan karena atas nama solidaritas ASEAN kemudian negara-negara ASEAN setengah-setengah bersikap terhadap kekerasan yang dilakukan koleganya.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari