Menuju konten utama

Israel Bombardir Gaza Lagi, Harapan Gencatan Senjata Kian Pupus

Semua orang di Gaza bergerak, kembali terlantar, dipaksa meninggalkan rumah mereka menuju pengungsian.

Israel Bombardir Gaza Lagi, Harapan Gencatan Senjata Kian Pupus
Situasi hari pertama Ramadhan di Gaza di tengah gencatan senjata. FOTO/BASHAR TALEB/AFP

tirto.id - Kedamaian di Gaza, merupakan sesuatu yang mudah retak. Menjelang sahur pada Selasa (18/3/2025), dunia kembali menyaksikan babak baru dalam tragedi yang tak berkesudahan di Jalur Gaza. Serangan udara Israel tiba-tiba menghantam wilayah tersebut, menewaskan lebih dari 400 warga Palestina, termasuk banyak perempuan dan anak-anak. Gencatan senjata yang rapuh – hampir dua bulan berlaku – yang sebelumnya memberikan secercah harapan, hancur berkeping-keping di tengah malam Ramadhan.

Ghaitam, pemuda 19 tahun dari sebuah desa di dekat kota selatan Khan Younis, terbangun seperti mendapat mimpi buruk yang nyata. Jam masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Namun tak ada makan sahur pagi itu. Ghaitam terbangun dari lelapnya oleh bising pesawat tempur Israel, disusul ledakan dan teriakan orang-orang yang dikenalnya.

Dua jam telah berlalu, sekitarnya berubah jadi puing dan sisa-sisa. Pukul 05.00 pagi, Ghaitam mendapati kawannya tewas terbunuh akibat serangan Israel. Sehari sebelumnya, padahal mereka masih asyik bermain bola voli bersama. Dia, seperti kebanyakan warga Gaza yang lain hari itu, membuka hari dengan duka, luka dan tangisan.

Serangan militer Israel dini hari itu otomatis menghempaskan gencatan senjata dan proses perundingan tahap kedua dengan Hamas. Sekitar 65.000 warga Gaza terancam mengungsi lagi untuk entah, kesekian kalinya. Pihak Israel meminta warga mengevakuasi diri – tampak seperti upaya paksa untuk memindahkan warga dari rumah-rumah mereka.

Ghaitam dan keluarganya akan mengungsi untuk yang kesepuluh kalinya. Perintah evakuasi yang dikeluarkan oleh militer Israel datang mendadak pada tengah hari. Ia akan menuju ke rumah saudara perempuannya di daerah yang lebih aman.

Amarah, lelah, cemas, takut, teror, dan sedih, kata Ghaitam, “Laiknya beban dunia menimpa kita.”

"Itu adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan," ungkap Ghaitam sebagaimana dilaporkan The Guardian.

Perintah evakuasi dari Israel tampak seperti gertakan bagi pemimpin Hamas dan kelompok kombatan lain. Pasukan Israel meluncurkan operasi darat terbatas untuk merebut kembali koridor Netzarim, Rabu (19/3/2025) kemarin. Wilayah ini merupakan sebuah jalan yang baru saja dilebarkan dan dilindungi bunker-bunker berbenteng yang membelah Gaza. Israel menilai ini penting dilakukan untuk mengendalikan wilayah Palestina yang hancur.

Serangan bombardir Israel memang nyatanya tak juga berhenti. Serangan Israel pada hari Rabu bahkan menewaskan sekitar 20 orang lagi. Membuat korban tewas sejak Selasa lalu menjadi 436 hanya dalam kurun waktu dua hari. Sebagaimana dicatat oleh juru bicara dinas pertahanan sipil Gaza. Di antaranya 183 anak-anak dan 94 perempuan.

Di antara korban pada Rabu, lapor The Guardian, adalah seorang anggota staf PBB, yang tewas ketika dua wisma PBB di Deir al-Balah, Gaza, dihantam sebuah serangan. PBB telah menyerukan investigasi atas kejadian ini. Pasalnya, lokasi kediaman anggota PBB diketahui oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Mereka terikat hukum internasional memiliki imunitas, “Dan tidak dapat diganggu gugat," ujar juru bicara António Guterres, sekretaris jenderal PBB.

Usai gencatan senjata yang gagal imbas serangan udara Israel, Gaza tampaknya akan lebih tergulung nestapa. Serangkaian perintah evakuasi paksa dari militer Israel meminta sekitar 150.000 warga di wilayah utara dan timur Gaza untuk meninggalkan rumah agar tak terjebak zona tempur. Perintah ini memberi sinyal akan ada serangan darat dalam beberapa hari ke depan.

Hamas dan kelompok perjuangan Palestina lainnya, memang lempar tuding dengan Israel soal siapa yang menjadi pemantik pupusnya upaya gencatan senjata.

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memperingatkan bahwa gelombang serangan udara yang menewaskan 400 ratus lebih warga Palestina di Gaza pada Selasa lalu hanya sebuah permulaan. Lewat pidato yang disiarkan di televisi pada Selasa malam, Netanyahu mengatakan bahwa pasukan Israel akan mencecar Hamas dengan kekuatan yang lebih besar. Israel menuding Hamas membuat upaya perundingan gencatan senjata tidak berjalan maju.

“Ini terjadi usai Hamas berulang kali menolak membebaskan sandera kami dan menolak semua tawaran yang diterima dari utusan presiden AS, Steve Witkoff, dan dari mediator,” tulis keterangan dari Kantor PM Israel.

Merespons hal itu, seorang pejabat Hamas, Taher al-Nono, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Israel harus menghadapi tekanan untuk mematuhi kesepakatan gencatan senjata Gaza yang telah mereka ingkari. Hamas bersikeras tidak perlu ada kesepakatan baru sebab kesepakatan yang ditandatangani sudah ada.

“Kami telah menanggapi secara positif semua upaya yang dilakukan pada kami. Netanyahu lah yang sudah mundur dari perjanjian. Netanyahu yang menutup mata terhadap hal ini. Oleh karenanya, Netanyahu, bukan Hamas atau kelompok perlawanan, yang harus ditekan untuk mematuhinya,” ungkap al-Nono.

Al Jazeera menulis, dengan situasi demikian, Israel berusaha untuk menghindari gencatan senjata tahap kedua, dengan dukungan dari Amerika Serikat (AS). Sementara itu, Hamas menilai kesepakatan tersebut harus dilanjutkan ke tahap kedua, seperti kesepakatan sebelumnya. Amerika Serikat memang punya andil dalam berlanjutnya duka penduduk Gaza. Pihak AS di Gedung Putih berkata, serangan ke Gaza Selasa lalu sudah dikonsultasikan kepada AS.

Editorial The Guardian pada Selasa lalu menulis, keluarga para sandera Israel yang tersisa juga ketakutan dan marah karena langkah pemerintah menyerang Gaza. Langkah tersebut dianggap semakin membahayakan bagi warga Israel yang disandera Hamas sejak peristiwa serangan pada 7 Oktober 2023 lalu.

Selama fase pertama gencatan senjata yang dimulai Januari, Hamas membebaskan 25 sandera Israel dan mayat delapan warga dengan ganti hampir 2.000 tahanan Palestina. Namun, karena fase kedua tampak sulit terjadi, kedua belah pihak belum dapat menyepakati langkah selanjutnya. Hampir 60 keluarga memiliki kerabat yang masih ditahan Hamas. Ada puluhan sandera yang diyakini masih hidup.

Beberapa keluarga yang sudah mengetahui kerabat mereka di Gaza telah tewas menyebut, keputusan pemerintah Israel tidak dapat diterima. Dilansir AP News, Udi Goren, salah satu warga Israel, menilai melanjutkan serangan ke Gaza adalah bencana dalam segala hal. Tal Haimi, sepupu Goren, terbunuh dalam serangan 7 Oktober 2023 dan jasadnya dibawa ke Gaza. Goren mengatakan, masyarakat internasional harus menekan Hamas, Israel dan para mediator - Amerika Serikat, Mesir dan Qatar - untuk mengakhiri perang.

“Ini bukan hanya bencana dalam segala hal, bentuk, dan rupa tentang bagaimana para sandera terus menderita, dirantai di tembok, kelaparan, dilecehkan. Tetapi juga [soal] jumlah korban jiwa yang terus meningkat di pihak Gaza," ujar Udi Goren.

Dalam serangan yang dipimpin Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, 1.139 orang tewas dan lebih dari 200 orang ditawan. Selama perang Israel-Hamas sejak serangan itu, Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan setidaknya 49.547 warga Palestina tewas dan 112.719 lainnya terluka dalam serangan Israel yang terus berlangsung di Gaza. Ini berarti satu dari setiap 50 warga di Gaza telah terbunuh, dan satu dari setiap 20 warga terluka.

Namun, 3 Februari 2025, versi kantor Media Pemerintah Palestina menyebut korban tewas menjadi lebih dari 61.700 orang. Sekaligus mencatat masih terdapat ribuan warga Palestina yang hilang di bawah puing-puing dan diperkirakan telah tewas.

Padahal, pelaksanaan gencatan senjata tahap pertama pada Januari lalu, menghasilkan jeda perang yang membawa sedikit kelegaan bagi Gaza. Gencatan senjata membuat ribuan warga Palestina kembali ke rumah mereka yang tersisa di wilayah utara setelah mengungsi di selatan. Namun, tindakan Israel Selasa lalu justru membuat warga Palestina yang kembali ke rumah harus kembali mengungsi lagi.

Walaupun selama gencatan senjata ini, nyatanya serangan Israel tidak berhenti. Dilaporkan ratusan warga Palestina terbunuh di Gaza selama periode gencatan senjata, serta puluhan lainnya dibantai di wilayah Tepi Barat. Israel juga memblokade bantuan yang masuk untuk warga Palestina sejak awal Maret dengan tuduhan bantuan internasional didayagunakan untuk bagi kepentingan Hamas.

Temuan Al Jazeera, Israel melanggar gencatan senjata berkali-kali sejak 19 Januari hingga 17 Maret. Ini menewaskan sedikitnya 170 orang di Gaza, dengan rata-rata hampir tiga orang tewas setiap harinya. Otoritas Gaza telah mendokumentasikan lebih dari 350 pelanggaran yang dilakukan Israel, termasuk serangan militer, tembakan, serangan udara, pengawasan yang semakin ketat, dan penghalangan bantuan selama gencatan senjata.

Agresi militer yang dilakukan pemerintah Israel pada Selasa (18/3/2025), juga mengundang kecaman dari luar negeri, termasuk Indonesia. Kementerian Luar Negeri Qatar mengutuk tindakan Israel yang kembali melakukan agresi militer ke arah Jalur Gaza, Palestina. Qatar menilai tindakan itu mengancam stabilitas regional lantaran sebelumnya sudah ada upaya gencatan senjata. Mesir yang berbatasan langsung dengan Palestina ikut mengutuk Israel.

Mesir, yang selama ini memiliki peran penting dalam proses gencatan senjata Israel dan Palestina, menilai aksi Israel itu merusak tatanan perdamaian yang sedang digulirkan.

Pemerintah Indonesia turut mengutuk serangan Israel ke Jalur Gaza pada Selasa dini hari. “Serangan ini menambah rangkaian provokasi Israel yang mengancam gencatan senjata dan mengganggu prospek negosiasi perdamaian menuju solusi dua negara,” tulis rilis dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI yang disiarkan di media sosial X, Selasa.

Indonesia mendesak Dewan Keamanan PBB dan komunitas internasional cepat mengambil tindakan guna menghentikan serangan Israel di wilayah kantong Palestina itu. Semua pihak didesak kembali mematuhi dan memulihkan kesepakatan gencatan senjata demi mencegah jatuhnya lebih banyak korban sipil di Jalur Gaza, menurut pernyataan Kemlu RI.

Namun, mimpi buruk bagi warga Gaza adalah sesuatu yang nyata dan tak akan selesai hanya dengan kecaman semata.

Maram Humaid, wartawan Al Jazeera, merasa serangan udara lanjutan oleh Israel pada hari Selasa lalu sebagai bunyi yang tak terelakkan dari genosida. Jam 02.10 dini hari, guncangan dan pekikan bom menggoyang rumah Maram. Membangunkan ia dan suaminya, membuat putrinya berteriak histeris. Ia menuturkan itu dalam rubrik catatan wartawan di Al Jazeera.

Usai bunyi ledakan, datang warta yang bersahutan di gawainya. Rumah dihancurkan di Deir el-Balah, rumah lain dibombardir di Nuseirat. Beberapa tenda keluarga pengungsi dibom di al-Mawasi, Khan Younis. Terjadi penembakan artileri di Rafah. Seluruh bangunan ambruk dihantam bom di Jabalia, Gaza utara. Serangan mendarat di lingkungan al-Karama. Dini hari itu, sabuk api diciptakan militer Israel di Gaza tengah.

Miris memang, Maram baru saja meminta adik perempuan dan ayahnya menginap. Namun, mereka sekeluarga terjebak di tengah-tengah serangan dan ketidakpastian. Padahal, ia menilai keadaan normal akan hadir di bulan Ramadhan, di tengah gencatan senjata. Tetapi semua sirna.

“Bahkan sesuatu yang sederhana seperti berbelanja atau menghabiskan waktu bersama keluarga adalah kemewahan yang tak termaafkan,” tulis Maram dengan nada yang marah.

Tak ada rencana berbelanja membeli baju di hari raya. Tak ada kunjungan di pekan terakhir bulan Ramadhan. Semua orang di Gaza bergerak, kembali terlantar, dipaksa meninggalkan rumah mereka menuju pengungsian. Kedamaian, barangkali di Gaza, merupakan sesuatu yang mudah retak.

Baca juga artikel terkait GAZA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang