tirto.id - Negara Bagian Rakhine di Myanmar yang menjadi tempat tinggal orang-orang etnis Rohingya kembali memanas.
Pemerintah Myanmar, melalui pasukan militernya, menyerang pemukiman warga Rohingya pada Kamis (31/8) malam atau Jumat (1/8) pekan lalu. Dilansir dari ABC, sudah ada 130 orang dikabarkan meninggal akibat penyerangan tersebut.
Berdasarkan Persatuan Bangsa-Bangsa, seperti dikutip dari CNN, hampir 50.000 warga Rohingya melarikan diri dari konflik tersebut. Sekitar 27.000 orang melintasi Bangladesh, sementara 20.000 warga Rohingya masih tersesat di Asia Tenggara.
Penyerangan brutal ini menandai kekerasan level baru dibanding kasus serupa pada 2012 dan 2016. Baru-baru ini pasukan militer Myanmar memasuki salah satu areal warga Rohingya, menghancurkan setidaknya 1.500 bangunan (kebanyakan rumah) dan menembaki orang dewasa yang tak memanggul senjata, perempuan, hingga anak-anak. Warga lain yang selamat tetap mendapat perlakuan keras yang merendahkan martabat manusia.
Dunia yang terkejut sekaligus geram kebanyakan diberi narasi konflik antar-agama dan antar-etnis oleh media massa arus utama.
John McKisick, kepala organisasi untuk pengungsi PBB, mengatakan pemerintah Myanmar sedang melaksanakan pembersihan etnis. Kesimpulan Human Right Watch juga sama. Sementara publik di Indonesia banyak yang mereduksi apa yang terjadi di Rakhine sebagai genosida sistematis dengan korban warga muslim Rohingya sehingga memunculkan sentimen SARA bermodalkan hoax.
Baca juga: Membunuh Rohingya Secara Diam-Diam
Saskia Sassen, profesor Sosiologi di Columbia University dan penulis Expulsions: Brutality and Complexity in the Global Economy (2014), menilai konflik antar-agama di Rakhine adalah puncak gunung es dari akar masalah yang lain, yakni konflik perebutan lahan dan sumber daya alam. Pelaku utamanya adalah pemerintah Myanmar dan rezim militernya yang masih kuat bercokol di tubuh pemerintahan hingga saat ini.
Myanmar, tulis Sassen di The Guardian, adalah salah satu negara di Asia yang mayoritas masyarakatnya masih menggantungkan pekerjaan di sektor agrikultur, pertambangan, dan ekstraksi air sederhana. Di sisi lain, Myanmar menyimpan potensi sumber daya alam yang melimpah, salah satunya gas alam. Apalagi posisi Myanmar berada di antara dua raksasa Asia, Cina dan India, yang sedang lapar-laparnya terhadap pelbagai macam SDA untuk modal akselerasi pembangunannya.
2012: Masa Genting bagi Rohingya, Tahun Penting bagi Investor Asing
Tahun 2012 adalah tahun penting bagi awal mula makin panasnya konflik lahan di Myanmar. Undang-Undang Petani pernah disahkan pada 1963 atau di era Myanmar cenderung sosialis. Tujuannya untuk melindungi lahan dan penghidupan petani kecil di seluruh negeri. Sayangnya, pada 2012, UU ini dibatalkan oleh parlemen Myanmar (yang sejak tahun lalu didominasi oleh kalangan militer).
Pada 30 Maret 2012, parlemen Myanmar juga menerbitkan revisi atas dua undang-undang pertanahan, yakni UU Pertanian dan UU Lahan Kosong. Keduanya mengizinkan 100 persen modal asing dengan masa sewa lahan hingga 70 tahun.
Baca juga: Kongsi Dagang Keluarga Soeharto dan Junta Militer Myanmar
Dibandingkan pertambangan, sektor pertanian masih memiliki sejumlah batasan untuk investasi asing karena pemerintah mempromosikan usaha patungan dengan menggaet pengusaha lokal. Namun, UU ini memunculkan para pemodal asing nakal yang sering menggunakan perusahaan lokal sebagai proxy dalam upaya menanamkan investasi, demikian dalam laporan Forest Trend Report Series.
Sebagian besar penduduk Myanmar menggantungkan hidupnya di ranah agrikultur. Demikian pula etnis Rohingya, yang kebetulan mayoritas beragama Islam. Jika pun tak memiliki tanah, mereka tetap menggantungkan profesinya sebagai buruh tani dengan pendapatan tak seberapa.
Sejak UU pro-investor diterbitkan pada 2012, gelombang pebisnis multinasional membanjiri Myanmar. Mereka diuntungkan sebab didukung rezim militer saat akan mengambil alih lahan para petani. Sebuah praktik yang sebenarnya telah dimulai sejak era 1990-an. Praktik ini berlangsung kejam, sebab rata-rata petani tak mendapat ganti rugi dan, jika melawan, akan mendapat intimidasi hingga timah panas, tulis Sassen merujuk pada data COHRE Country Report.
Pada saat bersamaan, tahun 2012 juga tahun paling berdarah bagi orang-orang Rohingya. Konflik berdarah meletus yang membuat hampir 100 orang (sebagian besar muslim Rohingya, sisanya warga Buddha) meninggal dan 90.000 lain dipaksa meninggalkan rumahnya. Hampir 3.000 bangunan dibakar, dan 1.300-nya milik warga Rohingya dan sisanya milik warga Rakhine yang menganut agama Buddha.
Orang-orang Rohingya sudah terbiasa diintimidasi sejak lama. Namun, mereka mulai meninggalkan Myanmar dalam jumlah besar usai tragedi tersebut. PBB memperkirakan jumlah imigran Rohingya, yang dijuluki manusia perahu, kurang lebih 160.000 orang. Mereka meminta belas kasihan dari negara-negara tetangga seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, dan negara moyang mereka, Bangladesh.
Baca juga: Suara Indonesia untuk Rohingya
Mayoritas media massa saat itu membingkai peristiwa tersebut dengan pendekatan konflik antar-agama. Namun, Sassen menilai kasus ini juga berakar pada kebijakan alih fungsi lahan yang dijalankan pemerintah Myanmar melalui pasukan militer.
Sassen berkaca pada data COHRE Country Report yang menunjukkan alokasi luas lahan untuk proyek pemerintah meningkat 170 persen antara 2010-2013. Tragedi Rohingya pada 2012, menurut Sassen, bukanlah kejadian insidental tanpa ada campur tangan negara.
“Kita harus bertanya apakah penganiayaan yang kejam terhadap kelompok Rohingya (dan kelompok minoritas lain) juga disebabkan oleh kepentingan ekonomi-militer, bukan hanya karena isu agama atau etnis. Sampai batas tertentu, fokus dunia internasional pada isu agama menutupi kasus perampasan lahan yang luas dan telah memengaruhi jutaan orang, termasuk warga etnis Rohingya” tegas Sassen.
Sassen menilai, mengeluarkan warga Rohingya dari tanah airnya akan bagus untuk bisnis di masa depan.
Baru-baru ini, catat Sassen, pemerintah Myanmar telah mengalokasikan 1.268.077 hektare lahan di wilayah tempat tinggal warga Rohingya di Rakhine untuk pengembangan program pembangunan tempat tinggal perusahaan. Luasnya melonjak dibanding alokasi yang disebut pemerintah pada 2012, yakni 7.000 hektare.
Modal Asing Mengalir ke Rakhine, Suara Kritis Bermunculan
Selain mengusir pemilik lahan yang ditargetkan akan dipakai untuk investasi, pemerintah Myanmar aktif menarik minat pemodal asing. Sebagaimana diberitakan Bloomberg pada pertengahan Februari lalu, pemerintahan yang dipimpin Aung San Suu Kyi kembali menggiatkan promosi kerja sama ekonomi kepada pebisnis dunia, terutama negara-negara tetangga.
Suu Kyi dan jajaran birokrat Myanmar lain menilai langkah ini akan efektif menanggulangi konflik di Rakhine yang makin panas. Klaim ini dibantah mentah-mentah oleh pelbagai pihak yang kritis terhadap pemerintah, termasuk perwakilan PBB di Myanmar, Yanghee Lee.
Baca juga: Perlukah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi Dicabut?
Terlepas dari klaim-klaim itu, investasi asing memang benar-benar datang ke Myanmar dalam beberapa tahun terakhir. Perwakilan dari Thailand, misalnya, dua tahun lalu berkunjung ke Negara Bagian Rakhine untuk melihat potensi bisnis alam di daerah Ngapali, Thande, Kyaukpyu, Sittwe, dan Mrauk U.
Cina adalah salah satu investor asing yang paling "lapar" dalam menanamkan investasinya di Myanmar. Tahun lalu, CITIC Group memenangi kontrak untuk membangun pelabuhan di Kyaukpyu, Rakhine, daerah berbatasan langsung dengan Bangladesh di utara dan Teluk Benggala di barat.
Kyaupyu sangat diminati Cina karena hubungan darat dengan Myanmar dapat mengurangi ketergantungan Cina atas perjalanan lebih jauh melewati Selat Malaka. Dengan cukup melewati Kyaupyu, perjalanan membawa barang dagangan dari India ke Cina bisa dihemat hingga 5.000 kilometer. Upaya mendiversifikasi rute pengiriman barang sekaligus meningkatkan pengaruh ekonomi di negara-negara tetangga adalah salah satu dorongan utama dalam inisiatif “One Belt One Road” Cina.
Meski terkait misi “One Belt One Road”, pengaruh investasi Cina di Myanmar sesungguhnya telah terasa sejak 2009. Saat itu Kementerian Energi Myanmar menandatangani nota kesepahaman dengan China National Petroleum Corp. (CNPC) atas pembangunan pipa minyak yang menghubungkan Pulau Maday di Kyaukpyu dan Provinsi Yunan di Cina.
Pada tahun yang sama CITIC Group menandatangani Nota Kesepahaman yang terpisah dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ekonomi Myanmar untuk membangun jaringan pelabuhan laut dan kereta api di Zona Ekonomi Khusus Kyaukpyu. Proyek ini dikabarkan tak pernah terealisasikan hingga MoU-nya kedaluwarsa pada 2014.
Salah satu penyebabnya ditengarai ada elemen rakyat Myanmar yang kritis terhadap Zona Ekonomi Khusus Kyaukpyu di Negara Bagian Rakhine, terutama mereka yang berkecimpung sebagai aktivis lingkungan. Pokok kritikannya lagi-lagi soal lahan. Sebagaimana dilaporkan The Diplomat, salah satu anggota legislatif Myanmar, Ba Shin, menyatakan kekhawatirannya pada Reuters:
“Tak ada kejelasan lahan siapa yang akan disita, di atas lahan siapa proyek tersebut akan dibangun, dan bagaimana mereka (pemilik lahan) akan diberi kompensasi... Tidak ada yang diketahui tentang potensi pengembang dan investor. Ada kekhawatiran dan keraguan yang berkembang di kalangan masyarakat karena kurangnya transparansi."
Selain minyak, Myanmar juga kaya gas alam. Menurut data yang dirilis Perusahaan Gas dan Minyak Myanmar (MOGE) dan disadur Marie Lall dalam ulasannya bertajuk “Indo-Myanmar Relations in the Era of Pipeline Diplomacy”, Myanmar punya cadangan 51 triliun kaki kubik (tfc) di ladang lepas pantai seberang Thailand dan Bangladesh—temasuk wilayah laut Negara Bagian Rakhine.
Menurut paparan Lall, ekstraksi dan ekspor gas alam Myanmar di kedua lepas pantai telah dilakukan sejak era 1980-an. Ekspornya dulu masih di negara-negara tetangga seperti Thailand, sebelum akhirnya dilepas lebih jauh lagi.
Namun, dalam proses ini, ada campur tangan asing seperti Daewoo dan Perusahaan Gas Korea (Kogas), perusahaan pengeboran asal Korea Selatan, dan dua lain dari India, ONGC Videsh Limited (OVL) dan Otoritas Gas India (GAIL). Perusahaan-perusahaan inilah yang menanamkan pipa-pipa penyalur gas sepanjang Rakhine.
Investasi asing juga kerap jadi sumber derita dalam bentuk kerja paksa di Rakhine. Menurut sumber kredibel yang dikutip Lall, pada 2004, Konfederasi Internasional Serikat Pekerja Bebas (ICFTU) mengklaim ada praktik kerja paksa untuk pembangunan jalan dan barak militer, dan bukti dari kasus ini bisa dilihat secara faktual di Negara Bagian Rakhine dan Chin.
Aktivis Myanmar tak tinggal diam dalam situasi ini. Sebagaimana arsip Morningstar, akhir Februari kemarin, Ro Nay San Lwin, blogger dan salah satu pendiri gerakan online #WeAreAllRohingya, meminta agar perusahaan asing perlu berhenti berinvestasi di Myanmar. Investasi, dalam pandangannya, jadi salah satu faktor utama mengapa diskriminasi negara terhadap minoritas muslim Rohingya terus berlangsung.
"Kita tidak bisa memaksa pemerintah Barat untuk memberikan sanksi kepada Myanmar, tapi kita bisa berbicara dengan bisnis. Kami ingin perusahaan multinasional dengan kepentingan bisnis di Myanmar memberi tekanan pada pemerintah," katanya.
Cuci Tangan Pemerintah Myanmar Lewat Politik Devide et Impera
Orang-orang Rohingya tergolong miskin. Lebih dari 78 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, demikian menurut Bank Dunia.
Rakhine adalah salah satu negara bagian Myanmar yang paling tidak berkembang, dengan lahan luas dan menyimpan potensi alam berlimpah. Kemiskinan memungkinkan pengusiran orang-orang malang itu demi membuat ruang bisnis bagi proyek-proyek pembangunan negara maupun perusahaan asing.
Pada akhirnya, menurut Sassen, ada dua fungsi dari kebijakan pengusiran orang Rohingya.
Pertama, untuk mengambil alih lahan serta segala sumber daya yang terkandung di dalamnya. Agar penguasaan ini bersifat permanen, pengusiran warga Rohingya juga harus permanen. Inilah mengapa tentara Myanmar tak hanya mempersekusi warga Rohingya, tetapi juga membakar rumah dan bangunan penting milik mereka. Tak ada yang namanya tanah air jika rumah sudah rata tanah dan berganti bangunan yang merepresentasikan proyek pemerintah dan swasta.
Kedua, pemerintah Myanmar tahu—dan keadaan di lapangan juga menunjukkan—bahwa korban dari perampasan lahan meliputi orang-orang Muslim, baik etnis Rohingya maupun bukan, juga umat Buddha yang jadi mayoritas di negara tersebut.
Agar perampasan lahan tidak menjadi isu utama yang berpotensi menggerakkan penduduk Rakhine dalam sebuah agenda ekonomi-politik yang padu, maka isunya dibelokkan menjadi menjadi konflik horizontal antar kelompok agama. Di banyak tempat, termasuk konflik Poso di Indonesia misalnya, framing konflik horizontal kerap dipakai untuk menjauhkan negara dan kebijakannya dari tanggung jawab meski ditengarai sebagai salah satu elemen yang memulai konflik.
Direktur Burma Human Rights Network (BHRN) Kyaw Win bersepakat dengan teori kedua. Dalam wawancara khusus bersama Tirto, ia berkata biksu-biksu di Myanmar yang sesungguhnya cinta damai dijadikan alat poltik oleh elite militer untuk mengusir orang-orang Rohingya dari tempat tinggalnya. Tujuannya adalah kontrol penuh, sehingga para biksu tersebut dibenturkan dengan umat Islam di Myanmar.
Baca juga: Kyaw Win: "Biksu di Myanmar Dijadikan Alat Politik Oleh Militer"
“Mereka hanya dijadikan alat politik. Dalam pidato-pidatonya, mereka akan cerita tentang kehancuran Buddha di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hal itu dijadikan alasan mengapa Rohingya harus dienyahkan dari negeri mereka, jika tidak, mereka yang akan tersingkir," jelas Kyaw Win.
"Ini yang didengar anak-anak hingga orang dewasa. Bayangan apa jadinya anak-anak ini sepuluh tahun mendatang, mereka akan sangat membenci Muslim.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS