tirto.id - Tak ada yang curiga kepada serdadu-serdadu bersenapan mesin ringan yang berkeliaran di sekitar ruangan tempat Jenderal Aung San berada. Di dalam ruangan, Aung San sedang asyik ngoceh soal demokrasi. Tiba-tiba, sebelum pembicaraan di ruangan itu bubar, serdadu-serdadu itu masuk dan memberondong orang yang di dalam ruangan dengan tembakan. Tak terkecuali Jenderal Aung San. Begitulah awal dari film The Lady (2011).
Serdadu-serdadu pembunuh itu adalah orang-orang Perdana Menteri U Saw yang dituduh sebagai dalang pembunuhan. Ia akhirnya dieksekusi pada 8 Mei 1948 setelah Burma merdeka pada 4 Januari 1948, tepat hari ini 74 tahun lalu. U Saw adalah politikus senior lawan politik Aung San yang sebelumnya dekat dengan Inggris. Menurut catatan Ian Harris dalam Buddhism and Politics in Twentieth Century Asia (1999), “motivasinya membunuh Aung San rupanya adalah kombinasi dari ambisi, frustrasi, kemarahan, dan balas dendam.”
Aung San yang mati muda pada 19 Juli 1947 itu, di awal-awal zaman pendudukan Jepang adalah anggota dari kelompok pemuda yang dikenal dengan sebutan Thirty Comrades. Mereka menurut catatan Joyce Lebra dalam Tentara Gemblengan Jepang (1989), mendapat pertolongan dari kelompok intel Jepang Minami Kikan pimpinan Suzuki Keiji, sehingga dibekali pelatihan militer oleh Jepang.
“Thirty Comrades dikirim dari Tokyo ke kamp latihan khusus di dekat Pusat Latihan Angkatan Laut di Samah, Pulau Hainan,” tulis Lebra.
Pemuda-pemuda inilah yang menjadi inti dari kelahiran Tentara Kemerdekaan Burma. Semula, pada Desember 1941, ada 200 orang Burma yang direkrut di Thailand. Tentara Kemerdekaan Burma itu lalu ganti nama menjadi Tentara Pertahanan Burma dan Tentara Nasional Burma. Dengan anggota ribuan orang, tentara didikan Jepang itu masuk dalam formasi Tentara Burma alias Tentara Myanmar alias Tatmadaw. Di dalamnya ada Ne Win, alumnus Thirty Comrades sebagai salah satu petingginya.
Tentara Nasional Burma mirip dengan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa atau Gyugun di Sumatra yang sama-sama didikan Jepang dan alumninya banyak yang jadi jenderal di korps ketentaraan negara. Jika Burma punya bekas didikan Jepang macam Aung San atau Ne Win, Indonesia punya Soeharto, Sudirman, Gatot Subroto, Umar Wirahadikusumah, dll.
Setelah Aung San terbunuh, Burma dipimpin oleh orang-orang dari Anti Fascist People's Freedom League (AFPFL) alias liga rakyat merdeka anti-fasis. Sao Shwe Thaik (1948-1952), Ba U (1952-1957), dan Win Maung (1957-1962) pernah jadi presiden Burma. Pada tahun 1962, Burma memasuki era baru melalui sebuah kudeta yang didalangi Jenderal Ne Win.
Seperti Aung San, Ne Win—yang beberapa tahun lebih tua dari Aung San—juga termasuk dari kelompok Thirty Comrades. Menurut Robert Taylor dalam The State in Burma (1987), Ne Win adalah “Ketua Dewan Revolusi sejak 1962 sampai 1974, Presiden sejak 1974 sampai 1981 dan sebagai Ketua Partai Program Sosialis Burma sejak kelahirannya. Ne Win menyandang status sebagai bapak bangsa Burma modern...”
Sejak 1981, posisi Presiden beralih ke San Yu—tapi di bawah pengaruh partai yang dipimpin Ne Win. San Yu juga jenderal dengan latar belakang Tentara Kemerdekaan Burma, tapi bukan bagian dari Thirty Comrades. Dia bergabung dalam militer sejak 1942. Jenderal yang pernah belajar kedokteran di Universitas Rangoon ini menjadi Presiden dari 9 November 1981 sampai 27 Juli 1988.
Setelah San Yu, Sein Lwin sempat menjadi presiden sebentar. Ia menjabat sejak 27 Juli 1988 hingga 12 Agustus 1988. Sein Lwin masuk militer sejak 1943, dan menjadi salah satu jenderal pengikut Ne Win. Menurut David Steinberg dalam Burma/Myanmar: What Everyone Needs to Know? (2009), ia menjadi bawahan Ne Win di Batalion Burma Rifles ke-4 sejak 1944.
Sein Lwin digantikan sementara oleh Aye Ko dari tanggal 12 hingga 19 Agustus 1988. Dari 19 Agustus hingga 18 September 1988, kursi itu diduduki Dr. Maung Maung, seorang ahli hukum dan bukan militer karier. Dia menjadi presiden boneka Ne Win terakhir.
Pengaruh Ne Win dalam kepresidenan akhirnya dihabiskan ketika Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara alias State Law and Order Restoration Council (SLORC) berkuasa sejak 18 September 1988. Menurut David Steinberg, SLORC dipimpin oleh bekas sersan dalam Batalion Burma Rifles ke-4 pimpinan Ne Win. Tentu ia sudah menjadi jenderal saat melakukan kudeta.
Ketika orang-orang Ne Win jadi presiden, Saw Maung, sang bekas sersan, sudah jadi petinggi tentara. Ketika menjadi ketua SLORC, menurut Harris M. Lentz dalam Heads of States and Governments Since 1945 (2014), dia memenjarakan Aung San Suu Kyi. Saw Maung meninggal pada 23 April 1992 karena menderita gangguan fisik dan mental.
Di masa SLORC berjaya, nama Burma diubah menjadi Myanmar. Namun, para peneliti lebih suka memakai nama Burma ketimbang nama ciptaan junta militer itu. Termasuk buku Burma: The Challenge of Change in a Divided Society (1997) yang disunting Peter Carey.
“Meskipun nama negara tersebut secara resmi diubah dari Burma ke Myanmar (sering dieja Myanma atau Myanmar) oleh SLORC pada tanggal 18 Juni 1989, beberapa penulis di volume ini masih memakai nama lama, seperti sebelum Juni 1989,” demikian tertulis di pengantar buku tersebut.
Pengganti Saw Maung adalah Than Shwe, juga seorang jenderal dan sebelumnya petinggi SLORC. Dia berkuasa sejak 1992 hingga 2011. Menurut Benedict Rogers dalam Than Swhe: Unmasking Burma's Tyrant (2010), dia pernah menjadi tukang pos.
Setelah Than Swhe tak berkuasa lagi pada 2011, Thein Sein yang juga seorang jenderal sempat jadi presiden hingga 2016. Donald M. Seekins dalam Historical Dictionary of Burma (Myanmar) (2017), Thein Sein adalah perwira lulusan Akademi Pertahanan Maymyo kelas ke-9 tahun 1968. Thein Sein pernah menjadi asisten Than Swhe tahun 1992-1995. Setelahnya, dia menjadi panglima komando militer regional di Shan. Pada tahun 2000-an karier politiknya menanjak, sampai akhirnya berhasil menjadi presiden pada dekade berikutnya.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 5 September 2017. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh Pribadi