Menuju konten utama

Meluruskan Kabar Miring Wolbachia & Bahaya Hoaks Isu Kesehatan

Epidemiolog Dicky Budiman menilai penolakan program Wolbachia di Bali merupakan sinyal lemahnya strategi komunikasi risiko pemerintah.

Meluruskan Kabar Miring Wolbachia & Bahaya Hoaks Isu Kesehatan
Nyamuk Aedes aegypti. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sebuah petisi penolakan tersebar di dunia maya pada awal November terkait program Wolbachia yang akan dilaksanakan di Bali. Petisi penolakan itu menyatakan akan ada eksperimen penyebaran nyamuk besar-besaran yang dilakukan di Bali. Mereka mendesak program tersebut dibatalkan karena tidak meminta kesepakatan masyarakat Bali.

Alhasil, pemerintah daerah Bali memutuskan menunda program penyebaran nyamuk Aedes aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia tersebut. Sebetulnya, program ini masuk dalam World Mosquito Program di Indonesia yang dilakukan pemerintah dengan sejumlah lembaga donor. Program ini dibuat untuk menekan angka Demam Berdarah Dengue (DBD) lewat nyamuk dengan bakteri Wolbachia.

Program ini memanfaatkan bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke vektor pembawa virus DBD, yakni nyamuk Aedes aegypti. Sehingga ketika nyamuk yang sudah terdapat bakteri Wolbachia ini berkembangbiak, akan menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia lainnya. Virus demam berdarah yang ada pada nyamuk Aedes aegypti akan dihambat dengan bakteri Wolbachia sehingga menghentikan penularan DBD.

Kajian efektivitas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2021 menyatakan program Wolbachia direkomendasikan untuk menangani masalah DBD. Teknologi ini juga sudah diadaptasi di sembilan negara dan diklaim efektif untuk pencegahan DBD. Sebagai pilot project di Indonesia, program ini rencananya dilakukan di lima kota, yaitu Semarang, Jakarta Barat, Bandung, dan Kupang.

Sebelumnya, uji coba program ini dilakukan di Yogyakarta dan Bantul pada 2022. Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa lokasi yang telah disebar nyamuk Wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen. Angka proporsi dirawat di rumah sakit juga menurun sebesar 86 persen. Namun, saat ingin melakukan uji coba di Bali awal bulan ini, program Wolbachia mendapatkan resistensi dari masyarakat dan pemerintah daerah.

Penjabat Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, sepakat untuk menunda penyebaran nyamuk Wolbachia. Hal ini karena masyarakat masih terbelah antara pro dan kontra. Ia menilai metode Wolbachia masih perlu sosialisasi sehingga semua masyarakat bisa menerima.

“Kalau masih ada masyarakat yang tidak menerima, berarti kita tunda dulu,” kata dia beberapa waktu lalu.

Lebih jauh, di media sosial narasi soal program Wolbachia juga diwarnai dengan misinformasi, yang tak sedikit berbau hoaks. Misalnya, nyamuk Wolbachia disebut sebagai ‘nyamuk Bill Gates’, dengan narasi bahwa ini merupakan akal-akalan bisnis miliuner asal Amerika itu. Gates sendiri memang salah satu donor yang membiayai program pengembangan Wolbachia.

Ada pula yang menyebut nyamuk Wolbachia merupakan ‘nyamuk bionik’ yang dapat memicu penyakit radang otak. Bahkan, beberapa narasi menyebut nyamuk Wolbachia sebagai hasil rekayasa genetika yang berbahaya.

Ditambah, sebuah video muncul di Youtube yang menampilkan diskusi antara Prof Richard Claproth dan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, dan sudah ditonton puluhan ribu kali. Dalam video tersebut, keduanya mempertanyakan urgensi Indonesia terlibat dalam program uji coba Wolbachia. Muncul juga tudingan bahwa nyamuk Wolbachia dapat memicu kondisi Japanese Encephalitis, memengaruhi ekosistem, dan bisa memicu pandemi baru.

Hoaks Perlu Dibendung

Ketakutan dan keresahan inovasi Wolbachia untuk mengatasi masalah DBD di Indonesia beralasan. Program baru ini memang perlu dilaksanakan dengan keterbukaan dan komunikasi yang baik kepada masyarakat. Sayangnya, memang keresahan dan skeptisisme masyarakat kerap ditunggangi pihak tidak bertanggung jawab yang membelokkan kebenaran informasi untuk kepentingan pribadi.

Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, menilai misinformasi dan hoaks di sektor kesehatan memang rawan terjadi. Grace juga menyoroti bahwa hoaks di sektor kesehatan seringkali datang berulang.

“Menurut saya hal ini lebih mendasar, bukan rasa skeptis terhadap teknologi, tapi kemampuan kita berpikir kritis (critical thinking) itu masih rendah. Termasuk, ya saya tidak bisa menutup mata, di antara teman-teman Nakes sendiri (ada),” ujar Grace dihubungi reporter Tirto, Jumat (24/11/2023).

Menurut dia, hoaks dalam sektor kesehatan jarang menimbulkan kefatalan berarti. Ia menilai hoaks biasanya tidak akan merugikan orang secara spesifik. Namun, banyak individu yang merasa ingin menyebarkan itu ke orang lain, sehingga membuat hoaks semakin bersirkulasi.

Grace merasa ragu, gelombang penolakan program Wolbachia di Bali datang dari akar rumput. Ia menilai biasanya justru narasi skeptisisme atau penolakan masyarakat dibangun lewat medsos dan kental dengan motif politik.

“Sama seperti kalau di daerah, beberapa kali saya amati, masyarakat di bawah paham mengenai program dan mendukung. Tapi memang kemudian ada pihak-pihak yang bilang tidak setuju, dan pas kami ajak dialog, ternyata mereka bukan dari daerah tersebut,” tutur Grace.

Ia menambahkan, untuk membenahi persoalan ini, program Wolbachia harus disosialisasikan dengan lebih jelas kepada masyarakat dari segala lapisan. Hal ini mencakup dialog dengan ketua masyarakat adat setempat dan melakukan rembuk bersama.

“Yang belum saya lihat justru tindakan yang lebih tegas kepada mereka yang menyebarkan hoaks kesehatan ini. Tidak pernah ada yang sampai diproses hukum,” kata Grace.

Di Indonesia, teknologi Wolbachia telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Salah satu peneliti dari UGM, Adi Utarini menepis anggapan bahwa nyamuk Wolbachia merupakan rekayasa genetika. Ia menegaskan, secara materi genetik, baik nyamuk maupun bakteri Wolbachia yang digunakan, identik dengan organisme yang ditemukan di alam.

“Analisis risiko yang telah dilakukan oleh 20 ilmuwan independen di Indonesia menyimpulkan bahwa risiko dampak buruk terhadap manusia atau lingkungan dapat diabaikan” kata Utut dalam keterangan resmi.

Kegagapan Komunikasi Pemerintah

Sementara itu, Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menyampaikan penolakan program Wolbachia di Bali merupakan sinyal lemahnya strategi komunikasi risiko pemerintah. Ia menilai pemerintah cenderung terlalu buru-buru dalam melaksanakan program inovasi baru tanpa melibatkan komunikasi yang baik dengan masyarakat.

“Ini adalah bukti nyata kegagapan pemerintah dalam strategi komunikasi risiko,” ujar Dicky dihubungi reporter Tito, Jumat (24/11/2023).

Dicky menuturkan, pemerintah harus berhasil menjawab keresahan dan ketakutan masyarakat terkait program Wolbachia. Selain itu, ia menyoroti bahwa Indonesia belum mumpuni dalam mengatasi misinformasi dan hoaks dalam sektor kesehatan.

“Dan ini tentu berbahaya karena ketika misalnya ada inovasi yang efektif, ya ini akhirnya enggak bisa dijalankan. Ketika ada obat yang efektif, nggak bisa dijalankan. Atau program yang baik, ya enggak bisa dijalankan,” kata Dicky.

Di sisi lain, pemerhati kesehatan cum anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Iqbal Mochtar, menilai penolakan program Wolbachia dan informasi kontra yang beredar merupakan cerminan ketakutan masyarakat. Dia tidak setuju jika semua digeneralisir menjadi hoaks, sebab beberapa memang menampilkan kurang informasi dan sosialisasi pemerintah kepada masyarakat.

“Pemerintah jarang melakukan komunikasi yang masif dan intens untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang apa program ini? Dan apa yang diharapkan. Juga soal targetnya dan side effect-nya,” ungkap Iqbal dihubungi reporter Tirto, Jumat (24/11/2023).

Sebab, uji coba program Wolbachia baru dua tahun dilakukan. Karena itu, kata dia, sangat wajar masyarakat khawatir. Masyarakat perlu diajak dialog dan didengarkan keluhannya agar terjadi pemahaman program yang ingin dilakukan.

“Itu sama seperti inform concern yang diberikan dokter pada pasien jadi dibeberkan dulu semua agar ada kesepahaman. Ini adalah refleksi ketakutan masyarakat dan ini berdasar karena berasal dari keresahan masyarakat,” tegas Iqbal.

Iqbal juga meminta agar pemerintah tidak memandang masyarakat sekadar objek program. Masyarakat harus dianggap sebagai partner konstruktif untuk berkolaborasi menuntaskan permasalahan DBD di Indonesia. Ia menuturkan, pada akhirnya, tiap program kesehatan akan dilakukan dan dirasakan langsung oleh masyarakat.

Respons Kemenkes

Kemenkes meminta masyarakat untuk tidak mudah mempercayai sejumlah kabar hoaks terkait program Wolbachia yang banyak beredar di dunia maya. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu.

“Memang di Bali, itu pelaksanaan di Bali penyebabnya memang sosialisasi ke akar rumput memang kurang, sehingga masyarakat di sana belum terinformasi manfaatnya, tentu perlu dilakukan sosialisasi terus menerus,” kata Maxi ketika menjawab pertanyaan Tirto dalam konferensi pers daring, Jumat (24/11/2023).

Maxi menyatakan, pihaknya akan terus berusaha memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat terkait program ini. Termasuk, kata dia, meminta sejumlah tokoh-tokoh ikut menyebarkan informasi resmi soal program Wolbachia.

“Pemerintah, Kemenkes terus melakukan upaya memberi informasi yang baik dan benar. Termasuk dari pakar yang meneliti, tapi tentu kami perlu dukungan media untuk lebih banyak memberikan informasi yang benar resmi dari pemerintah,” lanjut Maxi.

Baca juga artikel terkait WOLBACHIA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz