tirto.id - Serangan ke pos-pos perbatasan di Rakhine pada 25 Agustus lalu telah menewaskan 77 muslim Rohingya dan 12 pasukan keamanan. Lewat keterangan resmi yang dikeluarkan sehari seusai ledakan, Aung San Suu Kyi, kepala pemerintahan de jure Myanmar, mengatakan kelompok pemberontak Rohingya bertanggung jawab atas tragedi tersebut.
Kelompok milisi yang dimaksud Suu Kyi ialah Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army/ARSA). Menurut laporan International Crisis Group (ICG), lembaga pemantau konflik berbasis di Brussels, ARSA didirikan pada 2016 oleh eksil Rohingya yang tinggal di Arab Saudi. ARSA dipimpin Ata Ullah alias Abu Ammar Jununi, lelaki Rohingya-Pakistan yang besar di Mekkah. Semula ARSA bernama Harakah al-Yaqin dengan jumlah anggota 20 orang.
Aksi pertama ARSA dilakukan pada 9 Oktober 2016. Menggandeng ratusan pria Rohingya yang dipersenjatai pisau hingga senapan, ARSA menyerang tiga pos polisi terpisah di Negara Bagian Rakhine dan menewaskan sembilan petugas.
Tak terima, Tatmadaw (militer Myanmar) lewat Panglima Militer Min Aung Hlaing membalasnya dengan membakar habis wilayah desa di Rakhine selain memperkosa perempuan dan membunuh anak-anak. Berdasarkan citra satelit, Human Rights Watch menyatakan daerah yang dibakar Tatmadaw lima kali lebih besar dibanding tahun 2016. Total korban kedua pihak sampai 28 Agustus mencapai 104 orang.
Bentrokan antara ARSA dan Tatmadaw menandai eskalasi baru di Rakhine sejak Oktober 2016 ketika peristiwa serupa mendorong operasi militer besar-besaran yang menyebabkan 87.000 muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Melalui pernyataan video yang dirilis 18 Agustus, Abu Ammar menjelaskan pendirian ARSA bertujuan merespons kekerasan militer Myanmar terhadap masyarakat muslim Rohingya. Abu Ammar juga menyatakan ARSA bergerak independen tanpa ada hubungan dengan organisasi teroris internasional manapun.
Milisi ARSA melegitimasi serangan dengan pemberlakuan fatwa. Bagi ARSA, aksi serangan dapat dibenarkan selama dalam rangka memperjuangkan hak sesama muslim.
Baca juga:
Membunuh Rohingya Secara Diam-Diam
Rohingya dan Sejarah Masuknya Islam di Myanmar
Berapa Banyak Jumlah Muslim di Myanmar?
"Biksu di Myanmar Dijadikan Alat Politik Oleh Militer"
Paradoks Terbesar Ang San Suu Kyi
Tumbuh Bersama Generasi Konflik
Keputusasaan masyarakat Rohingya melahirkan benih-benih dukungan untuk ARSA. Generasi baru Rohingya terdiri dari anak-anak muda tanpa status kewarganegaraan yang dibesarkan di kamp-kamp pengungsian. Mereka tidak melihat harapan untuk solusi damai.
Berbeda dari kelompok usia tua yang cenderung menanti datangnya rekonsiliasi, kelompok usia muda Rohingya cenderung tidak sabar dan siap mati memperjuangkan hak-hak mereka. Walhasil, kelompok ini menjadi pendukung lokal milisi ARSA.
Berdasarkan laporan ICG, pelatihan untuk anggota ARSA dipimpin oleh para ulama atau hafiz di desa-desa yang berasal dari Rohingya, Pakistan, dan Afghanistan. Jumlah anggota ARSA hingga saat ini diprediksi mencapai ratusan orang.
Dalam aksi-aksinya, milisi ARSA tak ragu membayar banyak informan di Rakhine serta menyuap pasukan keamanan guna membebaskan anggota yang ditahan. Tentunya, untuk memuluskan rencana tersebut diperlukan pendanaan.
“[ARSA] tidak mungkin menghadapi kendala pendanaan. Kelompok ARSA tampaknya menerima dana dari diaspora Rohingya dan pendonor swasta utama di Arab Saudi dan Timur Tengah,” tulis ICG dalam laporan Myanmar: A New Muslim Insurgency in Rakhine State, yang dirilis Desember 2016.
Banyak pihak menyatakan milisi ARSA memiliki hubungan dengan Organisasi Solidaritas Rohingya (RSO). RSO adalah kelompok milisi yang aktif di antara tahun 1980 hingga 1990-an sebelum akhirnya tak berfungsi lagi sejak 2001. Daerah operasi RSO di seberang perbatasan Bangladesh.
Serangan ARSA membuktikan sejauh mana kemampuan mereka dalam membalas aksi Tatmadaw. Menurut Anagha Neelakantan, Direktur Program ICG di Asia dalam laporannya, ARSA telah berkembang pesat sehingga mampu meningkatkan eskalasi konflik secara dramatis.
Zachary Abuza, profesor National War College Washington sekaligus penulis Forging Peace in Southeast Asia: Insurgencies, Peace Processes, and Reconciliation (2016) berpendapat bahwa kepentingan ARSA adalah melakukan serangan balasan terhadap Tatmadaw sekaligus membebaskan masyarakat Rohingya dari penindasan pemerintah Myanmar.
Sementara Gabrielle Aron, Direktur Program CDA Collaborative Project Learning di Myanmar, menyatakan keberadaan ARSA selama sembilan bulan terakhir merupakan ancaman terbesar bagi stabilitas Rakhine mengingat intensitas serangan ARSA yang begitu masif.
Saat diwawancarai Asia Times pada 26 Agustus, perwakilan ARSA memberikan peringatan keras: Apabila Rohingya belum mendapatkan hak kewarganegaraan penuh dari pemerintah Myanmar, mereka akan terus melakukan perlawanan bersenjata.
Para analis menilai kebijakan pemerintah Myanmar yang menampik hak-hak dasar dan kewarganegaraan muslim Rohingya turut berperan dalam memicu lahirnya ARSA. Terutama tatkala Suu Kyi yang mulai berkuasa pada 2016 seolah tak mampu berbuat apa-apa guna mengakhiri konflik Rohingya.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Fahri Salam