Menuju konten utama

Rohingya dan Sejarah Masuknya Islam di Myanmar

Persoalan Rohingya berakar pada sejarah panjang. Islam di Myamnar sudah berusia seribu tahun. Muslim di Myanmar sesungguhnya bukan hanya etnis Rohingya saja.

Rohingya dan Sejarah Masuknya Islam di Myanmar
Mortaza Bibi, seorang pengungsi Rohingya yang sekarang berlindung dengan sebuah keluarga lokal Bangladesh, berpose untuk difoto di Teknaf dekat Cox's Bazar, Bangladesh, Selasa (22/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain/cfo/16

tirto.id - Orang-orang Rohingya memang berbeda dengan orang Myanmar. Sejak Myanmar masih berupa kerajaan, ketegangan memang sudah terasakan. Di kemudian hari, perbedaan fisik, bahasa, budaya lalu agama dijadikan dasar untuk mengecap Rohingya yang sudah ratusan tahun berada di Arakan itu sebagai pendatang ilegal.

Menurut Human Right Watch, antara 2012 hingga 2014, 300 ribu orang Rohingya terusir. Menurut pemerintah Myanmar, pengusiran orang-orang Rohingya yang terjadi pada 2012 itu karena adanya pembunuhan, perampokan dan perkosaan terhadap seorang perempuan Budha pada 25 Mei 2012 di Yanbye.

Setelah kejadian itu, menurut versi pemerintah, sepuluh orang Muslim Rohingya di sebuah bis di Taungup dibunuh pada 3 Juni 2012. Alasannya: balas dendam. Pemerintah Myanmar bukannya memberi pengamanan bagi mereka yang terancam, aparat keamanan Myanmar menurut Human Right Watch justru ikut serta menyerang orang-orang Rohingya.

Keterlibatan Biksu Ashin Wirathu dari kelompok Budha Arakan yang memiliki laskar bernama Gerakan 969, berperan aktif menebar teror dan kebencian. Mereka mulai menebarkan kebencian terutama setelah Taliban menghancurkan Patung Budha di Bamiyan (Afghanistan) pada 2001.

Menurut Siegfried O. Wolf, seperti dirilis dw.com (31/8/2015), Pemerintah Myanmar adalah biang kerok atas derita orang-orang Rohingnya di Myanmar. Orang-orang Rohingya itu dianggap saingan tambahan oleh pihak penguasa dalam kehidupan sosial politik di sana. Orang-orang Rohingnya dianggap bukan pendukung pemerintah yang berkuasa. Pemerintah pun juga mendukung fundamentalis Budha, untuk menjaga kepentingannya atas kekayaan yang ditinggali orang-orang Rohingya itu.

Junta militer Myanmar dianggap secara sengaja memelihara kebencian massa terhadap Rohingya untuk mengalihkan sorotan publik kepada mereka. Kehidupan sosial politik yang tertutup, pengelolaan pemerintahan yang otoriter, sampai pelanggaran HAM memang membuat junta militer Myanmar dikecam. Junta secara sengaja mengobarkan kebencian kepada Rohingya untuk menciptakan musuh bersama.

Menciptakan sosok musuh bersama adalah siasat lama untuk membangun persatuan dan kesatuan. Diharapkan, jika kebencian terhadap Rohingya bisa digerakkan dengan massif, maka rakyat Myanmar tidak akan terlalu peduli pada desakan demokratisasi yang datang baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Untuk itulah dikampanyekan tentang bahaya Rohingya di kawasan-kawasan tertentu. Rohingya dikesankan sebagai calon penguasa baru yang akan menguasai sumber-sumber ekonomi sehingga penduduk "asli" Myanmar akan banyak kehilangan sumber-sumber penghidupan.

Kampanye macam itu tidak sepenuhnya salah untuk kawasan-kawasan tertentu yang memang banyak diisi oleh orang-orang Rohingya. Misalnya di Arakan yang luasnya mencapai 20 ribu mil persegi. Beribukota di Akyab, kawasan tersebut memang didominasi orang Rohingya. Pada 2002, populasi di Arakan mencapai 4 juta jiwa, 70 persen di antaranya adalah Muslim.

Tapi secara keseluruhan, "politik ketakutan" semacam itu sama sekali tidak berdasar. Jumlah penduduk muslim di Myanmar sebenarnya tidak terlalu signifikan.

Islam masuk ke Myanmar sekitar 1055. Pedagang-pedagang Arab memperkenalkan Islam kepada mereka saat mendarat di delta Sungai Ayeyarwady, Semenanjung Tanintharyi, dan daerah Arakan yang yang terletak di sisi barat Myanmar. Gunung Arakan memisahkan wilayah daerah Arakan dengan daerah-daerah lain Myanmar yang mayoritas menganut Budha. Selain etnis Arakan, etnis Shan juga dikenal sebagai penganut Islam.

Orang-orang dari Persia sampai Myanmar saat menjelajahi kawasan selatan Cina. Orang-orang Islam yang merupakan penduduk asli Myanmar disebut Pathi, sedangkan orang-orang Islam yang berasal dari Cina disebut Panthay. Dari sana, Islam menyebar ke berbagai daerah, seperti Pegu, Tenasserim, dan Pathein.

Dulunya, menurut catatan Apiko Joko Mulyono di act.id (07/06/2016), Raja Arakan punya sejarah tak akur dengan Raja Myanmar pada 1406. Kebetulan Raja Myanmar dan pengikutnya adalah Budha. Kuatnya Raja Myanmar membuat Raja Arakan Naramakhbala tersingkir dari wilayahnya dan mengungsi ke Bengali. Penguasa Bengali, Sultan Nasiruddin dimintai bantuan oleh Naramakhbala. Naramakhbala lalu mengucapkan Syahadat dan ganti nama jadi Suleiman Shah.

Atas bantuan Penguasa Bengali Sultan Nasiruddin, Naramakhbala yang sudah ganti nama menjadi Suleiman Shah itu akhirnya berhasil merebut kembali wilayahnya dari kekuasaan dari Raja Myanmar. Pada 1420, Arakan memproklamirkan diri sebagai kerajaan Islam merdeka di bawah Raja Suleiman Shah.

Kekuasaan Arakan yang Islam itu bertahan hingga 350 tahun. Pada tahun yang naas, 1784, Arakan kembali dikuasai oleh Raja Myanmar. Pada 1824, Arakan menjadi koloni Inggris juga. Populasi Islam di kawasan itu pun perlahan-lahan berkurang.

infografik rohingya

Orang Rohingya bukan satu-satunya kelompok etnis yang beragama muslim di Myanmar. Selain Rohingya dan etnis Shan, orang-orang Myanmar sebenarnya banyak yang sudah menjadi muslim. Muslim Myanmar ini disebut Zerbadee, komunitas yang paling lama berdiri dan berakar di wilayah Shwebo. Mereka diduga merupakan keturunan para pendakwah Islam paling awal yang beranak pinak dengan etnis-etnis bumiputera di Myanmar.

Komunitas muslim lainnya berasal dari India. Mereka adalah keturunan India yang banyak bermigrasi ke Myanmar saat masih dijajah oleh Inggris. India sendiri memang dikuasai Inggris sehingga memungkinkan banyak orang India, terutama yang muslim, bermigrasi ke Myanmar.

Ketika Myanmar merdeka dari Inggris pada 4 Januari 1948, enam bulan setelah ayah Aung San Suu Kyi terbunuh oleh kolega militernya sendiri, Arakan pernah dijanjikan sebagai daerah otonomi khusus. Rupanya otonomi itu hanyalah janji kosong.

Setelah tumbangnya kolonialisme Inggris di Myanmar, orang-orang Islam di Arakan yang menjadi pedagang merasa kehidupan perekonomian mereka memburuk. Banyak dari mereka yang pergi dari Arakan. Jenderal Ne Win dan junta militernya bahkan menganggap mereka sebagai pendatang ilegal.

Menurut Uqbah Iqbal, dalam Isu Pelarian Rohingya (2016), orang-orang Rohingya secara fisik, bahasa dan budaya lebih mirip orang-orang Bengali dari Asia Selatan. Selain mirip orang Bengali, ada juga orang-orang Arab, Persi dan Pasthun yang datang ke Arakan semasa zaman kekaisaran Mughal berjaya di sekitar India. Perbedaan fisik itu tentu dikembangkan sebagai bagian kampanye rasisme untuk mengusir mereka dari Myanmar.

Isu rasis itu digoreng lagi dengan peraturan yang tak kalah rasisnya. Yakni Kewarganegaraan Myanmar 1982, ketika Jenderal Ne Win berkuasa, orang-orang Rohingya dianggap bukan warga negara Myanmar melainkan para pendatang. Hingga ada alasan bagi aparat Myanmar untuk tidak melindungi mereka.

Menurut Shofwan Al Banna Choiruzzad dalam ASEAN di Persimpangan Sejarah: Politik Global, Demokrasi, & Integrasi Ekonomi (2016), meski pemerintah Myanmar mengaku bersikap netral, namun aparat negara mereka juga masyarakat Myanmar di Arakan punya wacana orang-orang Rohingya adalah orang asing yang datang sejak lama untuk menguasai kekayaan orang-orang Myanmar. Stereotipe itulah yang menjadi bahan bakar kebencian.

Dan hal itu sudah berlangsung lama. Menurut Uqbah Iqbal, setidaknya 30 ribu orang Rohingya sudah terbunuh pada 26 Juli 1938. Saat itu, Myanmar masih menjadi koloni Inggris di Asia Tenggara. Pada 1942, terjadi pembantaian di Arakan antara orang-orang kebetulan beragama Budha dengan orang-orang Rohingya yang menjadi milisi dalam unit militer Inggris yang disebut V Force. Sudah pasti ada korban dikedua belah pihak.

Setelah tahun 1942, di tahun 1968 dan 1992, kini mereka terbantai lagi. Dan terusir. Dan didiamkan. Sampai Aung San Suu Kyi pun bungkam.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS