tirto.id - Duta besar Indonesia untuk Myanmar, Komisaris Jenderal Purnawirawan Ito Sumardi Djunisanyoto, mengirim foto dan video dari krisis kemanusiaan terhadap muslim Rohingya.
Video pertama yang ia kirim berisi sekelompok orang yang berjalan seraya menenteng senjata laras panjang sambil berseru takbir. Video selanjutnya adalah provokasi dari sekelompok orang bersenjata tadi di pemukiman warga Rohingya.
“Ini kelompok ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) yang melakukan penyerangan tanggal 25 Agustus kemarin,” ujar Ito melalui pesan seluler, Selasa kemarin (5/9).
Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA)—yang disebut Ito—adalah kelompok militan yang menyerang sedikitnya dua lusin pos polisi dan pemeriksaan serta satu pangkalan militer di tiga kota kecil di utara Negara Bagian Rakhine, demikian Burma Human Rights Network (BHRN) dan Human Rights Watch (HRW).
Militer Myanmar—yang mengecap ARSA sebagai “teroris”—lantas melakukan serangan balasan, yang diorkestrasi oleh Panglima Militer Min Aung Hlaing. Operasi militer ini tak cuma menyasar para milisi melainkan juga mendorong eskalasi kejahatan kemanusiaan terhadap muslim Rohingya. Dampaknya, menurut taksiran Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari 400.000 orang Rohingya menyeberang ke Bangladesh dan ribuan lain terkatung-katung di antara wilayah perbatasan.
Baca juga: ARSA dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar
Muslim Rohingya disebut-sebut sebagai minoritas paling tertindas di dunia, dan status etnisnya tidak diakui oleh pemerintah. Sejak 1970-an, hampir 1 juta muslim Rohingya mengungsi dari Myanmar—termasuk ke Indonesia—lantaran persekusi negara yang sistematis dan meluas.
Menurut laporan BHRN, pemerintahan junta militer Myanmar dan Aung San Suu Kyi telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Rohingya, di antaranya: tidak mengakui mereka sebagai warga negara, menghancurkan masjid dan melarang mereka memperbaikinya; menyulut siar kebencian anti-Islam; mengurung mereka ke kamp-kamp perkampungan lewat aksi kekerasan; menyebarkan kampanye “perkampungan bebas muslim”; dan melancarkan operasi militer terhadap muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Krisis terbaru ini berselang ketika Komisi HAM Rakhine, yang dipimpin Kofi Annan, baru saja melansir penyelidikan dan rekomendasi atas situasi serupa tahun lalu, termasuk di antaranya menyoroti kewarganegaraan dan kebebasan bergerak Rohingya—yang juga jadi keluhan utama kelompok militan ARSA.
Di Indonesia, krisis Rohingya ditanggapi desakan ekstrem agar pemerintahan Jokowi memutus hubungan diplomatik dengan Myanmar. Atas seruan ini, termasuk oleh para demonstran di depan Kedubes Myanmar di Jakarta, Ito Sumardi merespons bahwa hal macam itu akan bikin “kita tidak bisa masuk dan menolong Rohingya.”
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah berkomunikasi dengan otoritas Myanmar. Menlu Retno telah bertemu dengan petinggi militer dan Aung San Suu Kyi. Hasil dari langkah diplomasi ini, di antara hal lain, menyepakati agar pemerintah Myanmar menghentikan tindakan represif terhadap muslim Rohingya serta membuka pintu bagi bantuan kemanusiaan.
Berikut wawancara Ito Sumardi kepada Arbi Sumandoyo dari Tirto selama 26 menit melalui sambungan telepon mengenai krisis Rohingya terbaru serta upaya pemerintah Indonesia meredam pembantaian dan pembersihan etnis di Myanmar.
Ada tekanan agar Indonesia bertindak ekstrem, yakni memutus hubungan diplomatik dengan Myanmar, bagaimana menurut Anda?
Jadi kita mesti melihat lebih dulu hubungan antar-negara. Kalau kita memutuskan hubungan diplomatik, apakah kita bisa masuk ke negara itu untuk memberikan saran, untuk memberikan masukan? Kalau memutus hubungan, mereka pasti sudah tertutup, dong? Jadi kadang-kadang ini pendapat yang emosional dan tidak berdasarkan norma.
Justru akan memperkeruh suasana?
Kita tidak akan bisa masuk menolong Rohingya. Apa yang dilakukan oleh Ibu Menteri (Retno Marsudi) ini luar biasa. Satu-satunya perwakilan negara yang bisa masuk. Nah, kalau kita memutuskan hubungan, mereka (muslim Rohingya) makin menderita. Selama empat tahun saya di sini, mereka itu hidup seadanya, makan seadanya.
Misalnya peristiwa tahun lalu, 9 Oktober. Terjadi penyerangan terhadap polisi. Polisinya mati semua dan senjatanya diambil oleh kelompok ARSA. Ibu Menlu dengan saya langsung action, memberi bantuan kemanusiaan dan bertemu dengan Aung San Suu Kyi selama empat jam. Kami meyakinkan agar operasi militer dihentikan. Kemudian ada pemulihan situasi. Situasi sekarang hampir seperti tahun lalu itu.
Apa yang terbaru dari konflik Rohingya saat ini?
Jadi, pada 25 Agustus, pemerintah Myanmar mengklaim sebagai Black Friday. Ada penyerangan terhadap polisi. Mobil polisi habis semua, fotonya ada. Kemudian ada mayat-mayat polisi. Nah, terjadi pembunuhan, pembakaran, pemerkosaan yang akhirnya penduduk itu mengungsi.
Saya bukan menilai, tapi menyampaikan fakta. Jadi yang nyerang itu siapa, yang memprovokasi di kampung Rohingya? Kemudian masyarakat terprovokasi.
Di Indonesia, bila terjadi seperti itu, tentu kita kirim polisi atau tentara. Pasti, kan, dampaknya ada. Hanya berbeda penanganan di Indonesia dengan di Myanmar. Mereka dari segi profesionalisme masih kurang. Terjadi eksodus besar-besaran.
Kalau kita emosional, kita tidak akan bisa masuk. Dengan formula diplomasi, kita tekankan salah satunya adalah hentikan kekerasan. Sekitar tiga hari lalu sudah tidak ada lagi kontak senjata. Mereka sudah lari ke gunung.
Sekarang pemerintah Myanmar ingin mencari pelaku-pelaku penyerangan itu.
Artinya sejauh ini peran Indonesia efektif?
Sangat efektif. Bahkan, salah poin kesepakatan adalah segera diberikan akses untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan.
Di Indonesia, konflik Rohingya dianggap terutama terkait agama, tanggapan Anda?
Bukan agama sama sekali. Tentu kita juga harus melihat, bagaimana sulitnya seorang peraih Nobel Perdamaian menjadi pemimpin negara dan belum bisa mengendalikan sepenuhnya negara itu. Kan, pihak militer belum menyatu secara penuh dan beda dengan Indonesia.
Apa yang membuat Indonesia sebagai satu-satunya negara yang bisa masuk ke Myanmar?
Ada dua yang dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama, Indonesia tidak melakukan diplomasi kasar, tidak teriak-teriak. Dan ini disampaikan langsung oleh Aung San Suu Kyi, “Kalau mau membantu Myanmar, jangan cuma teriak-teriak.” Mau bantu tapi tidak—ini termasuk Uni Eropa. Kalau Indonesia, kita tidak hanya berbicara, tetapi membantu.
Kedua, pendekatan inklusif. Saya melaporkan ke Ibu Menlu, “Ibu, yang miskin itu bukan hanya warga Rohingya, tetapi penduduk di sekitarnya." Sehingga kita memberikan bantuan kepada masyarakat di sana, tidak hanya Rohingya.
Pada Desember lalu, Anda menemani Menlu Retno bertemu Aung San Suu Kyi, apa yang isi pembicaraannya?
Pemerintahan Myanmar menghargai kepedulian Indonesia sebagai negara sahabat. Dan satu hal, pemerintah Myanmar menerima karena pemerintah Indonesia tulus membantu, tanpa ada apa-apa.
Kita sebagai negara berdaulat, tidak mau didikte, tidak mau ditekan, ya kan? Sekecil apa pun negara, pasti mereka tidak mau ditekan atau didikte. Nah, kita tidak pernah mendikte atau menekan, tetapi kita hanya menyarankan. Meskipun itu bahasa halus, tetapi sebetulnya subtansinya menekan. Waktu pertemuan itu, Ibu Menlu menyampaikan telah terjadi tragedi kemanusiaan, dan mereka bisa menerima.
Kenapa tragedi kemanusiaan? Karena tragedi ini bukan hanya Rohingya, tetapi penduduk lokal mengalami hal sama. Kedua, Ibu Menlu membawa pesan seluruh bangsa dan pemerintah Indonesia serta mewakili dunia internasional. Ibu Menlu menekankan, ia datang bukan hanya membawa pemerintah Indonesia, tetapi mengatasnamakan dunia internasional.
Itulah gaya diplomasi Ibu Menlu. Dan mereka meminta tolong kepada kita untuk difasilitasi ke Bangladesh. Tadi pagi Ibu Menlu mengubah jadwal, yang harusnya ke Singapura menemani presiden, sekarang di Bangladesh untuk bertemu dengan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Bangladesh dalam rangka mengirim bantuan kemanusiaan. Karena pintu masuk bantuan kemanusiaan untuk Myanmar dari sana.
Itu atas permintaan Aung San Suu Kyi?
Iya. Bu Menlu berharap dan harus meminta izin, apakah diizinkan memberikan bantuan. Jadi kamu bisa sampaikan kepada pemerintahan Bangladesh supaya bisa sama-sama menangani masalah ini. Karena etnis Rohingya tidak bisa lepas dari Bangladesh. Pemerintah Bangladesh tidak bisa lepas tangan—apa pun.
Berapa jumlah bantuan yang masih tertahan?
Dari aliansi kemanusiaan Indonesia, sekitar dua juta dolar AS, tetapi kita menuangkan dalam bentuk obat-obatan dan bahan pangan. Cuma saat ini, untuk menyalurkan bantuan, tidak bisa menggunakan jalur darat karena ditanami ranjau oleh kelompok ARSA. Tadi pagi satu meledak. Jadi ada orang yang melintas di jalan itu, kakinya putus terkena ranjau. Pihak militer mencoba mengirim bantuan ke sana, tetapi helikopter mereka ditembaki.
Kemarin Menlu bertemu pihak milter Myanmar, apa hasilnya?
Sangat positif karena Ibu Menlu masuk ke pembicaraan lewat sisi kemanusiaan. Kita sudah membangun enam sekolah, rumah sakit, memberikan bantuan kemanusiaan dan memberikan generator.
Apa pernyataan resmi dari pertemuan dengan Aung San Suu Kyi?
Ibu Menlu menyampaikan: pertama, kembalikan ke stabilitas keamanan; kedua, menahan diri supaya jangan ada kekerasan; ketiga, memberikan perlindungan kepada semua warga tanpa melihat entis dan agama; dan keempat, memberikan akses bagi bantuan kemanusiaan. Satu lagi, bagaimana segera mengimplementasikan temuan dari mantan sekjen PBB Kofi Annan. Itu sudah disetujui semua.
Dalam pandangan Anda, bagaimana melihat milisi ARSA dari krisis Rohingya sekarang?
Ini kelompok militan yang tadinya meminta sesuatu, bergeser menjadi permintaan nasionalisasi, dan saat ini menginginkan negara demokrasi Rohingya. Ini pembeda masalahnya dari tahun lalu.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam