Menuju konten utama

DPR Kecewa Dewas KPK Lembek: Jangan Lempar Batu Sembunyi Tangan

DPR kecewa Dewas KPK lembek. Mereka lupa bila KPK tak bertaji akibat revisi UU KPK yang DPR dan pemerintah lakukan.

DPR Kecewa Dewas KPK Lembek: Jangan Lempar Batu Sembunyi Tangan
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean (tengah) bersama jajarannya mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR terkait pelaksanaan fungsi pengawasan internal KPK di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024).ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

tirto.id - Masyarakat tentu senang jika wakil rakyat di Senayan punya sikap tegas dan garang dalam mengoreksi kinerja buruk pemerintah. Namun, jika ketegasan tersebut membuat DPR lupa diri –jika enggan disebut tak tahu malu– dan lepas tangan dari masalah yang sebetulnya tanggung jawab mereka, ini yang problematik. Ibarat tak ingin disalahkan, DPR menunjuk wajah borok pemerintah seraya cuci tangan untuk samarkan peran.

Gambaran ini sebagaimana tercermin dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/6/2024). Dalam agenda tersebut, DPR mencecar performa Dewas KPK yang disebut sebagai ‘macan ompong.’ Seakan-akan amnesia, padahal Dewas KPK beserta tugasnya dibidani oleh DPR sendiri sebagai konsekuensi revisi UU KPK.

Ketua IM57+, M Praswad Nugraha, menilai sikap DPR sejalan dengan peribahasa lempar batu sembunyi tangan. Padahal, DPR dan pemerintah Presiden Joko Widodo sangat ngotot ketika melakukan revisi UU KPK tahun 2019, beleid yang melahirkan Dewas KPK.

“Yang memilih Firli Bahuri [bekas Ketua KPK] dengan suara bulat dan mutlak pada 2019 juga adalah DPR,” kata Praswad kepada reporter Tirto, Kamis (6/6/2024).

Revisi UU KPK pada 2019 menimbulkan protes keras dari masyarakat sebab dinilai bakal melemahkan KPK. Kala itu, pemerintah dan DPR mengetok palu revisi UU KPK hanya dalam waktu 12 hari dan menelurkan aturan anyar UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Salah satu yang signifikan dari UU KPK hasil revisi kilat itu adalah kewenangan KPK yang tak lagi menjadi lembaga independen, karena berada di bawah eksekutif. Dewas KPK juga lahir dari revisi UU KPK yang tugasnya mengawasi jalannya kerja internal KPK. Seperti yang diprediksi masyarakat, pembusukan lembaga antirasuah itu terbukti dengan banyaknya masalah internal yang menggerogoti tubuh KPK hingga kini.

“⁠Presiden dan DPR jadi pemeran utama pelemahan KPK, dengan memilih pemimpin yang bermasalah masuk ke KPK, merevisi UU KPK yang menghapuskan independensi, memasukkan KPK ke dalam ranah eksekutif, dan menjadikan pegawai KPK sebagai ASN,” terang Praswad.

Sebelumnya, dalam RDP antara DPR dan Dewas KPK, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, mengkritik kinerja Dewas KPK. Ia menyebut kerja Dewas KPK bak macan ompong belaka.

Benny mengatakan, tugas dewas memantau wewenang pimpinan KPK guna melakukan supervisi dan koordinasi. Sebab, dirinya melihat ketika tidak ada dewas, tugas wewenang pimpinan KPK tidak berjalan dengan baik. Namun, kata dia, setelah ada dewas pun hal tersebut tambah tidak berjalan.

“Makanya saya bilang dewas ini seperti macan ompong, tapi Pak Tumpak (Ketua Dewas KPK) tadi bilang bukan kami yang salah. Sebab, undang-undang [KPK] tidak mengatur,” kata Benny mengkritik kinerja Dewas KPK.

Benny juga mengatakan kinerja dewas menangani pelanggaran etik membingungkan publik. Pasalnya, dewas tidak membedakan dengan jelas mana yang merupakan pelanggaran etik dan kejahatan yang dilakukan oleh pimpinan atau pegawai KPK.

“Sehingga kelihatannya Pak Tumpak yang dulu sangat ditakuti ketika pimpinan KPK setelah jadi dewas menjadi Pak Tumpak yang lemah lunglai,” lanjut Benny.

Kritik keras juga datang dari Anggota Komisi III DPR lainnya, Trimedya Panjaitan, yang merasa kecewa dengan Dewas KPK karena adanya perseteruan internal antara dewas dengan pimpinan KPK. Perseteruan yang dimaksud adalah polemik antara Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, yang melaporkan anggota Dewas, Albertina Ho, ke Dewas KPK sendiri.

Kekecewaan yang dilayangkan Trimedya di ruang rapat membuat anggota dewas tertunduk. Mereka pun langsung sibuk mencatat apa yang disampaikan Trimedya.

“Saya agak kecewa lihat dewas, pak. Kenapa saya melihatnya perseteruan dewas dan pimpinan KPK itu persis seperti awal-awal perseteruan dalam tanda kutip KY dan MA, itu persis,” kata Trimedya.

RDP Dewas KPK

Jajaran Dewas KPK saat RDP dengan Komisi III DPR RI, Rabu (5/6/2024). tirto.id/Fransiskus Adryanto Pratama

Regulasi yang Membatasi

Ketua Dewas KPK, Tumpak H Panggabean, sendiri mengaku memang pihaknya terkendala banyak hal dalam melakukan tugas akibat terbatasnya wewenang dewas mengikuti aturan pada UU KPK. Dalam memaparkan kinerja dewas, Tumpak mengaku kendala itu berkaitan dengan penanganan laporan dugaan pengaduan pelanggaran kode etik dan kode perilaku insan KPK, termasuk sinergi dengan pimpinan KPK.

“Apakah ada kendala dalam sinergi [dengan pimpinan KPK]? Kami katakan, iya. Kendala regulasi [karena] UU Nomor 19/2019 tidak mencantumkan apa kewenangan dewas, yang ada hanya tugas,” ujar Tumpak.

Revisi UU KPK memang akar dari centang perenangnya kinerja KPK periode 2019-2024. DPR seharusnya tak cuma pandai ngomel dan mengkoreksi, tanpa mengakui peran mereka dalam pembusukan performa KPK. Jangan lupa, DPR sendiri yang memilih pimpinan KPK dan anggota Dewas KPK periode saat ini.

Peneliti Pusat Studi Anti-Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memandang kritik DPR kepada dewas macam maling teriak maling. DPR sepertinya amnesia, kata dia, kalau kerusakan KPK adalah buah dari keputusannya.

“DPR yang memilih para pimpinan KPK yang notabene sejak awal bermasalah,” kata pria yang akrab disapa Castro ini kepada reporter Tirto.

Menurut Castro, DPR bersama pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap pelemahan KPK dan berdampak semakin rusaknya lembaga ini. Revisi kembali UU KPK dinilai sangat dibutuhkan untuk memulihkan muruah dan taji dari KPK.

“Terutama revisi demi mengembalikan KPK sebagaimana kondisi sebelum revisi dulu. Tapi dengan komposisi koalisi pemerintah yang dominan [di DPR], kecil kemungkinan dilakukan,” ujar Castro.

Sejauh ini, tiga dari empat pimpinan KPK sudah pernah tersandung masalah etik, mereka adalah Alexander Marwata, Johanis Tanak, dan Nurul Ghufron. Sementara dua pimpinan sebelumnya pada era yang sama, yakni Firli Bahuri dan Lili Pintauli, juga tersandung kasus etik namun sudah keluar dan dipecat dari KPK. Firli, bekas ketua KPK, dipecat karena tersandung kasus pidana dalam pusaran korupsi di Kementerian Pertanian.

Di sisi lain, pemerintah sendiri sudah menetapkan 9 nama anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK periode 2024-2029. Meski disertai harapan dan kritik, pansel diharapkan mampu menjaring calon pimpinan KPK dan calon anggota Dewas yang berintegritas. Pansel saat ini tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama seperti pansel periode sebelumnya, yang meloloskan calon pimpinan bermasalah dan cacat etik.

Pimred Media Skeptis dengan Pansel KPK

Wakil Ketua Pansel KPK, Arief Satria dan pemimpin redaksi media memberikan keterangan pers mengenai skeptis dengan kinerja panitia seleksi (Pansel) KPK di Kementerian Sekretaris Negara, Rabu (5/6/2024). tirto.id/M. Irfan Al Amin

Penebusan Dosa

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, memandang momen seleksi calon pimpinan dan calon anggota Dewas KPK 2024-2029 seharusnya jadi momentum penebusan dosa DPR. Alvin memandang DPR sebagai aktor utama rusaknya KPK hari ini.

“Kita harapkan mereka [DPR] mampu menampilkan ketegasan komitmen dengan memilih pimpinan dan dewas yang mendukung revisi kembali UU KPK termasuk berbagai legislasi pemberantasan korupsi lain,” kata Alvin kepada reporter Tirto, Kamis.

Wacana revisi UU KPK sempat terlontar dalam agenda rapat antara DPR bersama Dewas KPK. Peluang revisi beleid itu disampaikan Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul. Pacul menilai, UU KPK telah berusia lima tahun dan sudah waktunya untuk dilakukan revisi.

“Kita bisa lakukan revisi karena ini sudah tahun 2019 juga UU-nya, kan. Sudah lima tahun lah bisa kita tata ulang karena banyak yang komplain juga,” kata Pacul.

Namun, usai rapat Pacul memilih tidak berkomentar lagi soal usulannya dalam rapat perihal rencana revisi UU KPK itu. Dia mengaku pusing setelah rapat dengan Dewas KPK.

“Saya jangan disuruh komentar dulu. Ini kepala saya lagi puyeng,” tutur politikus dari Frasksi PDIP itu.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, memandang masyarakat jangan buru-buru sumringah dengan celoteh DPR yang berencana merevisi kembali UU KPK. Apalagi, kata dia, revisi UU yang dilakukan mepet pergantian kekuasaan kerap menimbulkan masalah baru. Zaenur juga merasa DPR tidak akan memilih capim KPK dan calon anggota Dewas KPK yang mumpuni pada periode selanjutnya.

“Saya tidak punya harapan pada DPR. DPR enggak mungkin pilih yang bagus, pasti pilih yang buruk. Karena kan mereka [akan] memilih orang-orang yang mengancam mereka sendiri, karena kan korupsinya banyaknya di mereka,” kata Zaenur kepada reporter Tirto.

Dewas dan pimpinan KPK yang melempem periode ini adalah produk gagal dari keputusan DPR. Dewas KPK sendiri, jelas dia, mulanya memiliki kewenangan yang sangat luas seperti dalam hal penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Namun hal itu digugat dan oleh MK dibatasi fungsi Dewas sebagai lembaga pengawas internal KPK.

Menurut Zaenur, tidak ada salahnya dengan keberadaan Dewas KPK yang lahir dari revisi UU KPK pada 2019. Namun, jika ingin dilakukan revisi kembali dan penguatan terhadap dewas, sebaiknya dalam hal kewenangan untuk memberhentikan pimpinan KPK yang bermasalah.

“Dewas juga tidak dibekali kewenangan cukup soal pemberhentian pimpinan KPK. Sehingga dewas tidak punya power cukup kuat untuk memaksa pemberhentian pimpinan KPK,” ujar dia.

Zaenur tidak punya harapan banyak pada pansel capim KPK dan anggota Dewas KPK saat ini. Dia menilai pansel masih lebih condong dan dominan dari unsur pemerintah. Meski begitu, untuk menyelamatkan KPK ke depan, pansel harus mampu menjaring calon pimpinan dan calon dewas yang tidak bermasalah agar DPR tidak dapat menunjuk calon yang buruk.

“Pansel kalau memilih [calon] yang baik ya DPR tidak punya kesempatan pilih yang buruk. Masalahnya panselnya problematik sekarang, sama saja berarti,” terang Zaenur.

Baca juga artikel terkait DEWAS KPK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz