tirto.id - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan buka suara terkait dengan kematian ratusan warga Rohingya di Myanmar selama sepekan ini. Ia mengatakan bahwa serangan militer itu merupakan genosida (pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras).
Selama sepekan, sekitar 400 orang tewas dalam pertempuran di bagian barat laut Myanmar. Sumber dari PBB mengatakan sekitar 38.000 warga Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh. Hal ini sekaligus menjadi kekerasan paling mematikan terhadap kaum minoritas Rohingya di negara itu dalam beberapa dekade.
"Telah terjadi genosida di sana. Mereka tetap diam terhadap ini... Semua yang melihat dari jauh genosida ini dilakukan di bawah kerudung demokrasi juga bagian dari pembunuhan massal ini," kata Erdogan pada perayaan Idul Adha yang diadakan Partai AK di Istanbul, dikutip dari Antara, Sabtu (2/9/2017).
Erdogan mengatakan sudah menjadi tanggung jawab moral Turki untuk mengambil sikap terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di Myanmar.
Awal peristiwa ini bermula dari gerilyawan Rohingya yang menyerang pos-pos polisi dan sebuah pangkalan tentara di negara bagian Rakhine. Hal ini mendorong bentrokan-bentrokan dan serangan balasan dari militer.
Di satu sisi tentara mengklaim bahwa mereka melancarkan pembersihan terhadap "teroris garis keras" dan mereka diberi pengarahan untuk melindungi warga. Namun di sisi lain, warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh mengatakan bahwa serangan militer itu disertai dengan pembakaran dan pembunuhan yang bertujuan untuk memaksa mereka keluar dari wilayah itu.
Penanganan terhadap sekitar 1,1 juta Rohingya menjadi sebuah tantangan terbesar bagi Aung San Suu Kyi. Peraih Nobel Perdamaian itu dituduh beberapa kritikus Barat karena tak bersuara terhadap pembantaian warga Rohingya oleh serangan brutal militer.
Tindak kekerasan tentara setidaknya telah menewaskan sekitar 370 gerilyawan Rohingya, 13 aparat keamanan, dua pejabat pemerintah dan 14 warga sipil, kata militer Myanmar pada Kamis.
Sebagai perbandingan, kekerasan pada 2012 di ibu kota Rakhine, Sittwe, yang menyebabkan tewasnya hampir 200 orang dan sekitar 140.000 lagi mengungsi, kebanyakan dari mereka adalah warga Rohingya.
Serangan itu adalah bentuk dari kemelut serangan yang dilancarkan oleh geriyawan Rohingya yang terjadi sejak Oktober terhadap pos keamanan. Hal itu mendorong militer melakukan serangan balasan besar-besaran diikuti dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Lebih dari 150 gerilyawan Rohingya melakukan serangan terkini terhadap pasukan keamanan pada Kamis, di dekat desa-desa yang ditempati oleh masyarakat pengikut Hindu, kata "New Global Light New Myanmar". Pernyataan itu menambahkan bahwa sekitar 700 anggota keluarga di desa-desa tersebut telah diungsikan.
PBB mengatakan sekitar 20.000 lagi warga Rohingya berusaha melarikan diri, mereka terjebak di daerah kosong perbatasan. Pekerja bantuan di Bangladesh berjuang untuk meringankan penderitaan ribuan orang yang mengalami kelaparan dan trauma.
Sementara beberapa warga Rohingya mencoba menyeberang ke Bangladesh melalui darat, yang lain mencoba melakukan perjalanan berbahaya dengan menggunakan perahu, melintasi sungai Naf yang memisahkan kedua negara itu.
Presiden Erdogan menyatakan isu tersebut akan dibahas secara rinci ketika para pemimpin dunia mengadakan pertemuan dalam Sidang Umum PBB pada 12 September di New York.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto