tirto.id - Selasa malam, 5 September, juru bicara lembaga Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), Duniya Aslam Khan, mengatakan sekitar 123.000 pengungsi telah tiba di Bangladesh sejak kekerasan terjadi di utara negara bagian Rakhine sejak akhir Agustus lalu.
Ia berkata, rombongan muslim Rohingya berhasil ke Bangladesh dalam kondisi buruk. Sebagian besar telah berjalan berhari-hari dari desa mereka, bersembunyi di hutan dan menyeberangi pegunungan dan sungai.
“Mereka lapar, lemah, dan sakit,” tutur Duniya.
Gelombang pengungsi baru bertebaran di pelbagai lokasi di tenggara Bangladesh. Lebih dari 30.000 orang Rohingya diperkirakan telah mencari perlindungan di kamp pengungsi Kutupalong dan Nayapara.
Sisanya tersebar di penampungan sementara di beberapa desa di kawasan perbatasan Bangladesh-Myanmar. Diperkirakan, masih banyak ribuan pengungsi lain yang masih tertahan dan tak bisa masuk Bangladesh.
“Kami terus melakukan advokasi dengan pihak berwenang Bangladesh untuk mengizinkan jalan yang aman bagi orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan," harap UNHCR.
Memblokir Bala bantuan
Anuwar adalah mahasiswa semester II jurusan Fisika, Univesitas Sittwe. Ia mesti segera pulang ke Tumbru, Maungdaw, sesudah kerusuhan. Desanya dibakar habis oleh milisi Buddha dan militer Myanmar; beberapa anggota keluarganya dibunuh dan nasibnya tak jelas entah kemana.
Lewat akun Facebook, ia sering mengabarkan kondisi terbaru apa yang terjadi di Maungdaw. Sejak sepekan lalu, Anuwar berhasil memasuki Bangladesh.
"Saya sudah masuk Bangladesh setelah empat hari tertahan di perbatasan, doakan saya," katanya lewat pesan pendek kepada saya.
Sittwe adalah ibu kota Provinsi Rakhine, letaknya 100 kilometer ke arah tenggara dari Maungdaw. Di Sittwe, Anuwar sering bekerja membantu beberapa LSM internasional untuk "menyelundupkan" bala bantuan ke daerah utara Rakhine. Selama ini, daerah-daerah seperti Maungdaw, Buthidaung, Zawmadar, dan Al le Than Kway, memang minim bala bantuan dari luar.
Kata Anuwar, daerah utara Rakhine berstatus wilayah pemukiman, berbeda dari kawasan Sittwe yang ditetapkan junta militer sebagai kawasan pengungsi.
Saat ini di Sittwe terdapat lebih dari 20.000 hingga 25.000 kepala keluarga atau 130.000 - 150.000 pengungsi yang ditampung di dalam 15 kamp terpisah.
Saat konflik Rohingya meletus pada 2012 dan 2016, kerusuhan terpusat di sekitar Sittwe, yang makin menyuburkan kamp-kamp pengungsi baru.
"Selama ini bantuan dari dunia luar memang terpusat di Sittwe. Pemerintah jarang membukakan akses bantuan ke daerah lain," katanya.
Sejak 2016, kawasan utara Rakhine mulai memanas lantaran milisi Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) semakin aktif melawan. Operasi militer kecil-kecilan sering dilakukan pihak militer.
Baca juga: ARSA dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar
Laporan pelanggaran kemanusiaan terhadap etnis Rohingya di Maungdaw dan Buthidaung acap kali terjadi, tetapi pemerintah Myanmar menutupi isu itu dengan mengisolir kawasan utara Rakhine dari sorotan LSM internasional. Mereka yang sempat ditolak masuk ke areal ini adalah perwakilan PBB dan Amnesty International pada awal 2017.
Beberapa LSM internasional mencoba mengakalinya dengan menyelundupkan bantuan secara sembunyi-sembunyi.
Menurut Anuwar, barang yang dibawa dari Sittwe biasanya dikawal oleh oknum militer yang bisa disogok.
"Kami harus menyogok para biksu dan pejabat militer untuk mendapatkan akses itu," tambahnya.
Terkadang koordinasi dilakukan dengan pemerintah lokal setempat, dan tentu saja dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
"Mereka biasanya akan mengizinkan jika 60-70 persen bantuan diserahkan kepada biksu juga. Di sana memang daerah miskin, dan yang membutuhkan memang tidak hanya etnis Rohingya," kata Anuwar lagi.
Sejak konflik meletus pada 25 Agustus lalu, seorang pejabat PBB kepada The Guardian menyebut rezim junta militer Myanmar telah memblokir semua badan bantuan PBB untuk memberikan pasokan makanan, air, dan obat-obatan penting kepada ribuan warga sipil yang putus asa di kawasan utara Rakhine.
Pergerakan beberapa LSM internasional pun dibatasi. Ini adalah ekses tudingan pemerintah yang menyebut beberapa LSM terlibat menyalurkan bantuan kepada “milisi pemberontak. “
"Kami mendesak semua pemangku kepentingan menghentikan penyebaran keliru yang tidak hanya memperburuk ketegangan, tetapi juga mengancam keselamatan dan keamanan pekerja bantuan kemanusiaan dan menghambat menyediakan layanan kemanusiaan," ujar asosiasi LSM internasional dalam keterangan pers.
"Kami meminta pemerintah Myanmar membuka kembali akses terhadap daerah yang terpapar dampak konflik," harap mereka.
Perlu Menyogok agar Bantuan Tersalurkan
Setelah tiba di Bangladesh, Anuwar berjumpa dengan LSM internasional yang mempekerjakannya di Sittwe. Akses tertutup ke utara Rakhine membikin banyak LSM internasional kini mengalihkan operasinya ke perbatasan Bangladesh di Cox's Bazar, khususnya Kamp Leda dan Nayapara.
Dua kamp ini terletak di pesisir sungai Naf. Sungai inilah yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh. Ribuan muslim Rohingya nekat menyeberangi sungai agar bisa keluar dari teritori Myanmar. Banyak di antara mereka tewas ketika menyeberangi sungai Naf.
Lebih ke utara kamp lain adalah Kutopalong, Ukhia. "Saya di Kutopalong, dari desa saya di Tumbru tidak perlu menyeberangi sungai untuk bisa melintasi Bangladesh. Hanya jalur darat. Tapi lebih berbahaya kami yang tidak bisa sembarang menyeberang karena tentara Myanmar berjaga di perbatasan dan terkadang menembaki kami," kata Anuwar.
Di Kutopalong, ia sempat diminta kembali ke perbatasan bersama seorang staf lokal dari Bangladesh. Tugasnya memberikan sedikit bantuan makanan kepada mereka yang masih tertahan.
"Jumlahnya sedikit, tidak banyak, hanya satu atau dua karung. Dan isinya hanya makanan," ungkapnya.
Untuk bisa masuk tentu tidak mudah, karena meski menyogok tentara perbatasan, baik tentara Myanmar maupun tentara Bangladesh. “Biaya sogok terkadang lebih besar ketimbang barang yang kami bawa,” ujar Anuwar.
Apakah Dibuka Akses Membuat Bantuan Jatuh ke Tangan yang Tepat?
Dalam konteks konflik di kawasan utara Rakhine yang terjadi baru-baru ini, alur bantuan memang lebih difokuskan di perbatasan Bangladesh ketimbang lewat jalur Myanmar. Opsi ini dinilai lebih realistis agar bantuan bisa tepat sesuai sasaran. Pilihan inilah yang diambil oleh lembaga bantuan asal Indonesia, Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Wakil presiden senior ACT, Syuhelmaidi Syukur, mengatakan sejak akses ke utara Rakhine tertutup pada 2016, pihaknya mulai mengalihkan bantuan ke Bangladesh.
"Bukan berarti kami masuk ilegal ke Myanmar, toh di Bangladesh juga banyak pengungsi Rohingya, jumlahnya ratusan ribu," katanya kepada saya di Jakarta.
Upaya untuk menembus Maungdaw sempat dilakukan pada 2016. Dan akses itu terbuka setelah diplomasi politik Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan pusat pemerintahan Myanmar di Naypyidaw. Sebelum berdiplomasi, Menlu Retno Marsudi terlebih dulu mengoordinasikan beberapa LSM yang sering mengirim bantuan ke Myanmar.
Namun, kata Syuhelmaidi, aliansi ini tidak berjalan optimal. Sebab, meski bisa menembus Maungdaw dan Buthidaung, akses yang diberikan militer tetap saja terbatas. Militer tetap mengawasi dan mengontrol alur distribusi bantuan.
"Kami enggak bisa memberi ke siapa yang ingin kami bantu. Kami ingin bantuan kami jatuh ke tangan yang betul-betul membutuhkan. Karena enggak maksimal, kami tidak terlibat lagi dan mengalihkan ke Bangladesh," ucapnya.
Direktur Eksekutif Burma Human Right Network (BHRN), Kyaw Win, kepada saya mengatakan bahwa biasanya distribusi bantuan internasional yang disalurkan lewat pemerintah terlebih dulu disortir.
"Hampir 40 persen bantuan untuk etnis Rakhine dan 60 persen untuk Rohingya. Namun, di saat genting seperti ini, militer menutup semua akses bantuan kepada Rohingya di seluruh provinsi Rakhine, tidak semata di kawasan utara saja," katanya.
Hal senada dikatakan Joserizal Jurnalis dari lembaga Mer-C. "Militer biasanya menyarankan bantuan diberikan kepada kedua belah pihak. Ada juga memang pengungsi Buddha, tapi jumlahnya teramat kecil dibanding Rohingya," ujarnya.
Ia mengatakan, alur bantuan ke Myanmar akan lebih mudah jika dilakukan secara legal—artinya lapor terlebih dulu ke pemerintah lokal dan militer. Pada beberapa kasus, banyak juga LSM internasional yang diusir.
"Kalau kami terang-terangan. Tampak muka dan lobi. Awalnya militer memang kaku, tetapi mereka juga bisa bercanda. Intinya, bantuan harus diketahui," ujar Joserizal.
Meski begitu, ujar Joserizal, biasanya militer akan terlibat langsung mengawal bantuan. Dan terkadang meminta bantuan diberikan kepada non-Rohingya.
Aliansi Bantuan dari Indonesia lewat Kemenlu
Kementerian Luar Negeri pekan lalu membentuk Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM). Aliansi ini terdiri 11 lembaga kemanusiaan. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama terlibat bersama dengan ACT, Rumah Zakat, Dompet Duafa, dan PKPU yang pernah lebih dulu menyalurkan bantuan ke Rohingya.
Ketika ditanya soal program AKIM, Syuhalmaedi dari ACT mengatatan belum tahu detailnya seperti apa. "Kami hanya diundang saja oleh Kemenlu," katanya.
AKIM disebut menjadi "kepanjangan tangan" Kemenlu dan pemerintah Indonesia untuk menyalurkan bantuan di Rakhine. Hubungan ini membikin LSM Indonesia akan semakin intens dengan junta militer.
Ali Yusuf, Ketua AKIM yang juga perwakilan LPBI NU, menyebut AKIM akan memiliki kelebihan tersendiri saat mengurus izin.
"Adanya AKIM jadi bisa lebih cepat, sekali izin 11 lembaga ini bisa langsung jalan," tuturnya kepada saya, kemarin (5/9).
Ketika ditanya soal pengawasan distribusi bantuan agar tepat sasaran dan tidak terfokus di Sittwe, Ali menampik kekhawatiran itu. Menurutnya, pemerintah Myanmar sudah sepakat bahwa mereka akan membuka akses seluas-luasnya di Sittwe dan Maungdaw.
"Itulah pentingnya diplomasi pemerintah. Kita manfaatkan," tambah Ali.
Kyaw Win dari BHRN berkata baru mendengar soal rencana dibukanya akses ke utara Rakhine. Ia paham ini adalah imbas positif dari pertemuan antara Menlu Retno Marsudi dan Aung San Suu Kyi. Namun, ia menilai, hal ini hanyalah “basa-basi politik.”
"Saya tidak yakin mereka akan mengizinkan bantuan masuk," ucapnya.
'Keberhasilan' diplomasi politik Indonesia untuk meminta dibukakan akses bantuan dan penghentian kekerasan disikapi penuh optimisme dan pesimisme oleh beberapa LSM internasional di Myanmar.
Mereka yang optimis mengharapkan Indonesia jadi pendobrak awal blokade bantuan kemanusiaan. Bagi yang pesimis, penerimaan Menlu Indonesia oleh Aung San Suu Kyi tidak akan mengubah apa pun.
Toh, jika pun diterima, belum tentu didengar; dan bila didengar, belum tentu dilakukan. Dan jika dilakukan, belum tentu pemerintah Myanmar serius melakukannya.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam