Menuju konten utama

Jargon AKHLAK Tak Cukup, Kasus Korupsi Masih Menyusupi BUMN

kasus korupsi di BUMN menunjukkan Dewan Komisaris tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Jargon AKHLAK Tak Cukup, Kasus Korupsi Masih Menyusupi BUMN
Sejumlah tamu beraktivitas di dekat logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (2/7/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nz

tirto.id - Kasus korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak pernah absen. Perilaku tidak terpuji itu, ibarat budaya turun menurun sulit dihilangkan. Karena faktanya, sepanjang periode 2016-2021 saja, kasus korupsi di lingkungan BUMN yang disidik oleh aparat penegak hukum mencapai 119 kasus dengan 340 tersangka.

Dari hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara yang ditimbulkan, sepanjang periode 2016 hingga 2021, mencapai Rp47,92 triliun. Turut ditemukan juga nilai suap hingga Rp106,9 miliar dan nilai tindak pidana pencucian uang sebesar Rp57,86 miliar.

Tim penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung bahkan baru-baru ini tengah membuka kembali kasus korupsi di PT Antam.

Dugaan korupsi itu sendiri terjadi sejak 2010 hingga 2021. Dalam kasus Antam, penyidik menetapkan General Manager (GM) UBPP LM PT Antam Tbk, yakni inisial TK (GM periode 2010-201), HN (GM periode 2011-2013), DM (GM periode 2013-2017), AH (GM periode 2017-2019), MAA (GM periode 2019-2021), dan ID (GM periode 2021-2022) sebagai tersangka.

Dalam kasus itu, penyidik masih menunggu penghitungan kerugian negara oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tak bisa dipungkiri, penghitungan kerugian negara atas kasus emas memang membutuhkan waktu yang tak sebentar karena menyesuaikan harga standar internasional.

Bukan cuma Antam, BUMN seperti Asabri, Jiwasraya, dan Taspen juga pernah terseret kasus korupsi. Bahkan, belum lama juga menyerat BUMN Karya.

BUMN Karya terlibat dalam pusaran kasus korupsi pembangunan Jalan Tol MBZ Japek II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat.

Para terdakwa yakni Direktur Utama PT Jasamarga Jalan layang Cikampek (JJC) periode 2016—2020, Djoko Dwijono, Ketua Panitia Lelang JJC, Yudhi Mahyudin, Direktur Operasional II PT Bukaka Teknik Utama Tbk. (BUKK), Sofia Balfas, serta tenaga ahli jembatan PT LAPI Ganeshatama Consulting, Toni Budianto Sihite.

Mereka didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Menghilangkan korupsi dari BUMN ini pekerjaan berat,” ujar Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute, Achmad Yunus, kepada Tirto, Rabu (5/6/2024).

Yunus mengatakan, sudah hampir selama 32 tahun orde baru perilaku korupsi di tubuh BUMN sulit untuk ditinggalkan. Ditambah dengan proses rekruitmen pimpinan BUMN yang tidak transparan, upaya politisasi BUMN di tengah demokrasi yang high cost, ekosistem bisnis yang korup, dan kinerja pengawasan dari kementerian yang sangat lemah membuat BUMN kita susah dilepaskan dari korupsi.

Tata Kelola Buruk BUMN

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, mengatakan, banyaknya kasus korupsi di tubuh Perseroan menunjukkan tata kelola yang buruk di BUMN. Artinya, perusahaan plat merah itu tidak menjalankan tata kelola perusahaan yang baik.

"Jelas tata kelola di BUMN ini sangat buruk. Tidak ter-lembaganya prinsip-prinsip korporasi yang baik, tata kelola korporasi yang baik," ujar Zaenur kepada Tirto, Rabu

Dia menilai praktik-praktik korporasi yang buruk itu, sudah berlangsung bertahun-tahun sudah membudaya. Maka, tidak heran sekalipun terjadi pergantian pemerintahan, pergantian menteri BUMN, pergantian direksi, tidak menghilangkan akar masalah dari korupsinya.

Selain itu, akar masalah korupsi di tubuh BUMN problem utamanya adalah soal kepemilikan. Zaenur melihat jika di swasta, kepemilikan perusahaan itu ada di orang. Baik itu merupakan perusahaan tertutup atau di perusahaan terbuka. Sedangkan kalau di BUMN itu dimiliki oleh negara, melalui pemerintah.

SISWA MENGENAL NUSANTARA

Para Siswa Mengenal Nusantara (SMN) asal Sumut berkunjung di Kementerian BUMN di Jakarta, Jumat (3/8/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana

Dia mencontohkan, jika perusahaan swasta itu ada komisarisnya, itu benar-benar menjalankan fungsi pengawasan. Kenapa? Karena itu adalah uang mereka, bisnis mereka, ataupun orang yang mempekerjakan mereka. Sedangkan kalau dalam konteks BUMN itu kan uang negara dan publik. Tapi minim pengawasannya.

"Jadi beda antara swasta dan BUMN dari rasa memilikinya," ungkap Zaenur.

Masalah lainnya, kata Zaenur BUMN ada problem menjadi sapi perah politik. BUMN ini tidak dikelola dengan baik karena justru dijadikan sebagai projects untuk penempatan orang-orang politik di BUMN. Atau bahkan BUMN-nya sendiri digunakan sebagai alat-alat politik maupun untuk pendanaan politik.

"Itu sehingga kemudian BUMN-nya semakin susah untuk dapat sehat, menjalankan bisnis, memperoleh keuntungan, dan juga memberikan pelayanan publik," kata Zaenur.

Jargon AKHLAK Sebatas Kertas Kewajiban

Pengamat BUMN, Herry Gunawan, menambahkan persoalan utama korupsi di BUMN justru terletak pada moralitas dan tata kelola, yang sampai saat ini masih terjebak pada jargon. Selama ini jargon AKHLAK (Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) hanya sebatas kertas kewajiban saja.

"Persoalan korupsi di BUMN ini tentu bukan soal gaji, karena yang diterima bisa lebih besar dari perusahaan swasta," kata Herry kepada Tirto.

Terkait dengan tata kelola, kata Herry, kasus korupsi ini menunjukkan Dewan Komisaris tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Sesuai aturan, fungsi penting dari komisaris kan mengawasi jalannya perusahaan.

Bahkan Dewan Komisaris dibantu oleh beberapa komite di bawahnya seperti Komite Audit maupun Komite Pemantau Risiko. Terbukti banyak yang tidak efektif.

"Kalau pengawasan Dewan Komisaris efektif, direksi dan manajemen akan berjalan sesuai dengan relnya. Tidak seperti kasus korupsi produksi emas di Antam yang terjadi bertahun-tahun," ungkap Herry.

Dalam rentang 2016-2021, ICW sebelumnya mencatat terdapat 83 aktor korupsi dengan latar belakang pimpinan menengah di BUMN. Kemudian, ada 76 pegawai/karyawan di BUMN terpantau merupakan aktor korupsi di lingkungan BUMN.

Di urutan keempat, 51 aktor korupsi memiliki jabatan direktur di BUMN. Di urutan terakhir, sedikitnya 40 aktor korupsi di lingkungan BUMN dapat diklasifikasikan memiliki latar belakang pekerjaan lainnya.

Berkaca pada hal di atas, muncul pertanyaan besar mengenai peran para komisaris di BUMN yang tersandung kasus korupsi. Komisaris salah satunya bertanggung jawab untuk mengawasi jalannya tata kelola BUMN. Peran sentral tersebut semestinya dijalankan dengan maksimal.

"Ini terjadi karena pada umumnya Dewan Komisaris juga merangkap sebagai pejabat negara. Atau banyak juga yang hadiah dan titipan. Bukan karena kepatutan dan kepantasannya yang layak," jelas Herry.

Akibatnya, bagi mereka yang penting adalah menjaga hubungan baik dengan yang mengangkat demi mempertahankan jabatannya. Atau, menjalankan amanat yang nitip, tidak peduli dengan perusahaan yang harus diawasi.

"Maka upaya pencegahannya, mulai dari rekrutmen yang mengawasi, dalam hal ini Dewan Komisaris. Jangan jadikan BUMN sebagai bancakan, seperti hadiah karena membantu sebagai tim sukses. Termasuk sebagai "tim hore" menteri," jelas Herry.

Upaya Menghilangkan Korupsi di BUMN

Achmad Yunus menilai untuk menghilangkan atau meminimalisasi korupsi di tubuh BUMN pemerintah bisa membangun sistem rekruitmen pimpinan BUMN yang transparan. Langkah tersebut diharapkan bisa menghindari transaksi. Dia juga meminta agar pemerintah menghentikan politisasi BUMN dengan memilih sosok yang tidak memiliki ikatan politik dengan siapa pun.

"Ini harus murni berdasar kompetensi dan profesionalisme yg dibutuhkan BUMN," ujar Yunus.

Selain itu, Yunus juga mendorong pemerintah selanjutnya untuk melakukan pengawasan melalui komisaris-komisaris yang kompeten dan profesional. Serta jangan memutar-mutar direksi dari BUMN satu ke BUMN lain. Karena pada akhirnya, mereka akan membawa gerbong dan akhirnya melahirkan oligarki di BUMN.

Sementara, Zaenur Rohman, sendiri mengaku tidak mudah untuk menghilangkan praktik korupsi di BUMN. Namun, setidaknya beberapa upaya bisa dilakukan untuk meminimalisir korupsi.

"Kalau ditanyakan bagaimana ke depan negara tidak seperti itu? Tidak mudah pasti," kata Zaenur.

Dia menuturkan hal pertama bisa dilakukan pemerintah tentu harus menempatkan BUMN sebagai sebuah entitas yang tidak dijalankan oleh interes politik. Kedua, memperbaiki BUMN, dilakukan tinjauan secara meluruh di semua BUMN oleh kementerian BUMN.

Rekrutmen Bersama BUMN

Rekrutmen Bersama BUMN. (FOTO/rekrutmenbersama2024.fhcibumn.id)

"Dan untuk BUMN-BUMN yang tidak sehat, yang tata kelolanya tidak menerapkan good corporate governance itu harus dijadikan sebagai prioritas utama untuk didampingi, diisi oleh profesional yang bebas dari kepentingan politik praktis, dan harus ada perubahan yang revolusioner, yang mendasar di BUMN tersebut," jelas Zaenur.

Lebih lanjut, dia mencontohkan bagaimana dulu Kereta Api Indonesia (KAI) melakukan perubahan di zaman Jonan. Jonan melakukan pendekatan perubahan, korporasi, hingga revolusi. Tetapi memang, harus diakui itu juga tidak mudah.

"Apa yang dilakukan di KAI susah juga ternyata direplikasi di tempat lain. Atau bahkan Jonan sendiri dengan tangan dingin yang menangani KAI juga Jonan tidak berhasil ketika memegang Kemenhub maupun kementerian SDM," jelas Zaenur.

Kendati begitu, revolusi di zaman Jonan di KAI bisa dijadikan sebagai salah satu cerita sukses. Meskipun ternyata sepeninggal Jonan juga ternyata KAI bukan kemudian lantas menjadi sebuah organisasi bisnis yang murni, yang bersih. Tetapi setidaknya jauh lebih baik daripada dulu.

"Itu memang tidak mudah saya katakan tadi harus dilakukan review. Satu, pisahkan BUMN dari campur tangan kepentingan politik," pungkas Zaenur.

Baca juga artikel terkait KORUPSI BUMN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin