Menuju konten utama

Ide Gegabah Memberikan Bansos ke Keluarga Pelaku Judi Online

Gagasan kebijakan keluarga pelaku judi online mendapatkan bansos akan berdampak pada ketidakadilan bagi warga yang masuk DTKS.

Ide Gegabah Memberikan Bansos ke Keluarga Pelaku Judi Online
Warga melihat iklan judi online melalui gawainya di Jakarta, Rabu (19/6/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.

tirto.id - Niat pemerintah membasmi dan menangani keadaan darurat judi online (judol) di Indonesia tidak boleh asal tabrak. Alih-alih mencabut persoalan ini hingga ke akar, kebijakan prematur dan berbau populis semata cuma bakal menambah beban. Misalnya, soal usulan pemberian bantuan sosial (bansos) pada keluarga pelaku judi online yang tengah ramai bergulir.

Usulan ini pertama kali dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy. Dia mempertimbangkan agar keluarga pejudi online masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) karena dianggap sebagai korban terdampak judi online.

DTKS sendiri menjadi acuan pemerintah dalam menyalurkan bansos untuk program pengentasan kemiskinan.

"Bahwa yang saya maksud korban itu adalah keluarga atau anggota yang menderita mengalami kerugian," kata Muhadjir di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (19/6/2024).

Muhadjir menilai judi berdampak pada ekonomi yang memicu kemiskinan di masyarakat. Dia memandang anggota keluarga pejudi online bisa mendapatkan bansos sebab statusnya sebagai korban yang mengalami kerugian materiil dan dampak kesehatan. Namun, Muhadjir menegaskan hanya keluarga yang memenuhi kriteria saja yang bakal masuk DTKS.

Gagasan yang disampaikan Muhadjir ini langsung dibantah Presiden Joko Widodo, yang dengan sikat menyatakan pemerintah tidak menyediakan dana anggaran bansos kepada pelaku judi online maupun keluarganya.

"Enggak ada," kata Jokowi dalam kunjungan kerja di Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (19/6/2024).

Meski begitu, terkait pemberian bansos itu, Muhadjir menilai wacana ini akan dibahas lebih lanjut dalam rapat Satgas Pemberantasan Judi Online. Mu Muhadjir mengatakan kerugian yang dialami oleh keluarga pejudi online dapat berupa materi, finansial, maupun psikososial.

“Korban itu adalah mereka yang mengalami atau menderita kerugian akibat perbuatan judi oleh penjudi itu, jadi bukan penjudinya. Beda dengan pinjol itu selama ini yang dianggap korban kan yang pinjam,” ujar Muhadjir.

Pemerintah Harus Fokus ke Akar Masalah Judi Online

Gagasan dari Menko PMK Muhadjir yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Daring, tak ayal mengundang penentangan.

Gagasan ini dianggap tidak akan membenahi akar persoalan judi online. Di sisi lain, beban anggaran negara untuk bansos pasti akan membengkak jika kebijakan ini terus melaju.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai tidak perlu ada program bansos keluarga pejudi karena judi online merupakan tindakan kriminal. Memberi mereka bansos sama saja dengan mensubsidi pelaku judi online dengan duit negara.

“Ini artinya logika pemerintah mau subsidi pelaku judi online pakai uang negara. Pemerintah jangan lepas tangan soal pencegahan,” kata Bhima kepada reporter Tirto, Rabu (19/6/2024).

Bhima menilai, judi online sebetulnya bisa diberantas jika pemerintah serius membabat bagian hulu persoalan ini. Sementara itu, daripada memberikan bansos, akan lebih baik pemerintah menyediakan layanan rehabilitasi bagi pelaku judi online yang menderita adiksi.

“Harusnya masuk panti rehabilitasi baik yang dikelola pemerintah maupun swasta. Jadi pemerintah cukup membiayai pelaku judi online selama di panti rehab,” ujar Bhima.

Pendataan keluarga pejudi online agar bisa masuk DTKS juga dinilai bakal sulit dilakukan. Proses verifikasi calon penerima bansos berpotensi kewalahan di lapangan, karena sifat judi online yang ilegal. Ditambah, tak bisa dipungkiri pencarian data untuk proses verifikasi saja akan memakan biaya sangat mahal.

“Masih banyak orang miskin yang butuh masuk ke DTKS dibanding para pelaku yang miskin karena judi online,” ucap Bhima.

Belum jelasnya konsep dari gagasan ini juga berisiko memunculkan potensi penyelewengan anggaran bansos. Lebih lanjut, kata Bhima, anggaran untuk bansos sudah pasti bertambah gemuk jika usulan ini tetap berjalan.

“Potensi korupsinya jelas besar dan khawatir kehadiran program [keluarga] pelaku judi online dapat bansos akan mengorbankan alokasi bansos reguler,” terang Bhima.

Rapat perdana Satgas pemberantasan judi online

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto (tengah) didampingi Menkominfo Budi Ari Setiadi (kiri) dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana (kanan) memimpin Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tentang pemberantasan judi online di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (19/6/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/YU

Sudah Judi, Dapat Insentif Lagi

Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute (TII), Dewi Rahmawati Nur Aulia, tegas menolak usulan program bansos untuk keluarga pejudi online. Kebijakan ini justru makin menguatkan praktik judi online, meski subsidi alias bansos diberikan kepada keluarga.

“Pelaku judi online umumnya bertindak atas kesadaran dirinya sebagai individu dan kemampuan finansial yang dimiliki. Pelaku masuk ke dalam permainan karena pelaku memiliki pengharapan agar dapat memperoleh keuntungan berlipat,” kata Dewi kepada reporter Tirto, Rabu (19/6/2024).

Kerugian materiil yang timbul dalam keluarga, seharusnya menjadi risiko pejudi online yang disadari sendiri. Hal ini berbeda dengan kelompok masyarakat yang memang miskin secara struktural dan layak mendapatkan bansos.

“Pemerintah seharusnya menyasar pada akar masalah yakni melalui upaya penyadaran yang dilakukan mulai dari akar rumput. Melibatkan dari RT/RW, pemuka masyarakat/agama, APH walikota, hingga gubernur,” tutur Dewi.

Dewi memandang, keluarga pelaku judi online mungkin memang memperoleh manfaat dari adanya program bansos. Namun, kebijakan ini berpotensi membuat pelaku judi online semakin tidak bertanggung jawab dan lepas tangan atas kondisi keluarga mereka.

“Bukan tidak mungkin, hal ini berisiko terhadap keamanan dan keselamatan keluarga pelaku tersebut, seperti ketika ada kasus kekerasan oleh debt collector,” terangnya.

Usulan program bansos keluarga pelaku judi online juga akan memunculkan rasa ketidakadilan terhadap kelompok masyarakat penerima manfaat yang seharusnya layak masuk program bansos.

Pasalnya, penyaluran program bansos yang saat ini berjalan saja masih mengalami berbagai kesalahan. Pemerintah seharusnya fokus membenahi data penerima manfaat bansos dalam DTKS agar tepat sasaran.

Periode penyaluran bansos pada Januari hingga Maret serta April hingga Juni 2024 akan menyasar 22 juta penerima manfaat. Anggaran yang direalisasikan sudah mencapai Rp43,31 triliun hingga 31 Maret 2024. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 20,7 persen dibandingkan pada 2023.

Alokasi bansos dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masuk dalam pos perlindungan sosial (perlinsos). Menukil laporan Informasi APBN 2024 Kementerian Keuangan (Kemenkeu), porsi anggaran perlinsos 2024 mencapai Rp496,8 triliun.

Anggaran bansos tersebut disebar dalam berbagai program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program bantuan sosial beras 10 kg, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dan Program Indonesia Pintar (PIP) dengan alokasi berbeda-beda.

Di sisi lain, saat ini saja jumlah pelaku judi online berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sudah mencapai 3,5 juta orang. Dari jumlah ini, hampir 80 persen disebut berasal dari kalangan ekonomi menengah bawah.

Dewi menilai jika program bansos untuk keluarga pejudi online dilakukan, maka akan memakan alokasi dana bansos yang ada saat ini.

“Dibandingkan mendorong bansos untuk keluarga pejudi online, seharusnya pemerintah memastikan kebijakan yang mendukung pendidikan berkualitas; kemudahan berusaha; kebebasan ekonomi tanpa korupsi dan pungli; menghidupkan balai latihan kerja; kemudahan kredit usaha; literasi ekonomi, keuangan dan digital,” sebut Dewi.

PENGUNGKAPAN KASUS JUDI ONLINE DI PEKANBARU

Kabid Humas Polda Riau Kombes Pol Sunarto memperlihatkan barang bukti usai memberikan keterangan pers pengungkapan kasus tindak pidana bisnis judi online di Pekanbaru, Riau, Senin (18/10/2021). ANTARA FOTO/Rony Muharrman/rwa.

Menambah Berat Beban APBN

Sementara itu, Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, memandang wacana pemberian bansos untuk keluarga pejudi online jelas menunjukkan kedangkalan berpikir pembuat kebijakan. Pemberian bansos justru akan menjadi subsidi yang memakai uang negara bagi industri judi online.

Selain menjadi jaring pengaman bagi pelaku judi online, kata Yusuf, pemberian bansos secara gegabah juga akan memberi beban berat pada APBN.

“Jika 80 persen dari pelaku judi online mendapat BLT selama 12 bulan dengan besaran Rp200 ribu per bulan, maka dalam 1 tahun APBN akan menanggung beban Rp6,72 triliun,” kata Yusuf kepada reporter Tirto, Rabu (19/6/2024).

Yusuf menilai, judi online turut bertanggung jawab atas semakin melemahnya daya beli kelas menengah dan kelas bawah saat ini.

Dengan sekitar 80 persen pelaku judi online berasal dari kelas menengah dan bawah, maka kondisi keuangan mereka cepat memburuk hingga akhirnya berpaling ke pinjaman online untuk menyelesaikan masalah keuangan.

Transaksi masyarakat dengan pinjaman online dan paylater saat ini terus meningkat pesat. Utang masyarakat ke pinjol tembus Rp62,2 triliun pada April 2024. Sedangkan utang masyarakat ke paylater menembus Rp6,13 triliun pada Maret 2024.

“Tanpa upaya pemberantasan yang serius, eksposur dan penetrasi judi online akan semakin progresif ke depan, terutama pada generasi muda yang sangat fasih dengan gawai dan teknologi informasi,” ucap Yusuf.

Yusuf menegaskan, pemberantasan judi online tidak bisa dilakukan hanya dengan melakukan pemblokiran situs. Pemerintah juga perlu fokus pada upaya membongkar dan menangkap para bandar judi online, termasuk para beking yang mengamankan praktik lancung mereka.

Langkah berikutnya perlu ada pemberantasan ekosistem judi online, terutama iklan judi online di media sosial, termasuk para artis dan pemengaruh alias influencer yang turut mempromosikan kegiatan haram ini.

Andaipun keluarga korban judi online ingin diberikan bansos, kata Yusuf, maka rehabilitasi pejudi online harus menjadi bagian integral dari kebijakan bansos untuk keluarga korban judi online.

Keluarga korban hanya boleh menerima bansos dengan memenuhi dua syarat. Yakni, pejudi online telah menjalani sanksi pidana sekaligus rehabilitasi dan dinyatakan sembuh dari kecanduan terhadap judi online. Kedua, keluarga korban judi online benar-benar terverifikasi menjadi keluarga yang masuk kategori miskin.

“Jika keluarga korban judi online menerima bansos sedangkan pelaku tidak menjalani rehabilitasi dan belum dinyatakan sembuh dari kecanduan, maka bansos justru akan menjadi bagian dari ekosistem judi online, membuat judi online akan semakin subur,” terang Yusuf.

Baca juga artikel terkait JUDI ONLINE atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto