tirto.id - Kisah mengerikan tentang kekejaman militer Myanmar dituturkan oleh orang-orang Rohingya dari Buthidaung, sebuah kotapraja di Negara Bagian Rakhine. Mereka menggambarkan beberapa desa terbakar jadi puing abu, anggota keluarga mereka dibunuh, desa mereka menjadi wilayah yang bersih dari umat muslim.
Sejak 3 September lalu, pasukan penjaga perbatasan Bangladesh membawa semua pengungsi yang melintasi perbatasan ke sebuah kamp darurat baru di Teknaf usai menyeberangi Sungai Naf.
Permukiman darurat baru di daerah Putibunia sekarang menjadi tempat penampungan bagi 10.000 pengungsi Rohingya.
Di permukiman sementara Putibunia, sekitar 100 keluarga dari Buthidaung telah melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Riajul Karim dan Mohammad Nosim, keduanya tinggal di jalur desa Taung Bazar di Buthidaung, mengatakan desa mereka memiliki 10.000 penduduk etnis Rohingya. Mereka mengklaim 250 orang di antaranya dibunuh oleh militer Myanmar.
“Yang lainnya melarikan diri dari desa,” kata Karim dan Nosim.
Karim berkata, "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana militer merampok desa kami, membakar rumah-rumah, dan membunuh orang-orang."
Militer datang ke desa-desa muslim etnis Rohingya untuk mencari baghi—istilah setempat untuk menyebut “pemberontak” Rohingya.
Bahkan Karim masih ingat dan bisa mengidentifikasi beberapa tetangganya yang dibunuh oleh militer Myanmar: Jaber, Mojibullah Mouluvi, Amir er Din, Omar Faruk, Abdul Aziz...
Orang-orang Rohingya mengungsi setelah kampung mereka dibakar dan diburu oleh pasukan militer Myanmar.
Taktik Bumi Hangus oleh Militer Myanmar
Ketika ditanya jenis senjata apa yang digunakan Tatmadaw, nama resmi militer Myanmar, saat beroperasi di desanya, Karim menjawab, "Mereka menggunakan peluncur roket. Dan berdiri 200 meter dari rumah dan meluncurkan roket itu ke rumah kami dan membuat rumah kami terbakar."
Melihat kampungnya luluh lantak dan nyawa terancam, Karim dan ribuan muslim Rohingya lain melarikan diri ke Bangladesh.
Mereka melintasi tiga gunung besar dan gunung kecil lain selama sebelas hari. Hingga akhirnya mereka bisa sampai ke perbatasan dan dibawa ke pemukiman pengungsi sementara oleh penjaga perbatasan Bangladesh.
Berdasarkan kesaksian orang-orang Rohingya yang kabur dari Buthidaung, orang-orang mogh—sebutan lokal untuk orang Buddha di Rakhine—ikut pula menyerang dengan parang sesaat setelah tentara menembakkan roket dan membakar rumah.
“Orang-orang mogh berteriak (kepada kami), 'Lari! Lari! Lari!” ujar Nosim.
Nosim mengatakan, setelah mendengar teriakan itu, orang-orang Rohingya lari kocar-kacir. Dan jika orang-orang mogh menemukan seorang Rohingya, ujarnya, mereka akan membacok si malang dengan parang. Itulah kenapa dari foto-foto korban di Rakhine, lazim ditemui mayat yang dipenuhi sayatan dan bacokan senjata tajam.
Serangan oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA/ Tentara Pembebasan Rohingya Arakan) terhadap pos pasukan keamanan Myanmar terjadi di Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung pada 25 Agustus. Dan diyakini bahwa ketiga kota kecil di Negara Bagian Rakhine ini terkena dampak paling parah akibat konflik terbaru ini.
"Kami harus sembunyi-sembunyi saat berjalan ratusan kilometer untuk sampai selamat ke Bangladesh," ujar pengungsi Rohingya.
Nasib Tak Tentu Orang Rohingya dari Rathedaung
Kontributor lepas Tirto di lapangan hingga kemarin, 6 September, hanya bisa berbicara dengan penduduk desa dari Buthidaung, yang telah menyeberang ke Bangladesh untuk mencari tempat berlindung. Mereka berkata bahwa orang-orang Rohingya dari Rathedaung diyakini membutuhkan dua hari lagi untuk sampai ke Bangladesh karena lokasinya sangat jauh untuk sampai ke perbatasan.
Orang-orang Rohingya dari Buthidaung yang selamat menyampaikan pesimismenya terhadap karavan manusia dari Rathedaung.
Agak sukar, kata mereka, orang Rohingya dari Rathedaung bisa menyeberang ke Bangladesh. Mereka harus melintasi daerah sungai dan perbukitan di bawah kendali militer Myanmar.
Rathedaung berjarak sekitar 54 km dari Buthidaung. Buthidaung berjarak sekitar 40 km dari Maungdaw. Dan Maungdaw berjarak kurang dari 10 km dari Bangladesh. Praktis pengungsi dari Rathedaung mesti menempuh sekitar 100 km perjalanan melalui hutan dan naik-turun perbukitan.
Kamp-kamp darurat baru seadanya di Teknaf dibuat untuk menampung ribuan pengungsi baru Rohingya.
Kisah Pilu Pengungsi dari Buthidaung
Orang-orang Rohingya sesekali harus menyeberangi sungai. Tentara Myanmar memusatkan kekuatan di tepi sungai dan perbukitan. Kabar terbaru menyebutkan pasukan di areal ini meminta bantuan pasukan udara untuk menghentikan eksodus pengungsi Rohingya. Orang Rohingya harus kucing-kucingan demi menyeret nyawa.
Beruntung bagi mereka yang bisa kabur. Tetapi bernasib celaka bagi yang bersua militer di tengah perjalanan, sebagaimana disaksikan oleh Nur Ankish.
Wanita berusia 21 tahun ini kabur dari Desa Khanjarpara, Buthidaung, “Militer Myanmar membawa kekuatan besar ke desa kami dan setidaknya membakar 200 rumah.”
“Militer telah menahan begitu banyak anggota laki-laki dari desa kami dan pertama-tama menempatkan mereka di suatu tempat sembari mengikat tangan ke belakang dan membawa mereka pergi," kisah Nur Ankish.
Ia juga mengatakan, terkadang di tempat yang sama, militer melepaskan tembakan ke orang-orang Rohingya.
Nur berkata, ia kehilangan beberapa kerabatnya, “Adik suamiku, Abdul Aziz; tetanggaku Mohammad Amin dan Mohammad Rafiq ditembak mati oleh militer Myanmar.”
Kisah nahas dialami pula oleh Kulsuma Khatun. Ia tiba ke Bangladesh baru-baru ini dan, sama seperti Nur, berasal dari Buthidaung. Ia duduk di bawah langit terbuka karena masih belum mendapatkan tempat layak di kamp sementara.
Kulsuma masih shock berat. Beberapa hari sebelumnya, anaknya, Mohammad Rafiq, tewas diterjang peluru panas militer Myanmar.
Kulsuma menuturkan bagaimana ia menyaksikan kematian anaknya. Ia pilu dan hanya bisa pasrah saat anaknya meregang nyawa dan ia tak punya kuasa untuk memberontak.
Jangankan memberontak, katanya, membantah pun ia kelu. Ia memilih membisu agar selamat dari orang-orang bersenjata di dekatnya.
“Anak laki-lakiku berusia 26 tahun terbunuh oleh militer tepat di depan mata. Militer datang ke rumahku dan mencari pemuda. Anakku dibawa ke luar rumah dan ditembak mati. Mereka langsung mencurigainya sebagai baghi.”
Krisis terbaru Rohingya membutuhkan bantuan kemanusiaan sesegera mungkin di perbatasan Bangladesh.
Trauma Parah bagi Anak-Anak
Menurut kesaksian pengungsi Rohingya, kekejian lain dari operasi militer Myanmar selama dua pekan terakhir juga menyebut bahwa Tatmadaw membawa anak-anak dari pelukan ibu untuk kemudian memisahkannya atau membunuhnya. Hal ini terjadi di empat desa di utara Maungdaw.
Informasi ini sejalan temuan UNICEF pada 4 September: setidaknya ada 26 anak tanpa pendamping dirawat oleh organisasi perlindungan anak PBB itu.
Anak-anak ini melewati perbatasan tanpa pendamping; sebagian dari orang tua dan keluarga mereka telah tewas. Pejabat UNICEF, Christophe Boulierac, berkata kemungkinan besar makin banyak temuan serupa di hari-hari mendatang.
Selain itu, ia mengatakan, banyak anak yang melarikan diri ke Bangladesh mengalami trauma psikososial yang parah.
Marium Begum, ibu dari seorang anak laki-laki berusia empat tahun, mengatakan anaknya mengalami trauma akut. Anaknya bergidik dan panik saat bertemu orang asing.
Ia mengatakan anaknya melihat rumahnya dibakar dan orang-orang yang menyayanginya disiksa dan dibunuh, termasuk ayahnya yang dibawa oleh militer Myanmar dan kini belum tahu apakah masih hidup atau sudah mati.
Pengungsi anak mengalami trauma akut akibat kekejaman terbaru militer Myanmar.
Krisis Terburuk Sejak 2012
Krisis Rohingya kali ini adalah ledakan terburuk dari tahun-tahun sebelumnya. Ada arus masuk besar pengungsi pada 2012, 2015, dan 2016; tetapi kali ini berbeda. Saat ini amat sedikit pria dewasa dan anak muda lelaki.
Informasi dari mulut ke mulut pengungsi menyatakan bahwa militer Myanmar secara membabibuta membunuh kaum pria dengan menudingnya sebagai baghi.
Pelapor Khusus PBB untuk Situasi Hak Asasi Manusia di Myanmar, Prof. Yanghee Lee kepada The Hinduberkata jumlah korban tewas bisa lebih dari 1.000 orang.
“Angka ini didapat dari seluruh wilayah utara Rakhine,” ujarnya, “tidak hanya dari beberapa desa.”
Ia juga mengonfirmasi rekaman citra satelit dari organisasi Human Rights Watch yang memperlihatkan kebakaran di kawasan utara Negara Bagian Rakhine.
"Saya bisa berkata bahwa video citra satelit Human Rights Watch baru-baru ini menunjukkan bahwa desa-desa dibakar di sepanjang perbatasan 100 km di Negara Bagian Rakhine. Sulit untuk berkata bahwa hanya sedikit yang terbunuh,” ujarnya.
Muslim Rohingya disebut-sebut sebagai minoritas etnis paling tertindas di dunia, dan status etnisnya tidak diakui oleh pemerintah Myanmar. Sejak 1970-an, hampir 1 juta muslim Rohingya mengungsi dari Myanmar—termasuk ke Indonesia—lantaran persekusi negara yang sistematis dan meluas.
Menurut laporan Burma Human Rights Network, pemerintah junta militer Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Rohingya, di antaranya: tidak mengakui mereka sebagai warga negara, menghancurkan masjid dan melarang mereka memperbaikinya; menyulut siar kebencian anti-Islam; mengurung mereka ke kamp-kamp perkampungan lewat aksi kekerasan; menyebarkan kampanye “perkampungan bebas muslim”; dan melancarkan operasi militer di Negara Bagian Rakhine.
Menurut laporan terbaru International Crisis Group, berjudul Buddhism and State Power in Myanmar, kehadiran Arakan Rohingya Salvation Army dalam dua peristiwa konflik di Rakhine pada Oktober 2016 dan Agustus 2017 telah “memberi angin segar” bagi kelompok-kelompok radikal nasionalis Buddha untuk semakin gencar menyebarkan sentimen anti-Islam di Myanmar.
Perkembangan ini menaikkan tensi krisis di Negara Bagian Rakhine, dan semakin terjal saja langkah-langkah pemulihan serta upaya menjamin hak-hak asasi muslim Rohingya.
Baca laporan lain tentang krisis Rohingya:
Milisi Rohingya dan Gejolak Konflik Etnis di Myanmar
Konflik Sektarian dan Perebutan Lahan di Myanmar
Tragedi Rohingya dan Mengapa PBB Kerap Gagal Hentikan Genosida
============
Sebagian besar naskah ini berbasis laporan langsung oleh Adil Sakhawat, wartawan setempat yang menulis dari perbatasan Bangladesh-Myanmar. Ia juga menyediakan foto-foto untuk laporan ini.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam