Menuju konten utama

Cukup Sudah Menambah Luka untuk KPK, Wahai Pak Alex dkk

Jangan sampai terulang memilih sosok pimpinan dan dewas yang menambah rusak lembaga KPK.

Cukup Sudah Menambah Luka untuk KPK, Wahai Pak Alex dkk
Petugas membentangkan poster raksasa bertuliskan Hajar Serangan Fajar di sisi utara Gedung ACLC KPK, Jakarta, Jumat (14/7/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/rwa.

tirto.id - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali disorot di kasus korupsi di Kementerian Pertanian. Setelah Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang disorot akibat meminta mutasi pegawai di Kementerian Pertanian, kali ini Wakil Ketua KPK Alexander Marwata disebut meminta proyek di lembaga yang kini dipimpin Amran Sulaiman itu.

Semua terungkap dalam persidangan eks Sekjen Menteri Pertanian Kasdi Subagyono. Pria yang menjadi terdakwa itu mengaku dirinya tidak memiliki kenalan di lembaga antirasuah. Akan tetapi, Kasdi mengetahui bahwa eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo kerap berkomunikasi dengan Alex. Salah satunya meminta dukungan bantuan pembangunan di kampung Alexander Marwata.

"Di chatting-nya itu kalau saya tidak salah waktu itu ditunjukkan bahwa Pak Alexander minta bantuan untuk kampungnya, Klaten untuk didukung programnya Pak Menteri," kata Kasdi saat persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (19/6/2024).

Alex pun langsung membantah klaim tersebut. Dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (19/6/2024), Alex mengeklaim bahwa pihak yang menghubungi SYL adalah orang lain. Pria yang sebelumnya hakim adhoc Tipikor ini menuding ada pihak yang menyalahgunakan namanya sebagai pimpinan KPK.

"Percakapan WA antara Mentan dengan seseorang yang menggunakan foto profil saya, kemungkinan foto saya diambil dari google," kata Alex saat dikonfirmasi, Rabu (19/6/2024).

Alex mengaku tidak pernah memiliki nomor SYL ataupun para terdakwa lain dalam kasus korupsi di Kementan itu.

"Saya tidak pernah mempunyai nomor HP Mentan atau pejabat Kementan yang saat ini sedang berperkara/disidang di Pengadilan Tipikor," terang Alex.

Ia pun menyinggung hasil pemeriksaan Dewan Pengawas KPK yang menyatakan tidak ada bukti yang menunjukkan dia pernah berkomunikasi dengan SYL.

"Saya sudah diklarifikasi Dewas (Dewan Pengawas KPK) dan sejauh ini tidak ada bukti saya berkomunikasi dengan Mentan atau penjabat Kementan yang sedang berperkara," ujar Alex.

Menambah Bobrok KPK

Peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman menilai kesaksian Kasdi perlu didalami oleh JPU maupun majelis hakim tentang keterlibatan Alex dengan pihak yang berperkara di Kementan. Ia mendorong Dewas KPK turun tangan jika komunikasi Alex dengan SYL benar ada.

"Meski meminta program Kementan untuk daerahnya, bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi ini tidak etis. Juga merupakan bentuk menyalahgunakan pengaruh. Ini bisa masuk kategori pelanggaran kode etik," kata Zaenur kepada Tirto, Kamis (20/6/2024).

Zaenur menyatakan kasus Alex menambah deretan kebobrokan pimpinan KPK saat ini, yang kerap tersandung kasus etik bahkan terseret pusaran korupsi.

Ia menilai pimpinan KPK seharusnya berintegritas dan tidak menggunakan wewenangnya untuk kepentingan di luar tugas. Paling tidak, harus bisa menjaga komunikasi dengan pihak-pihak yang sedang berperkara.

"Ini menunjukkan betapa bobroknya KPK, beberapa pimpinannya tersangkut dengan Kementan. Firli jadi tersangka pemerasan, Nurul Ghufron terkait dugaan permintaan mutasi pegawai, dan Alex terkait dugaan chat meminta program untuk daerahnya," kata Zaenur.

IMAM NAHRAWI TERSANGKA KASUS DANA HIBAH KONI

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan konferensi pers di kantor KPK, Jakarta, Rabu (18/9/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/nz.

Ketua IM57+, M Praswad Nugraha menilai aksi Alex sebagai upaya koruptif. Praswad tidak memungkiri bahwa mereka akan melaporkan dugaan komunikasi tersebut ke Dewan Pengawas KPK untuk ditindak lebih jauh.

"Itu harus kita laporkan ke Dewan Pengawas sebagai pelanggaran kode etik karena meminta proyek dari pimpinan KPK itu jelas pemerasan dalam artian pasif karena penegak hukum enggak boleh minta proyek, itu bukan gratifikasi lagi, apalagi dalam kondisi ada perkara yang hidup di KPK. Itu enggak boleh," tegas Praswad, Kamis (20/6/2024).

Praswad menuturkan kejadian Alex harus diperlakukan sama seperti kasus eks Ketua KPK Firli Bahuri yang diproses hukum akibat pemerasan. Ia malah menilai, Dewas KPK seharusnya sudah turun tanpa harus menunggu laporan. Ia menilai, aksi Alex sudah bukan lagi pelanggaran etik, tetapi bisa dikategorikan melanggar pasal 5 atau 12a atau pasal 12b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

"Temuan-temuan sidang dalam proses pidana sudah layak ditindaklanjuti bukan hanya melalui proses etik. Akan tetapi, perlu adanya proses penyelidikan," tegas Praswad.

Praswad menuturkan, kejadian Alex justru semakin mengonfirmasi kebobrokan pimpinan KPK di periode 2019-2024. Ia mengingatkan, publik sudah khawatir bahwa pimpinan KPK yang dipilih, termasuk Firli Bahuri bermasalah.

Kini, hal itu terbukti dengan pelanggaran kode etik para pimpinan KPK. Ia menilai, kehadiran pemimpin yang melakukan pelanggaran hukum seperti pemerasan hingga mampu bernegosiasi dalam penegakan hukum tidak lepas dari kesalahan Presiden Joko Widodo dalam memilih pimpinan KPK.

Jokowi sebagai pihak yang menyeleksi dan melantik harus bertanggung jawab atas kekacauan di internal KPK dan masalah pemberantasan korupsi. Ia mengingatkan Jokowi adalah panglima tertinggi pemberantasan korupsi yang kondisinya kini hancur lebur.

"Enggak bisa dia kemudian ngomong saya enggak tahu, silakan tegakkan hukum setegak-tegaknya, tanggung jawab," tegas Praswad.

Praswad menilai, kehadiran pimpinan bermasalah merusak upaya pemberantasan korupsi saat ini. Ia berharap tidak ada kesalahan pemilihan pimpinan ke depan atau pemberantasan korupsi Indonesia akan sama buruk, bahkan lebih buruk di masa depan.

"Kalau kita salah lagi, seperti yang kita lakukan, kita ulangi yang sama, di 2019 kita pilih orang yang bermasalah, di 2024 kita pilih lagi orang yang bermasalah, maka 5 tahun ke depan KPK akan hancur lebur seperti ini lagi. Ini akan kita alami kembali," kata Praswad.

Terpisah, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko enggan berbicara lebih jauh soal Jokowi harus bertanggung jawab atas pimpinan KPK yang bermasalah. Ia hanya meminta agar publik tidak menuding aneh-aneh.

"Terlalu jauh, jangan dikaitkan yang enggak-enggak aja," kata Moeldoko menanggapi klaim Praswad di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/6/2024).

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto