tirto.id - Dewan Pers merilis hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2022. Meski ada indikasi kebebasan pers membaik, tiga problem utama yang membelit industri pers hingga kini belum juga terpecahkan.
Dalam peluncuran hasil survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2022 pada Kamis (25/8/2022), lembaga independen yang terbentuk sebagai amanat Undang-Undang Nomor 40 tahun tentang Pers ini melaporkan kenaikan IKP sebesar 1,86 poin secara tahunan menjadi 77,88 poin.
Mengacu pada kategorisasi yang disusun oleh Dewan Pers, angka tersebut menunjukkan bahwa kehidupan pers di Indonesia tergolong ‘Cukup Bebas'. Masih banyak hal yang harus dibenahi jika ingin mencapai kategori ‘Bebas’ di mana IKP berada di kisaran 90-100.
Namun jika ditarik garis ke belakang, capaian tersebut terhitung positif karena menunjukkan adanya perbaikan dalam lima tahun berturut-turut, dari level 69 (2018), 73,71 (2019), 75,27 (2020), 76,02 (2021), dan 77,88 (2022).
"Kemerdekaan pers ini, kalau dilihat dari laporan, kecenderungannya meningkat. Sedikit ya, meningkat tipis… tapi kita jangan berpuas diri dulu, karena kemerdekaan pers ini masih harus diperjuangkan," kata Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra dalam pidato sambutannya, Kamis (25/8/2022).
Lebih lanjut, Azyumardi mengklaim Dewan Pers terus berkomitmen meningkatkan kebebasan pers di Indonesia, utamanya dengan mengatasi persoalan yang ada melalui pendekatan profesional.
"Dalam beberapa waktu terakhir, Dewan Pers berjuang terus untuk memastikan kebebasan pers itu bisa terjamin," katanya.
Mengacu pada laporan Indeks Kemerdekaan Pers Tahun 2022, masih ada tiga masalah utama yang tak kunjung teratasi dalam industri pers Indonesia. Pertama, persoalan kekerasan terhadap wartawan.
Sepanjang tahun lalu, tercatat masih ada intimidasi dan kekerasan fisik yang menimpa insan pers tatkala melakukan tugas peliputan. Sumatra Utara, Maluku Utara dan Jawa Timur menjadi tiga provinsi dengan kasus terburuk dalam hal kekerasan dan ancaman fisik jurnalis.
Namun demikian, catatan dari informan ahli dalam penelitian tersebut patut menjadi evaluasi bagi insan pers: terjadinya kekerasan dapat dimulai dari pelanggaran kode etik dan (kemudian) memunculkan kekerasan.
Problem kedua terkait dengan kesejahteraan jurnalis yang minim. Sebanyak 12 provinsi mencetak nilai rendah pada indikator ‘tata kelola perusahaan yang baik’ di mana gaji wartawan dibayarkan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) atau 13 kali gaji.
Kondisi pandemi COVID-19 memperburuk keadaan di mana pendapatan iklan perusahaan media tertekan, sehingga pemenuhan kesejahteraan karyawan pun tidak optimal. Hal ini menurut temuan Dewan Pers berdampak buruk bagi independensi wartawan.
Ketiga, hak akses informasi bagi kalangan penyandang disabilitas masih terabaikan. Sebanyak 25 provinsi, dari total 37 provinsi di Indonesia, belum memberikan payung hukum yang mewajibkan media massa untuk menyiarkan berita yang dapat dicerna oleh penyandang tunanetra dan tunarungu.
IKP Kaltim Terbaik, Papua Barat Terburuk
Dalam survei ini, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) mendapatkan nilai tertinggi, yaitu 83,78 poin. Sebaliknya, Papua Barat menjadi provinsi dengan nilai IKP terendah dengan nilai 69,23 poin.
“Jika melihat perkembangan bahwa Kaltim menjadi lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN), ini sesuatu hal yang positif karena kebebasan pers di sana menjadi yang terbaik,” tutur anggota Dewan Pers Ninik Rahayu, yang juga Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers kepada Tirto.
Sebaliknya, Papua Barat mencatatkan skor terendah karena situasi keamanan di sana memicu kebijakan penutupan akses informasi oleh aparat. Dewan Pers, menurut Ninik, telah menyerukan Kementerian Politik Hukum dan HAM untuk mengkaji apakah situasi di Papua bisa diperbaiki, guna menjamin hak publik atas akses informasi.
Secara umum, Dewan pers memberikan dua rekomendasi kepada institusi penegak hukum, yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung (MA).
Pertama, agar meningkatkan pengetahuan dan keterampilan personil di lingkungan institusi dalam merespons pelaporan/pengaduan yang menyeret jurnalis atau perusahaan pers ke dalam peradilan pidana atau perdata agar diarahkan untuk diselesaikan melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam UU Pers.
Kedua, Institusi Penegak Hukum agar menjalin komunikasi dengan Dewan Pers dalam hal terdapat pelaporan/pengaduan yang menyeret jurnalis atau perusahaan pers ke dalam peradilan pidana atau perdata untuk mencegah kriminalisasi terhadap perusahaan pers dan jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Penulis: Arif Gunawan Sulistiyono
Editor: Gilang Ramadhan